Pada saat mengikuti mata kuliah hadis dengan seorang dosen di kampus tercinta, saya mengalami suatu hal yang tidak biasa. Pada saat itu, secara kebetulan dosen pembimbing mata kuliah tersebut tengah menjelaskan sebuah hadis yang sangat populer dalam Islam. Hadis yang dijadikan landasan dalam keberagamaan umat Islam terkhusus dibidang keimanan dan keislaman mereka. Hadis itu terdapat dalam shahih Bukhari dan Muslim, kemudian dinukil kembali oleh Imam Nawawi dalam kitab Arba’in beliau. Berikut petikan hadis tersebut :
عن أبي عبد الرحمن عبد الله بن عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنهما قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم يقول : بني الإسلام على خمس : شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وحج البيت وصوم رمضان
Dari Abi Abdirrahman Abdullah bin Umar bin Khatthab ra. Dia berkata “saya mendengar Rasulullah SAW bersabda ‘Islam itu dibangun berdasarkan lima perkara yaitu kesaksian bahwa tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW itu adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayarkan zakat, berhaji ke Baitullah, dan berpuasa di Bulan Ramadhon”.
Sebagaimana biasa, setelah membacakan sebuah hadis, sang dosen pun mensyarah hadis tersebut dengan sistem muhadorah (oral) dihadapan kami para mahasiswa. Beliau menjelaskan secara panjang lebar bahwa salah satu pemahaman yang dapat dipetik dari hadis tersebut adalah bahwa ke-Islam-an seseorang manusia ditentukan oleh lima hal yang tersurat secara eksplisit dalam matan hadis tersebut. Manakala seseorang telah mengimani dan mengamalkan kelima perkara itu (mengucap dua kalimah syahadat, shalat, zakat, haji, dan puasa) secara sempurna, maka ketika itulah ia baru bisa dianggap sebagai seorang muslim yang kaffah (sempurna keislamannya).
Para ulama berbeda pendapat tentang status keislaman seseorang yang mengaku muslim, akan tetapi dia tidak mengindahkan semua ataupun sebagian dari dasar-dasar keislaman yang telah disebutkan dalam hadis tersebut. Tentu saja untuk perkara-perkara yang dalam pelaksanaannya tidak dikait dengan syarat istitha’ah (mampu melaksanakannya) seperti ibadah haji, zakat, dan puasa. Secara umum bagi mereka yang sanggup mengerjakannya secara sempurna, namun tidak menyempurnakannya, maka para ulama berbeda pendapat tentang status kemuslimannya.
Diantara khilaf itu adalah sebagai berikut :
- Sebagian ulama berpendapat bahwa seorang yang mengaku muslim, tapi tidak bersyahadat atau tidak melaksanakan satupun dari kelima unsur diatas, maka dia tidak bisa dianggap sebagai seorang muslim. Mereka menganalogikan hal tersebut seperti bangunan yang tidak mempunyai tiang sama sekali, maka tidak akan mungkin bangunan tersebut bisa berdiri dengan utuh dan sempurna.
- Kemudian kalau ada seseorang yang mengaku muslim, akan tetapi hanya mengucapkan 2 kalimah syahadat saja dan tidak mengerjakan 4 poin yang setelahnya, maka ulama berbeda pendapat. Imam Ahmad bin Hambal dan mayoritas ulama hadis mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat maka dia dihukumi kafir.
- Golongan murjiah sebagaimana yang dihikayatkan oleh Ishaq bin Rahaweh mengatakan bahwa seseorang tidak bisa dikatakan kafir ketika dia tidak melaksanakan rukun-rukun tersebut, selama dia telah dan masih mengiqrarkan tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad itu utusan Allah.
- Sufyan bin U’yainah menceritakan bahwa golongan Murjiah mengklaim bahwa seseorang yang tidak mengerjakan rukun-rukun tersebut beserta ada keyakinan dalam hatinya, maka dia hanya dianggap sebagai pelaku maksiat semata. Namun pendapat ini ditafshil lagi yaitu orang yang mengerjakan hal-hal yang diharamkan oleh agama tanpa ada hal yang melegalkan perbuatan tersebut maka dia dianggap telah berbuat maksiat/ fasik. Dan orang yang meninggalkan kewajiban tanpa ada sebab yang jelas seperti bodoh atau ada u’dzur lain, maka orang tersebut dianggap kafir (keluar dari agama Islam).
- A’tha’ dan Nafi’ Maula Ibnu Umar meriwayatkan bahwa keduanya pernah ditanya mengenai seseorang yang mengatakan shalat adalah wajib namun dia tidak melaksanakannya, maka keduanya menjawab bahwa orang yang bersangkutan telah kafir (keluar dari agama Islam).
Kemudian beliau juga menjelaskan bahwa selain kelima prinsip dasar keislaman tersebut, ada perkara-perkara lain yang dianggap sebagai furu’/bidh’atun (cabang-cabang) keimanan. Hal itu dijelaskan dalam berbagai riwayat lain yang sangat masyhur. Sebagian riwayat ada yang menyebutkan bahwa furu’ iman itu berjumlah 60 perkara, ada lagi yang mengatakan bahwa furu’ iman itu berjumlah 70 perkara dan malu merupakan satu cabang dari keimanan. Hal itu berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Abi Daud, Nasa’I, Ibnu Abi Dunya, yang bersumber dari Abi Hurairah. Disamping itu ada lagi redaksi lain sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi mengatakan bahwa iman itu mempunyai 79, ada lagi 77, dan 70 cabang. Serta riwayat dari I’marah bin Ghaziyyah bahwa iman itu punya 74 cabang. Dan masih banyak lagi riwayat-riwayat lain dengan redaksi yang sedikit berbeda mengenai furu’ keimanan ini, namun tidak penulis cantumkan untuk menghindari ithnab (pemborosan kata) semata.
Setelah selesai menjelaskan segala hal yang terkait dengan hadis diatas, maka sebagaimana biasa sang dosen memberikan kesempatan kepada para mahasiswa untuk bertanya ataupun memberikan komentar mengenai hadis yang baru saja beliau terangkan. Maka beberapa orang teman mengacungkan tangan. Akhirnya seorang teman yang bernama Saiful Arif bertanya mengenai hukum seseorang yang percaya kepada dokter pada saat berobat. Apakah hal itu bisa dianalogikan dengan kasus seseorang yang berobat kedukun/ tukang tenung, kemudian percaya dengan apa yang disampaikannya. Karena tersebut dalam sebuah hadis bahwa seseorang yang mendatangi tukang tenung (dukun atau penyihir), kemudian dia meyakini bahwa apa yang disampaikan dukun tersebut pasti benarnya, maka shalat orang yang bersangkutan tidak diterima oleh Allah selama 40 hari (riwayat lain mengatakan bahwa ia telah kafir dengan apa yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW).
Setelah diam sejenak sang dosen pun menjawab pertanyaan tersebut. Beliau menjelaskan bahwa kasus itu tidak bisa disamakan seperti itu. Dalam arti kata antara thabib dan tukang tenung adalah dua orang yang berbeda dan kepercayaan terhadap keduanya juga mempunyai implikasi hukum yang berbeda. Berobat/menemui tukang tenung/dukun merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh agama, sementara berobat kepada thabib merupakan suatu anjuran dalam agama. Karena orang yang sakit juga harus berobat sebagai bentuk ikhtiarnya terhadap cobaan yang diberikan Allah kepadanya. Jadi kepercayaan kepada dokter tidak akan mengakibatkan kita kufur ataupun fasik, karena kepercayaan itu hanya sebatas formalitas semata, tidak sampai ketaraf yakin yang menyebabkan kemusyrikan.
Begitu kurang lebih jawaban dari dosen tersebut. Selanjutnya beliau kembali mempersilahkan kami untuk bertanya mengenai keterangan yang baru saja disampaikan. Akan tetapi ada seorang teman yang bernama Faiz mengacungkan tangan bermaksud hendak memberikan tambahan komentar terhadap jawaban dosen tersebut. Dia menjelaskan bahwa sebenarnya yang menjadi syahid (sudut pandang) dari hadis tersebut adalah persoalan tashdiq-nya (pembenaran terhadap perkataan dukun tersebut) bukan hanya persoalan tukang tenungnya. Dia juga menandaskan bahwa berobat kepada seorang dokter sekalipun bisa mengakibatkan seseorang syirik dan bahkan kafir manakala dia meyakini bahwa dokter itulah yang menyembuhkan serta menyehatkan dirinya. Jadi sekali lagi persoalan menemui atau tidak sebenarnya tidak urgen dalam hadis tersebut, namun yang menjadi persoalan itu adalah taraf kepercayaan seseorang terhadap apa yang dikatakan tukang tenung tersebut. Penjelasan itu diterima oleh dosen dengan memberi sedikit komentar tambahan.
Setelah selesai dari bahasan tersebut, kesempatan bertanya kembali dibuka oleh sang dosen. Kali ini saya memberanikan diri untuk bertanya mengenai sesuatu problem yang terlintas secara tiba-tiba dipikiran saya. Suatu pertanyaan yang mungkin saja akan dipahami oleh sebagian kalangan sebagai kritikan terhadap pemahaman ulama, khususnya dalam ruang lingkup ahlussunnah wal jama’ah. Saya akan mencoba untuk mendiskripsikan pertanyaan itu agar pembaca tidak salah paham terhadap apa yang saya maksud. Sebagaimana yang telah disebutkan diatas (dari penjelasan sang dosen) bahwa, hadis diatas dijadikan dalil oleh para ulama khususnya ulama Ahlussunnah wal jamaah untuk menetapkan adanya rukun islam yang dijadikan sebagai tolak ukur apakah seseorang itu pantas dianggap muslim atau tidak. Nah yang menjadi pertanyaan itu adalah dari lafazh hadis yang mana mereka bisa berkesimpulan bahwa islam mempunyai rukun seperti itu. Kemudian bagaimana istidlal/metode istimbat mereka sehingga bisa menetapkan adanya 5 rukun dalam agama Islam dan 6 rukun dalam masalah keimanan.
Pertanyaan selanjutnya kalau memang hadis itu mengisyaratkan adanya rukun dalam menetapkan keimanan dan keislaman seseorang, maka kenapa mereka (para ulama) hanya meringkas rukun islam itu kedalam 5 macam saja yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji serta rukun iman kedalam 6 macam saja yakni iman kepada Allah, kemudian para MalaikatNya, Kitab-kitabNya, para RasulNya, Hari Kiamat, dan Qadar baik dan burukNya. Padahal disisi lain sangat banyak hadis-hadis nabi yang terkait dengan keimanan bahkan cendrung menjadi faktor penentu keimanan, namun para ulama tidak memasukkannya sebagai salah satu rukun dari iman atau islam itu. Diantara hadis yang mengisyaratkan hal itu adalah sebagai berikut :
- Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim yang berasal dari sahabat Anas bin Malik bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda “tidak beriman salah seorang kamu sehingga ia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri”.
- Selain itu ada hadis yang juga riwayat Bukhari dan Muslim yang berasal dari sahabat Abi Hurairah dan Anas bin Malik juga mengatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda “tidak beriman salah seorang kamu sehingga aku lebih dia cintai ketimbang orangtua, anak kandungnya sendiri, serta manusia secara keseluruhan”.
- Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan sebuah hadis yang berasal dari Abi Hurairah yang artinya “barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata dengan kata-kata yang baik atau (kalau tidak) maka hendaklah diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya.
- Dalam al-Qur’an juga banyak ayat-ayat yang secara zohir menunjukkan syarat keimanan seseorang, salah satunya dalam surat al-Anfal ayat 2 dikatakan bahwa “sesungguhnya orang yang beriman itu adalah orang yang apabila disebutkan nama Allah maka bergetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah maka bertambah imannya, serta kepada Allah dia berserah diri”. Dan ayat-ayat lain yang tidak sempat penulis tampilkan dalam tulisan ini.
Secara lahiriahnya hadis dan ayat-ayat tersebut menunjukkan kriteria keimanan seseorang, sehingga dengan kriteria tersebut kita dapat membedakan mana diantara manusia yang muslim dan mana diantara mereka yang tidak. Diantara kriteria tersebut adalah mencintai saudara sesama muslim sebagaimana ia mencintai diri sendiri, mencintai rasulullah melebihi diri sendiri, keluarga, dan manusia pada umumnya, menghormati tamu dan tetangga, berkata dengan perkataan yang baik atau diam, bergetar hati pada saat nama Allah disebut, bertambah keimanan manakala ayat-ayat Allah dibacakan, dan yang terakhir bertawakkal hanya kepada Allah SWT.
Akan tetapi dari sekian tanda ataupun ciri-ciri keimanan yang tersebut dalam hadis ataupun ayat-ayat tersebut, tidak satupun yang tergolong kepada rukun iman. Rukun iman hanyalah yang 6 itu saja, tidak lebih dan tidak kurang. Adapun hal-hal yang telah disebutkan diatas hanya dianggap sebagai penyempurna iman semata. Nah pertanyaannya sekarang, kenapa hal-hal tersebut tidak digolongkan sebagai rukun iman juga padahal dari segi substansi keberadaan ciri-ciri ini tidak jauh berbeda dengan teks-teks hadis yang dipahami oleh para ulama sebagai dalil adanya istilah rukun dalam Islam dan islam. Setelah selesai menyampaikan pertanyaan itu, sang dosen tersebut diam sejenak kemudian menjawabnya.
Sepanjang yang saya pahami, jawaban beliau mengenai persoalan tersebut adalah sebagai berikut. Persoalan rukun iman dan islam itu dipahami dari hadis yang ma’nanya sudah jelas dan diterangkan secara ekslisit dalam hadis tersebut. Dan tidak ada kemungkinan lain dari hadis itu selain pemahaman yang telah beliau sampaikan. Adapun istilah rukun, dapat dipahami dari kata-kata “buniya” yang secara mudah berarti dibangun/didirikan. Kemudian beliau menganalogikan persoalan itu kepada sebuah rumah. Rumah sejatinya tidak akan bisa dianggap rumah atau tidak akan bisa berdiri secara utuh tampa adanya tiang. Peran tiang tidak hanya dianggap penting, tapi menentukan apakah sebuah rumah itu dianggap rumah atau tidak. Jawaban ini sebenarnya adalah jawaban normatif dan belum memuaskan saya.
Inti dari pertanyaan saya belum dijelaskan secara gamblang oleh sang dosen. Yaitu kenapa rukun iman itu hanya 6, sedangkan dalam hadis dan ayat yang saya sebutkan diatas sebenarnya juga terselip kriteria keimanan, tapi tidak dianggap sebagai rukun iman sebagaimana rukun-rukun yang lain itu. Jadi apakah bisa disimpulkan bahwa pengklaiman adanya istilah rukun iman dan rukun islam dalam agama islam hanyalah ijtihad semata, yang muncul dari pemahaman para ulama terhadap nash-nash al-Qur’an dan al-Hadis.?. Dalam arti kata Allah dan RasulNya tidak pernah memastikan hal itu secara gamblang terhadap umatnya. Sehingga dapat dibahasakan bahwa para ulama aswaja mencoba untuk memonopoli pemahaman agama, sehingga dengan rumusan-rumusan yang seolah-olah telah paten itu, mereka bisa menghukumi seseorang, apakah dia pantas dianggap sebagai muslim aswaja atau tidak.
Sekilas, pertanyaan ini terlihat nyeleneh, ke-ulil-ulil-an, sok-sok jadi pemikir, dan lain sebagainya. Namun sebenarnya saya bertanya seperti ini mempunyai alasan dan tujuan yang jelas. Pertanyaan ini hanya semata-mata untuk meneguhkan keyakinan terhadap I’tiqad aswaja yang saya yakini kebenarannya. Akan tetapi saya berfikir, seandainya ada oknum-oknum lain diluar ruang lingkup aswaja mempertanyakan persoalan-persoalan sebagaimana yang telah saya narasikan diatas, maka bagaimana kita sebagai muslim aswaja akan menanggapinya. Akankah kita cuman diam dan mengkritik penanya dengan alasan bahwa dia menanyakan sesuatu yang salah dan bisa menyebabkan dia dianggap kafir dalam agama..? akankah kita tidak menjawab pertanyaan itu dengan alasan bahwa si penanya itu tidak mengetahui hal-hal substansial dalam agama yang tidak perlu ditanyakan atau dikritik lagi..?, kalau sipenanya itu hanya disuguhi jawaban asal-asalan seperti itu, maka penulis yakin hal itu akan berimplikasi buruk terhadap sipenanya dan agama islam sendiri. kenapa seperti itu.?
Sebuah pertanyaan menurut saya, betapapun mudah dan nyelenehnya haruslah ditanggapi secara serius oleh para ilmuan apalagi kalau hal itu berkaitan dengan keyakinan/agama. Karena memang, mereka diproyeksikan untuk memberi pemahaman-pemahaman terhadap manusia. Tidak selayaknya seorang ulama langsung emosi manakala dia mendengarkan seseorang yang bertanya tentang agama, namun langsung dijustifikasi bahwa apa yang dia tanyakan adalah salah, tidak sepantasnya ditanyakan, dan jawaban-jawaban “jadul” lainnya. Apalagi kalau sang ilmuwan langsung bersuudzon kepada sang penanya bahwa pertanyaannya itu dimaksudkan hanya untuk menyesatkan umat islam yang lain, membuat keraguan-keraguan dalam agama, serta anggapan bahwa apa yang dia yakini telah bertolak belakang dengan apa yang telah dijelaskan oleh Allah dan rasulnya. Sebuah kenaifan yang sangat memalukan menurut saya kalau sikap itu dianut oleh para ulama yang sejatinya menjadi pedoman bagi siawam dalam menjawab keraguan yang muncul dalam pikirannnya. Karena keraguan itu biasanya muncul dari orang yang berfikir dan tidak bisa dicegah namun bisa diluruskan. Nah untuk yang terakhir inilah tujuan saya menanyakan hal diatas.
Seorang teman mengacungkan tangannya, kemudian menjelaskan bahwa alasan kenapa rukun iman itu hanya 6 adalah lantaran seluruh hal-hal yang disebutkan tadi (seperti mencintai saudara sesama muslim sebagaimana mencintai diri sendiri, mencintai rasul melebihi diri sendiri, orang tua, dan orang lain, menghormati tamu, dan lain-lain) masuk kedalam kandungan rukun iman yang enam tersebut. Jadi tidak ada hujjah bagi kita untuk menambahkan hal-hal tersebut sebagai rukun iman, karena perkara-perkara itu hanyalah unsur penyempurna iman saja, bukan hal yang menjadi penentu keimanan itu sendiri.
Jawaban ini juga kembali mengundang pertanyaan bagi saya, kalau memang jawabannya seperti itu, lantas kenapa rukun iman itu berjumlah 6, kenapa tidak satu 2 atau bahkan satu saja yaitu iman kepada Allah SWT. Kalau diperhatikan betul, rukun iman yang ke-3 sampai yang ke-6 yaitu iman kepada kitab-kitab, rasul-rasul, hari kiamat, dan qadar baik serta qadar buruk Allah itu sudah tercakup kedalam keimanan kepada Allah SWT. Karena sumber keimanan dalam Islam adalah Allah, adapun beriman kepada apa yang beliau syariatkan lewat utusan-utusan beliau adalah masuk dibawah keumuman iman kepada Allah itu sendiri.
Selang beberapa saat setelah itu, dosen tersebut berkomentar kembali “pada dasarnya pertanyaan seperti ini merupakan pertanyaan orang-orang mu’tazilah”, namun saya langsung menegaskan dengan suara yang agak tinggi “lastu mu’taziliyyan yaa ustadz” sebagai respon terhadap apa yang beliau sampaikan. Dan beliau kembali mengulang jawaban seperti jawaban-jawaban sebelumnya. Tak lama berselang, waktu pun habis, maka berakhirlah mata kuliah hadis edisi hari itu dengan menyisakan sebuah pertanyaan yang masih menganjal di pikiran saya.
Itulah sekilas pengalaman yang sempat saya abadikan sebagai sebuah kenang-kenangan buat hidup masa depan. Satu pelajaran yang mungkin bisa dipetik dari tulisan diatas adalah supaya bisa berbuat lebih bijaksana lagi dalam menyikapi segala sesuatu. Tidak lekas suudzon terhadap pertanyaan seseorang yang mungkin saja secara zhohir kelihatan nyeleneh, tapi mungkin saja pertanyaan itu mengandung ma’na lebih dalam dari apa yang dibayangkan. Seperti yang saya kemukakan diatas, tidak ada sedikitpun niat untuk meragukan kebenaran doktrin rukun iman yang enam dan rukun islam yang 5 tersebut. Hanya saja pertanyaan itu saya lemparkan untuk mencari jawaban yang pas kalau seandainya diri ini ditanya dengan pertanyaan yang serupa dan sekaligus untuk membuka wacana diskusi di kelas, agar tidak vacum dan membosankan, hanya itu.
Mengenai jawaban dari pertanyaan diatas, sebenarnya sudah banyak dibahas oleh para alim ulama, baik klasik maupun yang kontemporer. Salah satu diantaranya saya temukan dalam kitab syarah al-Thahawiyyah fi al-Aqidah al-Salafiyyah karya Ibnu Abi al-I’zz. Dalam sebuah tanya jawab yang beliau tulis disebutkan sebagai berikut “apabila perkara-perkara zahir yang Allah wajibkan itu lebih banyak dari 5 rukun Islam itu, maka kenapa Islam hanya diartikan dengan 5 perkara ini saja.?”, maka Ibnu Abi al-Izz pun mengajukan beberapa versi jawaban. Diantaranya ada yang mengatakan bahwa perkara yang 5 itu merupakan syiar-syiar agama islam yang paling tampak dan dominan dibanding perkara-perkara yang lain. Sehingga dengan mengerjakan kelima perkara tersebut bisa menjadi bukti kepasrahan seseorang manusia terhadap tuhannya dan bukti kelemahan iman apabila sebaliknya.
Kemudian jawaban yang lain, sebagaimana dimaklumi Nabi SAW telah menjelaskan agama merupakan bentuk kepasrahan seorang hamba terhadap tuhannya secara umum yang didalamnya terdapat kewajiban-kewajiban terhadap Allah berupa pribadi ataupun kolektif. Adapun rukun islam yang lima tersebut serta perkara-perkara lain selain keduanya, hanya saja diwajibkan lantaran faktor kemaslahatan, sehingga kewajibannya itu tidak mengenai seluruh manusia seperti halnya ibadah-ibadah yang mempunyai hukum fardu kifayah serupa jihad, amar ma’ruf, dan nahi mungkar dan lain-lain. Sementara itu apa-apa yang wajib dengan sebab hak adami (hak manusia), maka kewajiban tersebut hanya berkisar diantara orang yang punya kepentingan saja, tidak yang lain.
Kewajiban yang terakhir ini akan gugur dengan hilangnya sebab huququ al-adami tersebut, seperti membayar hutang, menjalankan amanah, mengembalikan barang curian, meluruskan kezaliman baik yang berbentuk fisik, harta, ataupun kehormatan. Hal ini berbeda dengan kewajiban puasa Ramadhan, haji ke Baitullah, shalat 5 waktu, dan zakat. Status wajib yang ditetapkan syara’ terhadap kelimanya bersifat mengikat, tidak seorangpun diperbolehkan meninggalkannya ataupun memindahkan kewajiban tersebut kepada orang lain, karena dia bersifat kewajiban individu/fardu ain berdasarkan syara’ secara pasti. Nah inilah sebabnya kenapa hal yang lima itu dianggap sebagai tiang/inti ajaran islam, lantaran begitu pentingnya amalan itu serta begitu tegasnya sanksi yang akan diperoleh bagi mereka yang meninggalkannya secara sengaja.Semoga bermanfaat..!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon kritik dan sarannya.!