Suatu pagi ketika forum kajian fajriah yang rutin diadakan oleh Pesantren Luhur Ilmu Hadist Darussunnah setiap ba’da subuh tengah berlangsung, tiba-tiba Prof.Dr.KH. Ali Mustafa Ya’qub (pimpinan pondok yang kebetulan mengajar kami pada waktu itu) memerintahkan kepada salah seorang santrinya dari Usrah Abu Daud (usrah penulis sendiri) untuk membaca matan hadist yang akan menjadi topik kajian selanjutnya. Pagi itu madah yang kami pelajari adalah kitabnya Imam Ibnu Majah (salah seorang dari ashhabussunan, kitab beliau berjudul Sunan Ibnu Majah). Hadist yang menjadi topic pembahasan adalah hadist tentang masalah talqin mayat yang terdapat dalam Bab Janaiz dari kitab Sunan Ibnu Majah tersebut, lebih kurangnya hadist itu berbunyi sebagai berikut :
لقننوا موتاكم لااله الا الله
Ajarkanlah terhadap orang yang akan wafat diantara kamu kalimat Laa ilaaha illa allaahu.
Setelah selesai membaca hadist tersebut, santri itupun ditanya oleh Pak Yai (panggilan akrab kami terhadap pimpinan pondok) tentang ma’na dari kata-kata “mautaakum” yang terdapat dalam hadist riwayat Ibnu Majah tersebut, tanpa berpikir panjang lantas santri itupun menjawab “Man hadarahu al-mautu” yaitu seseorang yang tengah menghadapi kematian (sebagaimana perkataan Al-Imam Abdul Baaqi yang dinukilkan oleh Sayyid Ibrahim Mustafa Futuhi dalam hasyiyahnya terhadap kitab Sunan Ibnu Majah tersebut). Sementara dipihak lain pak Yai pun berguyon dengan mengatakan “a laisa man yuriidu al-mauta..??” kata beliau, (dengan arti “orang yang berkeinginan untuk mati..? “ sebagaimana yang dibahasakan oleh sebagian santri) dan kamipun serempak tertawa dengan uslub bahasa yang beliau ungkapkan yang terkesan menyindir kami yang salah dalam menta’bir bahasa.
Sesaat kemudian beliaupun memberikan suatu wacana pemikiran tentang bagaimana dengan mayat yang sudah mati dan telah dikuburkan, apakah boleh atau tidak untuk ditalqinkan. Berkenaan dengan hal ini beliaupun memberikan tugas kepada santri tersebut untuk membuat suatu tulisan pendek yang berkenaan dengan hukum boleh atau tidaknya menalqinkan mayat setelah dikuburkan. Nah untuk menyempurnakan pembahasan itu penulis akan mencoba menggalinya dari beberapa sumber yang insyaAllah bermanfaat buat kita, terlebih buat penulis sendiri.
Pertama yang harus diketahui adalah hadist mengenai talqin diatas dengan redaksi yang sama tapi dengan jalur transmisi/ sanat yang berbeda juga dinukilkan oleh kebanyakan muhadditsin seperti Imam Muslim dalam Shahiah Muslimnya, Imam Abi Daud dalam Sunannya, Imam Nasa’i dalam sunannya, Imam at-Turmudzi juga dalam sunannya, Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab Musnadnya, dan juga tersebut dalam kitab-kitab hadist lain seperti Shahiah Ibnu Hibban, Al-Muntaqa karya Ibnu Jaarud, Sunan Al-Baihaqi, Sunan Abi Ya’la, Riyadusshaalihin karya Imam Nawawi dan lain-lain. Nah kalau dilihat dari segi kualitas hadist, maka tidak diragukan lagi bahwa hadist tentang talqin mayat ini adalah hadist yang shahiah lantaran diriwayatkan oleh sebagian besar ahli hadist, dan kalaupun ada diantara sanat-sanatnya yang dhaif, maka hadist itupun secara otomatis akan meningkat kualitasnya menjadi hadist hasan lighairihi lantaran banyaknya riwayat-riwayat mengenai hadist tersebut. Namun kenyataannya hadist ini adalah shahiah lantaran diriwayatkan oleh Imam Muslim yang pernah mengatakan bahwa beliau hanya memasukkan hadist-hadist shahiah yang telah disepakati kedalam kitab beliau, sebagaimana dinukil oleh Mahmud Thahan dalam kitabnya Taisir Mushthalahil Hadist.
Setelah kita mengetahui bahwa hadist tersebut shahiah dari segi kualitas sanat, selanjutnya yang menjadi objek bahasan adalah mengenai apa dan bagaimana tanggapan para ulama hadist tentang ma’na dari hadist talqin ini dan hal ini juga sekaligus untuk menjawab pertanyaan dari Pak Yai diatas mengenai boleh tidaknya mentalqinkan mayat setelah dikuburkan. Hal ini sangat urgen karena masih ada juga diluar sana sebagian oknum yang tidak bertanggung jawab yang secara spontan menjustifikasi amalan talqin itu sebagai suatu hal yang bid’ah dan tidak patut untuk diamalkan oleh seorang muslim. Kita menghargai sikap dari kawan tersebut, karena sifat ghirahnya yang begitu tinggi terhadap kesakralan agama Islam supaya tidak bercampur baur dengan hal yang bukan bagian darinya.
Namun disisi lain rasa ghirah yang berlebihan dan tampa didasarkan dengan ilmu yang cukup itu juga disisi lain merupakan hal yang tidak bagus untuk kemashlahatan agama, karena hal itu bukannya akan memurnikan agama malahan menimbulkan masalah baru yang sangat berbahaya bagi keutuhan agama itu sendiri, yaitunya bahaya perpecahan dan kekacauan. Jadi untuk menyeimbangkan rasa ghirah terhadap agama dengan realita yang terjadi haruslah disikapi dengan sikap yang dinamis dan tidak terlalu kaku dan ortodok sehingga menghasilkan suatu istimbat hokum yang shahiah dan bisa dipertanggungjawabkan serta diamalkan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Dalam persoalan ini penulis akan mencoba untuk memaparkan beberapa asumsi dari ulama-ulama mengenai syarahan dari hadist diatas. Secara ekplisit tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai bolehnya menalqinkan seseorang yang akan meninggal dunia dengan kalimat-kalimat yang baik, yang salah satunya adalah dengan kalimat ikhlas Laa ilaaha illa Allahu, dan bahkan ada juga dalam hadist lain sebagaimana dinukilkan oleh KH. Sirajuddin Abbas dalam bukunya 40 masalah agama sebuah hadist riwayat Abi Daud yang mengisyaratkan bolehnya menalqin mayat yang sedang muhtadhor (sekarat) itu dengan membaca surat Yasin. Namun tidak begitu halnya dengan persoalan boleh tidaknya talqin mayat setelah mayat itu dikuburkan. Nah ada diantara mereka yang terlalu tergesa-gesa dalam menghukumi sesuatu mengatakan bahwa hal itu ghairu ma’qul ( tidak masuk akal ) dengan alasan-alasan yang terkadang tidak logis dan berdalil dengan hujjah yang jelas.
Habib Zainul Abidin Baa’lawi dalam bukunya Al-Ajwibah al-ghaaliyah fii Aqiidati al-Firqati an-Najiyah menuturkan bahwa kebanyakan ulama dari kalangan Syafiiyyah dan begitupun dari Hanabilah serta sebagian dari Hanafiyah dan Malikiyah membolehkan talqin mayat setelah mayat itu meninggal dan dikuburkan dan bahkan mereka menghukumi hal itu dengan sunnat dalam artian orang yang melaksanakannya memporoleh pahala dari Allah SWT lantaran telah berbuat suatu kebaikan yang masyru’ (yang ada petunjuk dari agama) serta hal ini juga sekaligus bermanfaat bagi mayat yang telah dikuburkan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat Mungkar dan Nakir karena pernah diceritakan dalam sebuah hadist shahiah bahwa seseorang yang telah wafat, kemudian dikuburkan, lalu orang-orang yang mengantarkannya kekuburan itu akan kembali melangkah pulang ketempat mereka masing-masing, maka sang mayat yang telah wafat itu dengan izin Allah mendengar jejak langkah sandal mereka, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahiahnya yang berasal dari Ibnu Abbas yang berbunyi :
قَالَ « الْعَبْدُ إِذَا وُضِعَ فِى قَبْرِهِ ، وَتُوُلِّىَ وَذَهَبَ أَصْحَابُهُ حَتَّى إِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ
Ibnu Abbas telah berkata “Seorang hamba apabila ia telah dikuburkan, kemudian teman-temannya kembali dan pergi meninggalkan kuburannya, maka sungguh ia mendengar bunyi sandal mereka”.
Kemudian al-Imam Abi Zakaria Yahya bin Syarifuddin An-Nawawi dalam kitabnya yang terkenal al-Adzkar menyebutkan bahwa mentalqinkan mayat setelah dikuburkan dihukumi sunnat oleh kebanyakan sahabat-sahabat kita, diantaranya Qadhi Husain dalam kitab Ta’liqnya, Abu Sa’id dalam Al-Mutawalli dalam kitabnya Tatimmah, Syekh Imam Zaahid Abu Fath Nashar bin Ibrahim bin Nashr AL-Maqdisi dan Imam Abu Qasim ar-Rafi’i. Syekh Imam Abu A’mr bin Shalah berkata ketika ditanya tentang masalah talqin, lalu beliau menjawab dalam kitab Fatawanya “talqin seperti yang disebutkan adalah sesuatu yang telah kami pilih dan kami amalkan. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu’ al-Fatawa yang sering jadi rujukan bagi mereka yang menganggap bid’ahnya talqin mayat setelah dikuburkan berkata “Talqin mayat setelah dikuburkan telah ada semenjak zaman sahabat dan bahkan ada diantara mereka yang memerintahkan hal tersebut diantaranya adalah Abu Umamah dalam sebuah riwayatnya berkata “suatu ketetapan bahwa seorang yang telah dikuburkan dia akan ditanya dan diuji, dan (orang yang masih hidup) diperintahkan untuk berdoa untuknya”. Oleh sebab itu talqin adalah suatu hal yang berfaedah terhadap mayat, karena pada dasarnya mayat itu akan mendengarkan panggilan-panggilan dari orang yang masih hidup terhadapnya sebagaimana yang telah kita sebutkan dalam hadist riwayat Bukhari diatas.
Sementara itu dilain pihak masih ada juga mereka yang menentang bolehnya menalqinkan mayat setelah dikuburkan dengan analisis yang mereka anggap shahiah dan tepat untuk menolak kebolehan dari amalan talqin ini. Diantara mereka ada yang berkata bahwa lafazh “mauta” pada hadist talqin diatas ma’nanya adalah orang yang akan wafat, bukanlah orang yang telah mati dan bahkan telah dikuburkan. Karena suatu hal yang tidak mungkin terjadi manakala orang yang hidup memberikan pengajaran kepada orang yang telah mati dan lagian dari mana muncul boleh/ sunnahnya hukum menalqinkan mayat yang sudah wafat tersebut. Maka pertanyaan ini akan kita jawab bahwa “daliilukum hujjatun a’laikum laa lakum” dalil kalian merupakan hujjah untuk mematahkan pendapat kalian sendiri, karena kalau lafazh “mauta” diatas diartikan dengan orang yang telah wafat dan bahkan dalam sebuah kamus disebut bahwa lafazh mauta itu adalah jamak taksir dari lafazh maitun yang berma’na orang yang mati, maka hadist inilah yang menjadi dasar utama kebolehan talqin mayat setelah dikuburkan.
Karena secara literal, ma’na hadist diatas akan berbunyi “ajarkanlah orang yang telah wafat diantara kamu akan kalimat Laa ilaaha illa Allahu”. Dan lagian dalam sebuah qaedah fiqh dikatakan bahwa “al-ashlu fi al-kalaami al-haqiiqatu” yang menjadi asal dari sebuah ungkapan lafazh adalah ma’na hakikatnya. Jadi kalau mauta diatas diartikan dengan ma’na hakikatnya yaitu orang yang mati, sementara mereka mengartikannya dengan orang yang akan wafat (penakwilan ma’na hakikat kepada ma’na yang lain/ majazi), maka yang hakikat lebih didahulukan dari ma’na majazi, maka shahiahlah asumsi mereka yang mengatakan hadist itu menjadi dalil untuk bolehnya talqin mayat yang telah dikuburkan. Kemudian mengenai sampai atau tidaknya amalan itu dan juga masuk logika atau tidaknya hal itu kembali kepada sejauh mana keyakinan kita masing-masing, karena yang akan menyampaikan talqinan orang yang hidup kepada orang yang telah wafat itu pada dasarnya adalah Allah dan Beliau jugalah yang akan memberikan kekuatan kepada mayat itu untuk bisa mendengar apa yang dikatakan oleh orang yang menalqin dan begitupun dengan bunyi sandal orang-orang yang mengantarkannya kekuburan, sebagaimana yang telah penulis paparkan diatas.
Demikian, semoga bermanfaat…..!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon kritik dan sarannya.!