Ibadah kurban perspektif
syariat sejatinya telah banyak diulas dan dikaji secara mendalam oleh para
ulama fikih klasik maupun kontemporer. Berbagai sudut pandang mazhab pun tidak
sedikit juga telah mewarnai tatacara pelaksanaan ibadah yang unik itu. Kalau
kita telaah
kitab-kitab hadis yang mu’tamad seperti kitab hadis yang enam (kutub al-sittah) misalnya, serta kitab-kitab hadis otentik lainnya, maka hampir
sebagian besarnya mencantumkan bab khusus yang mengulas tentang ibadah kurban. Begitu juga halnya dalam kitab-kitab fikih (baik
madzhab maupun muqaranah), sangat banyak ditemukan
keterangan dan penjelasan secara komprehensif mengenai ibadah yang berasal dari
tuntunan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam itu.
Salah satu di antara hujah yang cukup populer dikutip berkenaan
dengan hukum pelaksanaan ibadah ini adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majah dan Imam Ahmad yang bersumber dari sahabat Abi Hurairah radiyallahu ‘anhu. Beliau
berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
"مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا"
Barangsiapa
yang mempunyai kemampuan (untuk berkurban), namun dia tidak melaksanakannya, maka janganlah ia dekati
tempat salat kami.
Hadis ini ditanggapi
secara beragam oleh para sarjana
hadis kenamaan, Abu
Daud dan Nasa’i mendhoifkannya, karena dalam rangkaian sanadnya terdapat
nama Abdullah bin ‘Ayyasy yang dianggap tidak kapabel dalam periwayatan hadis. Ibn
Yunus bahkan mengklaim bahwa hadis yang diriwayatkannya tergolong kepada Hadis Mungkar. Namun sebaliknya Abu Hatim, Ibn Hibban dan Ibn Hajar berkesimpulan bahwa ‘Ayyasy
termasuk orang yang terpercaya (tsiqah).
Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya malahan pernah meriwayatkan hadis
dari ‘Ayyasy dan menempatkan hadisnya sebagai mutaabi’ dan syahid
dari hadis lain yang berdekatan redaksi maupun maknanya. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa hadis kurban ini tergolong hadis yang diperselisihkan kesahihan sanad-nya,
namun maknanya diterima dikalangan ulama.
Dalam al-Qur’an
sendiri terdapat beberapa ayat yang berkaitan dengan ibadah kurban ini. Salah
satu di antaranya adalah Surah al-Kautsar
ayat ke-2 yang berisikan isyarat/anjuran buat seseorang untuk melaksanakan
ibadah kurban, terlepas dari perbedaan apakah hukumnya wajib ataukah sunah. Allah SWT
berfirman :
"فَصَلِّ لِرَبِّكَ
وَانْحَرْ"
“Maka
laksanakanlah salat (karena tuhanmu) dan berkurbanlah.!”
Menurut ulama yang memahami bahwa perintah kurban
yang terdapat dalam ayat tersebut (hukumnya) dikaitkan dengan ibadah salat (yang
dibahas sebelumnya) dan salat di sini berimplikasi hukum wajib, maka mereka
menghukumi ibadah kurban itu sebagai ibadah yang wajib pula. Sedangkan menurut ulama
yang menafsirkan bahwa salat yang dimaksud dalam ayat itu hanyalah salat sunah saja
(salat ‘ied), maka mereka berkesimpulan bahwa hukum pelaksanaannya
adalah sunah.
Demikian juga halnya dengan Surah al-Hijr ayat
ke-37, di mana Allah SWT menjelaskan bahwa substansi dari ibadah kurban hanyalah
sebagai refleksi ketakwaan dari mereka yang menunaikannya. Oleh karenanya,
darah dan daging binatang yang dikorbankan itu pada dasarnya hanyalah simbol
semata, bahkan tidak ada artinya sama sekali kalau tidak disertai keikhlasan dan
prinsip ketakwaan dalam pelaksanaannya. Selain
kedua ayat ini masih banyak dalil-dalil lain yang berkaitan dengan persoalan kurban,
baik dari Al-Qur’an maupun Hadis yang tidak bisa penulis sebutkan secara satu
persatu dalam tulisan yang terbatas ini.
Di samping itu,
dalam sudut pandang fikih sebagian ulama berpandangan bahwa kurban hanya
diwajibkan bagi mereka yang bermukim (menetap) di sebuah negeri tertentu, namun
tidak wajib bagi musafir sebagaimana yang difatwakan oleh Imam Abu Hanifah. Kata-kata
“laa taqrabanna mushallaana” dalam hadis terdahulu menunjukkan tegasnya
perintah untuk melaksanakan ibadah kurban menurut beliau. Namun mayoritas ulama
dari mazhab Maliki dan Syafi’i menyatakan bahwa hukumnya hanya sunnah muakkadah
bagi mereka yang sanggup untuk melaksanakannya, tentu saja dengan syarat
dan ketentuan yang telah diatur dan dijelaskan secara detail dalam ushul mazhab mereka.
Secara umum semua keterangan yang penulis kutipkan di sini memberikan pemahaman
kepada kita akan betapa urgennya ibadah kurban dalam agama Islam.
Setelah mengetahui
seluk beluk ibadah kurban dalam sudut pandang syariat secara global, sekarang
kita masuk dalam bahasan yang kedua dari tulisan ini yaitu menelusuri
ada tidaknya korelasi antara ibadah kurban yang sejatinya merupakan ibadah fardiyyah
(pribadi) dengan aspek sosial yang juga tidak kalah pentingnya dalam menilai substansi
sebuah ibadah. Ali Mustafa Ya’qub dalam bukunya Islam Masa Kini telah
menjelaskan sisi lain dari historis pensyariatan ibadah kurban tersebut. Beliau
mengungkapkan bahwa untuk menangkap makna-makna serta nilai-nilai filosofis
yang terkandung dalam ibadah kurban, kita perlu menelusuri pesan-pesan moral
dalam peristiwa yang dialami oleh Nabi Ibrahim AS dengan putranya Nabi Ismail
AS.
Beliau
menjelaskan bahwa pada dasarnya perintah kurban yang dilakoni oleh kedua nabi
agung tersebut berdasarkan perintah Allah SWT adalah tidak rasional (sulit
dicerna akal). Akal siapa yang bisa menerima seorang bapak yang telah
menginginkan seorang anak selama puluhan tahun lamanya, tiba-tiba setelah mendapatkan
apa yang dia cita-citakan, Allah SWT malahan memerintahkannya untuk menyembelih
anak tersebut. Orangtua mana di dunia ini yang sanggup melakukannya selain
orang-orang yang pada akalnya terdapat ketidaknormalan seperti gila atau
penyakit saraf lainnya. Namun perintah itu tetap dilakukan oleh Nabi Ibrahim
sebagai refleksi dari ketaatan beliau sebagai seorang hamba terhadap rabb-nya.
Ketidakrasionalan
kisah tersebut bukan berarti menunjukkan bahwa kisah tersebut tidak otentik, akan
tetapi akal kita sebagai manusialah yang tidak sanggup untuk menjangkau
substansinya. Oleh sebab itu yang bisa kita temukan sekarang hanyalah hikmah
dibalik pensyariatan ibadah tersebut. Karena dalam agama Islam memang ada
sebagian hukum yang ‘illah-nya bisa dirasionalkan dan itu dinamai dengan
ta’aqquli dan sebagian yang lain ada yang tidak bisa atau disebut juga
dengan istilah ta’abbudi (simbol kepatuhan semata). Nah ibadah kurban sekalipun tergolong ibadah
yang ghairu ma’qul al-ma’na (tidak bisa dirasionalkan), namun pasti
mempunyai hikmah khususnya dalam
aspek sosial kemasyarakatan.
Menurut Ali
Mushtafa Ya’qub juga, ibadah kurban merupakan bukti dari loyalitas tingkat
tinggi yang telah dicontohkan oleh seorang hamba terhadap Rabb-nya.
Tidak semua orang sanggup mengorbankan anak yang sangat disayanginya demi
mematuhi perintah Allah SWT. Buah dari kesabaran dan keikhlasan Nabi Ibrahim
itu diapresiasi oleh Allah dengan mengganti Nabi Yusuf AS dengan seekor kambing
besar yang pada akhirnya disembelih oleh Nabi Ibrahim. Inilah yang menjadi
cikal bakal munculnya syariat kurban dalam Islam. Dan penyembelihan itu
dimaknai oleh sementara ahli hikmah dengan penyembelihan sifat-sifat
kebinatangan yang terselip dalam jiwa manusia seperti rakus, tamak, loba dan
lain sebagainya.
Selain itu,
sambung beliau, kurban juga bisa difahami sebagai bukti atau simbol pengesaan seorang
hamba terhadap Tuhannya. Karena pada zaman jahiliah banyak di antara
masyarakatnya yang masih memuliakan, menghormati secara berlebihan, dan bahkan
mengkultuskan sebagian binatang yang diyakini memiliki kekuatan supranatural
tertentu. Sehingga untuk menghilangkan tradisi itu Allah perintahkan umat Islam
untuk menyembelih hewan-hewan tersebut dengan tujuan menghilangkan prasangka adanya
kekuatan selain Allah SWT. Sehingga diharapkan pada saat berkurban seorang
muslim bisa menghayati dan memperbaharui nilai-nilai ketauhidan dan keimanan
yang mungkin saja sebelumnya hal itu sering diabaikannya.
Kemudian hikmah
yang paling penting menurut penulis di antara sekian banyak hikmah berkurban
adalah untuk mengembangkan kepedulian dan kepekaan sosial yang tinggi terhadap
sesama. Sebagaimana yang diatur dalam ilmu fikih dan juga dijelaskan dalam
hadis-hadis nabi bahwa hewan-hewan kurban yang akan disembelih hendaknya hewan
yang terbebas dari cacat-cacat yang bisa mengurangi kualitas daging hewan
tersebut. Karena memang nantinya hewan kurban yang telah dikurbankan oleh
seorang muslim selain dimakan buat dirinya sendiri, namun juga akan dibagikan
kepada mereka yang membutuhkan seperti kaum fakir dan miskin yang berada di sekitar
daerah tersebut.
Allah SWT
berfirman dalam surat al-Hajj ayat 28 dan 36 yang artinya “Maka makanlah
daging-daging binatang ternak itu, dan berikanlah (untuk dimakan) orang yang
memerlukan dan orang-orang fakir”. Jadi ibadah kurban pada intinya adalah moment
yang tepat bagi seorang muslim untuk meningkatkan solidaritas terhadap saudaranya
sesama muslim yang mungkin saja belum pernah mencicipi bagaimana rasanya makan
dengan daging pada tiap harinya. Ini hanya tamtsil semata, kasusnya bisa
dikembangkan serta dianologikan ke berbagai persoalan lainnya seperti kurban
bisa memupuk kesadaran untuk tidak memakan ataupun merampas hak orang lain,
serta kepedulian terhadap hajat orang lain.
Sebagai penutup
dari tulisan sederhana ini, penulis ingin mengutip sebuah kisah kurban yang
pertama kali terjadi di permukaan bumi yang melibatkan dua anak Nabi Adam AS
yaitu Habil dan Qabil. Kisah ini diceritakan secara detail oleh al-Qur’an dalam
Surah al-Maidah ayat ke-27 sampai dengan 31. Keduanya sama-sama berkurban dan
sama-sama berusaha sekuat tenaga untuk menjadikan kurbannya diterima. Namun lantaran
hilangnya substansi kurban dari seorang Qabil yang mengorbankan sesuatu yang
tidak sempurna dan yang tidak dia sukai, maka kurbannyapun ditolak. Sementara kurban
Habil yang dia persiapkan dengan sebaik-baiknya akhirnya diterima.
Inti dari
cerita tersebut adalah berkurban pada zaman sekarang tidak hanya menghendaki formalitas
semata. Dalam arti kata pengorbanan yang kita laksanakan itu hendaknya memenuhi
2 kriteria secara sekaligus. Pertama, harus memenuhi standar sah dan
tidaknya menurut hukum syariat (fikih). Kedua, harus memetik
substansi dari ibadah kurban itu secara langsung yang kemudian nantinya tidak
hanya diterapkan pada saat musim kurban semata, namun juga menjadi tradisi dan
kebiasaan yang melekat erat di dalam jiwa umat Islam. Seandainya hal ini bisa
diwujudkan, maka di sanalah persatuan akan dapat dirajut demi kejayaan Islam
pada masa-masa yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon kritik dan sarannya.!