Indonesia dengan segala kekayaan alam dan budayanya merupakan
negara yang sangat potensial untuk maju dan berkembang ke arah yang lebih baik.
Wilayah yang luas ditambah dengan kondisi geografis yang strategis membuat hal
itu semakin besar dan nyata adanya. Namun entah kenapa deskripsi yang begitu
indah dan menawan tersebut berbanding terbalik dengan fakta lapangan yang ada
saat ini. Kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia tidak dibarengi
dengan sumber daya manusia yang memadai, sehingga tak jarang hal itu
berimplikasi terhadap eksistensi kita yang seolah-olah menjadi tamu di rumah
sendiri.
Betapa banyak kekayaan negeri ini yang dirampas oleh tangan-tangan
asing pada tiap tahunnya? Berapa banyak kebudayaan bangsa yang secara
gampangnya dicaplok oleh negara lain? Serta berapa banyak anak bangsa yang bekerja
di negara lain hanya untuk mencari kehidupan yang lebih baik ketimbang bekerja
di negaranya sendiri. Sungguh miris hati ini melihat banyaknya para tenaga
kerja Indonesia yang menderita gara-gara tindakan lalim yang dilakukan oleh
majikan di tempat mereka bekerja. Tidak sedikit mereka yang disiksa, diperkosa,
dan bahkan dianggap sederajat dengan budak sekalipun. Satu pertanyaan yang
muncul dari hati ini, “Sebegitu sulitnya kah mencari penghidupan di negeri
ini, sampai-sampai banyak dari warganya yang mengorbankan harga dirinya hanya
untuk mendapatkan sesuap nasi di negara seberang?”
Pertanyaan ini sangat sepele namun sangat penting untuk diungkap
dan dicarikan solusinya secara bersama-bersama. Karena kalau kita biarkan hal
ini terjadi secara terus-menerus, maka tidak mustahil harkat dan martabat
bangsa yang begitu agung ini, hasil jerih payah dan tetesan keringat para
pejuang bangsa sejak 69 tahun yang lalu, akan pupus dan kandas di tengah jalan
karena tidak ada lagi celah yang bisa diharapkan untuk memperjuangkan nasib
anak bangsa. Jujur kita butuh sosok seperti Bung Karno yang dalam sebuah
ungkapannya yang sangat terkenal pernah berujar “berikan aku 10 orang
pemuda, maka akan aku bangun negeri ini bersama mereka”. Sebuah ungkapan
optimistis yang bisa menggugah semangat anak bangsa untuk senantiasa berjuang
menuju Indonesia lebih baik.
Pada hakikatnya banyak pihak yang sadar akan hal ini, namun karena
kurangnya pengalaman serta tidak adanya visi dan misi yang jelas dalam
pembangunan sumber daya manusia itu telah mengakibatkan mandulnya pergerakan
dan minimnya perjuangan. Berbagai masalah lain juga dihadapi bangsa ini, mulai
dari kasus kemiskinan, keterbelakangan moral dan spiritual, kekerasan atas nama
agama, serta merebaknya sikap-sikap ekstrim dalam masyarakat cukup menjadi
bukti kongkrit betapa lemahnya pengawasan kita terhadap kondisi bangsa dan
negara sendiri. Oleh karena itu, sekali lagi, kerjasama dari pihak-pihak
terkait seperti pemerintah, golongan cerdik pandai, dan tokoh-tokoh agama
sangat diharapkan.
Dalam hal ini ada beberapa poin yang menurut saya harus dibenahi
dalam rangka meminimalisir kasus-kasus di atas, di antaranya :
Pertama, meningkatkan
pendidikan anak-anak bangsa dengan menyeimbangkan antara kecerdasan
intelektual, emosional, akhlak dan spiritualnya. Pengalaman saya saat ini
(sebagai seorang guru agama di Madrasah Darus-Sunnah Jakarta) cukup membuktikan
bahwa kecerdasan intelektual semata tanpa diimbangi dengan kecerdasan emosional
dan spiritual akan berakibat fatal dan merusak. Betapa tidak, seorang anak yang
hanya mempunyai kecerdasan intelektual semata akan bersikap acuh tak acuh
terhadap temannya yang sedang membutuhkan bantuannya. Selain itu, anak yang
seperti ini terkesan sombong dan cendrung ingin berkuasa dari teman-temannya
yang lain. Akibatnya dia menghalalkan segala cara demi mewujudkan ambisinya
untuk menjadi penguasa. Apabila para penguasa di negeri ini diisi oleh karakter-karakter
seperti ini, maka tidak mustahil “pencuri-pencuri berdasi” alias koruptor akan
semakin merajalela. Karena sebenarnya mereka cerdas secara intelektual namun
awam dalam hal emosi dan spiritual.
Kedua, menghargai
prestasi anak bangsa serta mengapresiasinya dengan penghargaan-penghargaan
tertentu. Saya terenyuh ketika mendengarkan berita tentang mantan presiden kita
Bapak B.J. Habibi yang pernah direkrut oleh negara lain menjadi anggota
negaranya lantaran kemampuannya kurang dibutuhkan di negaranya sendiri dalam hal
industri pesawat terbang. Hal ini membuktikan bahwa betapa minimnya penghargaan
negara ini terhadap anak-anak bangsanya sendiri. Kita merupakan negara yang
sudah berumur tua, 69 tahun terhitung sejak kemerdekaan kita di tahun 1945
silam. Sudah saatnya kita percaya diri dengan kemampuan sumber daya manusia kita
sendiri. Sudah saatnya kita mandiri dengan anak-anak bangsa yang mempunyai
kemampuan dalam berbagai bidang yang ada. Sehingga dengan demikian kita bisa
menjadi tuan rumah di negeri sendiri, bukan sebagai tamu.
Ketiga, membumikan
sikap toleransi dan saling menghargai antar budaya dan agama yang ada dalam masyarakat
Indonesia yang majemuk. Salah satu persoalan kronis bangsa ini adalah kurangnya
kesadaran toleransi dan sikap menghargai dalam hal budaya dan agama. Hal ini
menurut saya disebabkan oleh didikan yang salah dari beberapa instansi dan
lembaga pendidikan yang ada. Masih banyak para guru, cerdik pandai, serta para
pendidik yang mengajarkan anak-anak didiknya dengan ajaran yang cendrung rasis
dan mencela ajaran lain di luar agama dan budayanya. Rasa cinta terhadap budaya
dan agama sendiri memang bagus dan terpuji, namun menganggap remeh budaya dan
agama lain merupakan perbuatan tercela yang harus dijauhi dan ditinggalkan.
Oleh karena itu, saya secara pribadi sangat bercita-cita dan mendambakan
terwujudnya negara Indonesia yang berkeadilan, mandiri, serta menghargai
perbedaan antar satu sama lain demi merajut persatuan dan kesatuan bangsa di
masa-masa yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon kritik dan sarannya.!