Pertanyaan :
Dalam pelaksanaan salat Jum’at, seringkali ditemukan polemik di
kalangan kaum muslimin. Salah satu di antaranya adalah persoalan jumlah azan
pada salat tersebut. Sebagian masjid mengumandangkan azan sebanyak dua kali, azan
pertama pada saat waktu masuk kemudian azan kedua pada waktu khatib naik mimbar.
Sebagian yang lain mencukupkan dengan satu kali saja yaitu pada saat waktu
masuk yang berbarengan dengan naiknya khatib ke atas mimbar. Bahkan di salah
satu masjid di Kota Fes Maroko -sebagaimana yang dituturkan oleh Kiai Ali
Mustafa Yaqub dalam bukunya Cerita Maroko- azan Jum’at dikumandangkan
sebanyak lima kali.[1]
Pertanyaannya, apakah azan dua kali atau lebih pada salat Jum’at tersebut
tergolong bid’ah.?
Jawaban :
Memang benar, persoalan jumlah azan dalam salat Jum’at tersebut
telah menjadi salah satu di antara sekian banyak persoalan khilafiyah di
tubuh umat Islam. Namun anehnya, perbedaan itu akhir-akhir ini seringkali
memunculkan kesan tidak baik terhadap sebagian golongan, khususnya bagi mereka
yang mengumandangkan azan dua kali atau lebih. Mereka (oleh sebagian oknum)
dianggap telah melakukan amalan yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW
atau dalam bahasa sederhananya, mereka dicap telah melakukan sebuah bid’ah. Dan
setiap bid’ah menurut oknum tersebut adalah sesat, dan orang yang sesat
tempatnya adalah di neraka.
Persoalan ini sebenarnya sudah dijelaskan secara panjang lebar oleh
para ulama Islam semenjak beberapa abad yang lalu. Oleh karena itu, untuk
mempermudah kajian ini, penulis akan mencoba menyajikannya dalam beberapa poin sebagai
berikut :
Sejarah Singkat Azan.
Dalam beberapa kitab sejarah dijelaskan bahwa azan pertama kali
dikumandangkan pada tahun pertama hijriah oleh sahabat Rasul yang bernama Bilal
bin Rabbah yang berfungsi sebagai penanda masuknya waktu salat bagi kaum
muslimin.[2] Adapun
rincian kisahnya dijelaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dalam kitab Shahih-nya, berikut kutipan teks hadisnya :
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ كَانَ الْمُسْلِمُونَ حِينَ قَدِمُوا
الْمَدِينَةَ يَجْتَمِعُونَ فَيَتَحَيَّنُونَ الصَّلَوَاتِ وَلَيْسَ يُنَادِى
بِهَا أَحَدٌ فَتَكَلَّمُوا يَوْمًا فِى ذَلِكَ فَقَالَ بَعْضُهُمُ اتَّخِذُوا
نَاقُوسًا مِثْلَ نَاقُوسِ النَّصَارَى وَقَالَ بَعْضُهُمْ قَرْنًا مِثْلَ قَرْنِ
الْيَهُودِ فَقَالَ عُمَرُ أَوَلاَ تَبْعَثُونَ رَجُلاً يُنَادِى بِالصَّلاَةِ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « يَا بِلاَلُ
قُمْ فَنَادِ بِالصَّلاَةِ ».[3]
Suatu waktu ketika kaum muslimin tiba di Madinah, mereka berkumpul
sembari menunggu waktu salat. Namun tidak seorangpun di antara mereka yang bisa
memberitahukan bahwa waktu salat telah masuk. Sehingga pada suatu hari mereka
bermusyarawah untuk membahas persoalan tersebut. Sebagian sahabat mengusulkan agar
menggunakan lonceng sebagaimana yang digunakan oleh orang-orang Nasrani dan
sebagian yang lain dengan tanduk sebagaimana digunakan oleh orang-orang Yahudi
dalam upacara keagamaan mereka, Namun sahabat Umar bin Khaththab berkata “alangkah
baiknya kalian menjadikan seseorang yang bertugas untuk memanggil orang-orang salat”,
kemudian Rasulullah SAW menyetujui usulan Umar dan berkata “wahai Bilal,
berdirilah serta panggillah manusia untuk mendirikan salat!”
Sementara itu dalam riwayat Abu Daud ada tambahan riwayat sebagai
berikut :
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ
عَمِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ قَالَ أَرَادَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم-
فِى الأَذَانِ أَشْيَاءَ لَمْ يَصْنَعْ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ فَأُرِىَ عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ زَيْدٍ الأَذَانَ فِى الْمَنَامِ فَأَتَى النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ « أَلْقِهِ عَلَى بِلاَلٍ
»[4]
Abdullah bin Zaid berkata: “Nabi SAW berkeinginan untuk mencari
cara dalam memberitahukan waktu salat (azan), namun beliau belum juga
menemukannya”. Abdullah bin Zaid telah bermimpi mengenai kalimat-kalimat azan
dalam tidurnya. Lalu dia mendatangi Nabi SAW untuk memberitahukan hal tersebut,
kemudian Nabi SAW pun berkata “Ajarkanlah kata-kata itu kepada Bilal!”.
Di dalam riwayat lain juga dijelaskan bahwa pada saat Abdullah bin
Zaid menceritakan mimpinya mengenai lafal-lafal azan itu kepada Rasulullah,
sahabat Umar bin Khattab pun mengakui hal yang sama bahwa beliau juga telah
bermimpi dengan mimpi yang serupa dengan Abdullah bin Zaid. Setelah itu
Rasulullah SAW berseru sembari memuji Allah SWT sebagai bentuk kegembiraan
beliau dengan berita tersebut.[5] Semenjak
itu azan dijadikan sebagai pengingat masuknya waktu salat hingga Rasulullah SAW
wafat.
Azan Jum’at di masa Rasulullah SAW, Khalifah Abu Bakar dan Umar.
Setelah mengetahui sekilas mengenai sejarah permulaan azan,
sekarang kita lihat bagaimana aturan dan jumlah azan Jum’at pada masa
Rasulullah masih hidup. Mengenai hal ini, terdapat sebuah riwayat shahih dari
Imam Bukhari sebagai berikut :
السَّائِبَ بْنَ يَزِيدَ يَقُولُ إِنَّ
الْأَذَانَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ كَانَ أَوَّلُهُ حِينَ يَجْلِسُ الْإِمَامُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ
عَلَى الْمِنْبَرِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي
بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ فِي خِلَافَةِ عُثْمَانَ
بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرُوا أَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ
بِالْأَذَانِ الثَّالِثِ فَأُذِّنَ بِهِ عَلَى الزَّوْرَاءِ فَثَبَتَ الْأَمْرُ عَلَى
ذَلِكَ.[6]
Saib bin Yazid berkata: “Pada masa Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar,
azan di hari Jum’at pada awalnya hanyalah ketika Imam duduk di atas mimbar. Pada
saat Ustman bin Affan menjabat sebagai khalifah dan manusia sudah semakin
banyak, beliau pun memerintahkan orang-orang untuk mengumandangkan azan yang
ketiga. Azan tersebut dilakukan di atas zaura’ (sebuah tempat di pasar
Kota Madinah) dan ketetapan itu diberlakukan untuk masa selanjutnya”.
Adapun yang dimaksud dengan azan ketiga dalam hadis tersebut adalah
azan pertama yang dikumandangkan sebelum masuk waktu Jum’at di atas zaura’[7]
pada masa kekhalifahan Ustman bin Affan. Sementara itu azan kedua adalah azan
pada saat khatib duduk di atas mimbar dan azan ketiga adalah iqamah yang dikumandangkan
sesaat menjelang didirikannya salat Jum’at.[8] Begitulah
tatacara pelaksanaan azan salat Jum’at pada masa-masa awal perkembangan Islam.
Semakin meluasnya kekuasaan Islam dan semakin banyaknya jumlah kaum muslimin
pada masa kekhalifahan Utsman, telah mendorong beliau mengeluarkan kebijakan
untuk menambah azan satu lagi dengan tujuan mengingatkan manusia bahwa waktu
salat Jum’at telah masuk.
Respon Ulama Terhadap Gagasan Khalifah Utsman bin Affan.
Kalau diperhatikan secara selintas, gagasan yang dilakukan oleh
Khalifah Ustman bin Affan pada dasarnya berbeda dengan praktek dua khalifah
sebelumnya ataupun bahkan dengan Rasulullah SAW sendiri yang hanya mengumandangkan
azan salat Jum’at dua kali saja yaitu azan pada saat khatib naik mimbar dan
iqamat sesaat menjelang salat Jum’at akan didirikan. Namun dapatkah kita
menghukumi amalan yang dilakukan oleh Utsman bin Affan ini sebagai sebuah
kesesatan dengan alasan bahwa kebijakan beliau menyalahi kebijakan Rasulullah SAW?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu kiranya kita memperhatikan
beberapa poin di bawah ini :
1. Pada bagian
akhir hadis riwayat Bukhari di atas dinyatakan فَثَبَتَ
الْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ (ketetapan
itu pun diberlakukan untuk masa selanjutnya). Ungkapan tersebut menurut Ibn Hajr
mempunyai pengertian bahwa apa yang digagas oleh Khalifah Utsman bin Affan
diterima secara baik oleh umat Islam di seluruh negeri pada saat itu, karena
kedudukan Ustman bin Affan sebagai khalifah yang sangat dihormati dan dipatuhi
oleh kaum muslimin.[9]
Dalam kata lain keputusan tersebut telah menjadi konsensus di kalangan sahabat.
2. Memang ada
sebuah riwayat dari Ibn Abi Syaibah yang ia terima dari jalur Abdullah bin Umar
yang mengatakan bahwa ”Azan pertama yang dilakukan pada hari Jum’at (azan
tambahan dari Khalifah Utsman bin Affan) adalah bid’ah”, namun perkataan
ini mempunyai beberapa kemungkinan makna sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn
Hajr, di antaranya :
- Kemungkinan yang pertama, boleh jadi Abdullah bin Umar dalam hal ini tidak setuju dengan apa yang digagas oleh khalifah Utsman bin Affan, sehingga ketidaksetujuan itu beliau ekpresikan dengan ungkapan bahwa hal itu merupakan sebuah kebid’ahan. Namun penolakan sahabat secara terang-terangan selain ungkapan Abdullah bin Umar di atas terhadap gagasan Ustman tersebut sampai saat ini belumlah ditemukan, sehingga kemungkinan bahwa Abdullah bin Umar menentang kebijakan Utsman tersebut batal dengan sendirinya.
- Kemungkinan yang kedua, bahwa yang dimaksud oleh Abdullah bin Umar dengan ungkapan beliau tersebut hanyalah semata-mata memberitahukan bahwa apa yang digagas oleh Khalifah Ustman dengan menambah azan pertama itu belum ada pada masa Rasulullah SAW dan mengadakan sesuatu yang tidak dicontohkan oleh beliau dinamakan dengan bid’ah secara bahasa (bukan bid’ah yang sesat). Karena menurut Ibn Hajr bid’ah itupun nanti akan terbagi kepada bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. Apa yang dicetuskan oleh Khalifah Ustman termasuk bid’ah hasanah karena bertujuan untuk kemaslahatan agama Islam dan umatnya juga.
3. Kalau memang
apa yang digagas dan dilakukan oleh Khalifah Utsman bin Affan tersebut dipatuhi
dan tidak seorangpun di antara sahabat dan ulama yang ada pada saat itu
menentang keputusan beliau, maka ketetapan itu bisa dianggap sebagai ijma’
sukuti yang harus dipatuhi dan diikuti oleh segenap umat Islam.
4. Rasulullah SAW
dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi dalam kitab Sunan-nya
dan juga dikutip oleh Imam Nawawi dalam Arba’in-nya mengatakan :
فَعَلَيكُم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين[10]
Pegang teguhlah
sunnahku dan sunnah khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk (setelahku).!
Hadis
tersebut merupakan anjuran keras Rasulullah SAW untuk umat Islam supaya
berpegang teguh dengan sunnah beliau dan sunnah khalifah-khalifah yang ada
setelah beliau. Sementara itu Utsman bin Affan adalah seorang sahabat Nabi yang
sangat beliau cintai dan termasuk salah seorang sahabat yang telah dijanjikan
untuk masuk surga oleh Allah SWT. Mungkinkah apa yang beliau cetuskan dianggap
sebagai sebuah bid’ah yang sesat yang mengakibatkan beliau dan orang-orang yang
mengikutinya akan masuk neraka?
5.
Sebagian ulama
di kalangan Madzhab Syafi’i mengatakan bahwa azan dua kali pada salat Jum’at
adalah sebuah kesunnahan, hal itu sebagaimana disampaikan oleh Syekh Zayn
al-Din al-Malibari dalam kitabnya Fath al-Mu’in dan Sayyid Bakri Syatha
dalam kitabnya I’anah al-Thalibin.
6. Sebuah ungkapan
terkenal dari Imam Syafi’i seringkali dijadikan sebagai landasan bagi golongan
yang tidak setuju dengan mereka yang mengamalkan azan dua kali, yaitu :
قال الشَّافِعِيُّ وَأَيُّهُمَا كان فَالْأَمْرُ
الذي على عَهْدِ رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم أَحَبُّ إلى.[11]
Imam Syafi’i berkata: “Apa yang diamalkan pada masa Rasulullah
masih hidup lebih aku sukai (daripada melakukan azan dua kali di hari Jum’at).
Ungkapan
tersebut secara literal tidak bisa dipahami bahwa Imam Syafi’i menganggap sesat
mereka yang melaksanakan salat Jum’at dengan dua kali azan. Hal ini dikarenakan
ungkapan tersebut hanyalah salah satu bentuk ekpresi kecintaan yang berlebih
terhadap salah satu dari dua hal yang sama-sama dicintai. Ungkapan tersebut
akan sama maknanya dengan ungkapan seorang bapak yang lebih menyayangi anak
bungsunya ketimbang anak sulungnya. Dalam arti kata bapak tersebut menyayangi
kedua anaknya, namun rasa sayangnya terhadap Si bungsu agak legih besar
dibanding rasa sayangnya kepada Si sulung.
Bukti
nyata hal itu dapat dilihat dari redaksi أحب إلي yang terdapat dalam ungkapan Imam Syafi’i
tersebut, yang dalam literatur gramatikal Bahasa Arab disebut dengan Af’al
Tafdhil dan mengandung makna “lebih dari”. Selain itu terdapat pula sebuah ungkapan
umum dari Imam Syafi’i yang tidak terlalu mempersoalkan jumlah bilangan azan
dalam kedudukannya sebagai sunnah-sunnah salat, karena hal itu menurut beliau
tidak akan mempengaruhi sah atau tidaknya salat seseorang. Berikut kutipan
perkataan beliau :
قال الشَّافِعِيُّ
“وَلَيْسَ
في الْأَذَانِ شَيْءٌ يُفْسِدُ الصَّلَاةَ لِأَنَّ الْأَذَانَ ليس من الصَّلَاةِ إنَّمَا
هو دُعَاءٌ إلَيْهَا وَكَذَلِكَ لو صلى بِغَيْرِ أَذَانٍ كَرِهْت ذلك له وَلَا إعَادَةَ
عليه.”[12]
Imam
Syafi’i berkata: “Azan bukanlah sesuatu yang mempengaruhi
sah atau tidaknya salat, karena azan pada dasarnya bukanlah bagian dari salat.
Namun azan hanyalah seruan untuk melaksanakan salat. Oleh sebab itu, seandainya
ada orang yang salat tanpa mengumandangkan azan aku memakruhkan hal itu buat
dia, namun salatnya tidak perlu diulang”.
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa Imam Syafi’i tidak pernah menganggap sesat mereka
yang mengumandangkan azan Jum’at sebanyak dua kali, hanya saja beliau lebih
menyukai praktek ibadah yang dilakukan Nabi ketimbang ijtihad legal yang
dilakukan oleh Khalifah Utsman bin Affan.
Kesimpulan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa apa yang dilakukan
oleh Khalifah Utsman bukanlah sebuah bid’ah yang mengantarkan pengikutnya ke dalam
neraka. Namun hal itu hanyalah ijtihad yang beliau lakukan lantaran desakan
kondisi semakin banyaknya umat Islam pada saat itu. Apa yang beliau lakukan
juga boleh diikuti oleh umat Islam setelahnya tanpa harus mempertentangkannya
dengan apa yang pernah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW dan dua orang khalifah
sebelumnya. Wallahu A’lam..!!
[1].Ali Mustafa
Yaqub, Cerita Maroko, (Jakarta: Maktabah Darus Sunnah, 2012), cet. 1, h.
120.
[2].Muhammad bin
Afifi al-Khudhori, Nur al-Yaqin fi Sirah Sayyid al-Mursalin, (Beirut:
Dar al-Ma’rifah, 2004), cet. 1, h. 69.
[3].Abu al-Husain
Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisabur, Shahih Muslim, (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), cet. V, h. 149.
[4].Abu Daud
Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijistani al-Azdi, Sunan Abi Daud), Mesir:
Dar al-Hadist, 2010), vol. 1, h. 244.
[5].Abu ‘Isa
Muhammad bin ‘Isa bin Surah, Sunan al-TirmidziI, (Mesir: Dar al-Hadist,
2010), vol. 1 h. 366.
[6].Abu Abdillah
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin
al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari al-Ju’fi, Shahih Bukhari, (Mesir:
Dar al-Hadits, 2004), vol. 1, h. 229.
[7].Para ulama
berbeda pendapat dalam memahaminya, Imam Bukhari dalam kitabnya Shahih
al-Bukhari mengatakan bahwa zaura’ adalah sebuah tempat yang berada
di pasar Kota Madinah, penafsiran ini didukung oleh al-Hafidz Ibn Hajr.
Sementara itu ibn Batthal memastikan bahwa zaura’ adalah sebuah batu
besar yang terletak di pintu mesjid. Lihat Imam al-Hafidz Abi al-’Ula Muhammad bin Abd al-Rahman bin Abd al-Rahim
al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jami’al-Tirmidzi, (Mesir: Dar al-Hadits, 2001), cet. I, vol. 2, h. 400.
[8].Ahmad bin Ali
bin Hajr al-‘Atsqalani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, (Mesir
: Dar al-Hadits, 2004), vol. 2, h. 452.
[9].Ahmad bin Ali
bin Hajr al-‘Atsqalani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, vol.
II, h. 453.
[10].Abu ‘Isa
Muhammad bin ‘Isa bin Surah, Sunan al-TirmidziI, (Mesir: Dar al-Hadist,
2010), vol. 4, h. 469.
[11].Muhammad Idris
al-Syafi’i, al-Umm, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1393), h. 195.
[12].Muhammad Idris
al-Syafi’i, al-Umm, h. 195.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon kritik dan sarannya.!