Asghar Ali Engineer adalah seorang pemikir dan aktivis yang memimpin salah satu kelompok Syi’ah Ismai’liyah, Daudi Bohras (Guzare Daudi) di Bombay, India. Dalam sejarah pemikiran Islam modern, dia dikenal sebagai pencetus teologi pembebasan dan pioner utama bagi pembaharuan realitas sosial umat Islam. Dia menulis beberapa karya fenomenal yang bertemakan pembebasan diantaranya “Islam and Relevance to Our Age” yang kemudian diterjemahkan oleh Hairus Salim dan Imam Baihaqy dengan judul “Islam dan Pembebasan” dan telah dua kali naik cetak, yaitu pada November 1993 kemudian pada Mei 2007. Selain itu dia juga menulis buku “The Qur’an Women and Modern Society” yang dialihbahasakan oleh Agus Nuryatno dengan judul “Pembebasan Perempuan” yang juga telah 2 kali naik cetak, terakhir pada Agustus 2007. Dengan melihat beberapa karyanya tersebut, terlintas dalam benak kita sebuah pertanyaan apakah siginifikasi dari sebuah terma “Pembebasan” yang digulirkan oleh sosok Asghar di pelbagai karya-karyanya tersebut? Sejauh manakah batas-batas kebebasan yang dimaksud Asghar dan bagaimana relevansinya dengan doktrin Islam? Barangkali itulah sederet pertanyaan yang akan dijawab dalam tulisan yang sederhana ini.
Djohan Efendi dalam pengantarnya terhadap buku “Islam dan Kebebasan” mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang dianggap menjadi penyebab kemunduran umat Islam beberapa abad belakangan ini adalah lantaran mereka terbelenggu oleh “Teology Tradisional” yang mereka anut. Teology yang dikaitkan dengan faham Jabariah atau Fatalisme yang diklaim telah melahirkan sikap pasif, pasrah, dan menyerah pada suratan taqdir. Beranjak dari teology inilah muncul dan bangkitnya kembali “teology rasional” atau lazim disebut dengan “Neo-Mu’tazilah” yang awalnya digagas oleh Harun Nasution, salah seorang mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan putra Indonesia yang pertama dapat meraih gelar doctor dalam Islamic Studies di McGill University, Montreal, Canada pada tahun 1968.
Salah satu poin pemikiran beliau (sebagai mashadaq atau kandungan dari teology rasional yang dianggap “keluar” dari pendapat maenstrim dan pemahaman umum masyarakat Indonesia waktu itu) adalah statement yang mengatakan bahwa rukun iman yang wajib diimani oleh seorang muslim itu hanya Lima saja, dengan meniadakan iman kepada qadha dan qadar. Hal ini menyebabkan banyaknya kritikan terhadap beliau atas ide tersebut, namun menurut penuturan dari beberapa sumber yang dapat dipercaya menyatakan bahwa beliau telah kembali dari faham tersebut pada saat seseorang bertanya kepada beliau mengenai statusnya yang tidak mempunyai anak selama hidup dan perkawinannya, sehingga akhirnya beliaupun melontarkan jawaban bahwa itu semua adalah taqdir dari yang Maha Kuasa. Ini membuktikan bahwa pemikiran seseorang itu merupakan proses dari pencariannya terhadap suatu kebenaran, kalau memang pemikiran itu timbul berdasarkan hasil riset dan penelitian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan maka kita mengaprisiasinya sebagai suatu hasil karya pemikiran yang murni.
Dan hal serupa ini juga pernah dialami oleh Imam Al-Ghazali yang telah mengalami sederet proses panjang dalam usaha pencarian terhadap kebenaran. Awalnya beliau mendalami ilmu syariat (fiqh), kemudian pada saat kejenuhan datang melanda serta beliau tidak memperoleh kepuasan dalam ilmu ini, beliau pindah kedunia pemikiran/ filsafat dengan anggapan panca indra dan akallah yang bisa mengantarkan seseorang kepada kebenaran, namun kenyataannya tidak seperti apa yang beliau kira, beliau berenang dalam lautan skeptisitas yang melelahkan dan sampai pada akhirnya beliau berlabuh pada dunia hakikat (tashauf) sampai akhir hayat beliau. Dan dalam bidang inilah beliau akhirnya dikenal serta lewat karya monumentalnya Ihya’ Ulumiddin. Akan tetapi kalau pemikiran itu hanya sebatas sensasi yang sengaja dibikin-dibikin untuk mendongkrak popularitas, tidak berasal dari hasil pemikiran malahan lantaran suruhan ataupun permintaan yang mengandung unsure politik tertentu, maka itu menurut penulis adalah sebuah kebodohan yang amat nyata dan kebohongan intelektual yang sangat memalukan.
Tidak berapa lama setelah kemunculan teology rasional, muncul lagi gagasan “liberalisasi” dan “sekulerisasi” yang dicanangkan oleh Nurcholish Madjid pada tahun 70-an. Dia mencoba untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecendrungan untuk mengukhrawikannya serta dia juga yakin bahwa Islam sebenarnya dimulai dengan proses sekulerisasi dan tauhid merupakan pangkal tolak sekulerisasi secara besar-besaran. Akan tetapi gagasan liberalisasi dan sekulerisasi yang Cak Nur asumsikan tersebut banyak mendapatkan kritikan dari berbagai kalangan diantaranya Muhammad Natsir, HM Rasyidi, Prof Hamka, Endang Saifuddin Anshari, Abdul Qadir Jailani serta beberapa tokoh-tokoh lainnya. Hal ini sebagaimana dilansir oleh Faisal Ismail dalam bukunya “Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid Seputar Isu Sekulerisasi Dalam Islam” yang terbit pada Juli 2010 yang lalu. Namun sampai akhir hayatnya tidak ditemukan revisi ataupun klarifikasi yang beliau lontarkan terhadap kritikan-kritikan tersebut, hal ini menunjukkan bahwa Cak Nur benar-benar yakin terhadap kebenaran teori yang dia anut itu.
Kemudian, tidak jauh berbeda dengan keduanya, Gusdurpun juga melontarkan ide bahwa gerakan cultural yang sibuk dalam tataran ide saja belumlah cukup. Dia juga menentang gerakan politik yang cendrung memanipulasi agama untuk memperoleh kekuasan. Sehingga dapat difahami bahwa Gusdur lebih menekankan perhatian dan pemikirannya pada gerakan “sosio-kultural” yang bermuara pada transformasi sosial umat Islam dalam konteks kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Hasan Hanafi seorang pemikir dari Mesir juga sangat apresiatif terhadap teori transformative, sehingga dia dikenal dengan gagasan “Kiri Islam” (al-Yasar al-Islami). Dalam sebuah wawancaranya dengan Kru Nuansa yang tergabung dengan Buletin Afkar, media yang diterbitkan oleh Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN PCI) Mesir ketika ditanya tentang apa factor penyebab perlunya pembaruan wacana keagamaan, dia menjawab “Faktor paling mendasar adalah perubahan yang terjadi pada realitas, baik pada ruang ataupun waktu. Wacana keagamaan bukanlah wacana yang statis dalam setiap ruang dan waktu, akan tetapi ia wacana yang berubah secara dinamis sesuai dengan perubahan zaman, demikian juga dengan ijtihad dan Ijma’ yang berubah sesuai dengan tuntutan zaman”. dan masih banyak para pemikir kontemporer yang pandangannya hampir sesuai dengan apa yang dilontarkan oleh Hasan Hanafi diatas seperti Muhammad Arkoun dengan jargon “Tanpa rasionalitas, jangan harap umat Islam bangkit dari kubur mereka”, Athef al-I’raqi dengan icon “Pembaharuan Agama adalah Rasionalisasi”, Abdul Halim Athiah dengan Pandangan “Pentingnya Membongkar Tradisi/ Turast kita”, Jamal Al-Banna dengan term “Menuju Fiqih Baru”nya, Muhammad Syahrur dengan “Metodology Fiqih Islam Kontemporer”nya, Ziaul Haque dengan buku “revelation and Revolution in Islam” yang diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia “Wahyu dan Revolusi dalam Islam”, sebuah buku yang cukup provokatif, dan yang terakhir Ashgar Ali Engineer (sosok yang dibahas dalam tulisan ini) dengan teori “Pembebasan”nya.
Didalam bukunya “Islam dan pembebasan” Asghar mencoba untuk mereinterpretasi setiap fenomena yang selama ini dianggap lumrah dan biasa menurut kebanyakan orang. Dia membahas hal-hal yang sebenarnya mempunyai kaitan mendasar dengan ajaran agama Islam. Seperti kajian tentang asal usul Islam, hubungan Islam dengan Negara, kaitan Islam dengan filsafat, ekonomi, politik Islamisasi, serta yang terakhir Islam dan pembebasan sebagai kajian inti dari buku tersebut. Salah satu diantara inti pemikiran Ashgar yang menjadi ciri utamanya adalah ide revisi konsep dan pengertian mukmin dan kafir yang berbeda dengan pemahaman maenstrim ulama-ulama klasik zaman dahulu ataupun pemahaman awam masa kini yaitu “orang-orang kafir sesungguhnya adalah orang-orang menumpuk kekayaan dan terus membiarkan kezaliman dalam masyarakat serta merintangi upaya-upaya menegakkan keadilan” jadi standar iman dan kafir dia tetapkan berdasarkan sejauh mana seseorang merealisasikan substansi Islam sebagai agama keadilan, perdamaian, perubahan, dan pembebasan, selama unsur-unsur tersebut tidak dia amalkan maka orang tersebut dia cap sebagai kafir walaupun pada kenyataannya dia mengucapkan dua kalimat syahadat.
Pandangan ektrim seperti ini seolah-olah merepresentasikan pemikiran kaum khawarij yang muncul pada awal-awal Islam pasca peristiwa tahkim antara Ali Bin Abi Thalib dengan Mua’wiyah bin Abi Shofyan pada tahun 37 hijriah silam, mereka berpaling dari keduanya dan memproklamirkan diri sebagai golongan independen yang keluar dari kelompok Ali dan begitu juga dari golongan Muawiyah bin Abi Shofyan. Dan semenjak itu mereka menghukum kafir setiap orang yang tidak berhukum kepada Al-Qur’an serta orang-orang yang berbuat dosa besar seperti meninggalkan shalat dan lain-lain sebagaimana dijelaskan oleh Musthafa Muhammad Syak’ah dalam bukunya “Islam Tampa Madzhab”. Persamaan diantara pemikiran keduanya adalah dari segi tasahul/ mudah dalam mengkafirkan, akan tetapi perbedaannya adalah dari segi batasan dan kriteria yang membuat kafirnya seseorang. Kalau Khawarij lebih menitik beratkan kriteria kafir kepada pelanggaran hukum yang bersifat fardiyah (pribadi) seperti tidak shalat, puasa dan lain-lain, maka Asghar lebih menekankannya kepada pelanggaran substansi dari doktrin-doktrin Islam itu sendiri sebagaimana yang telah disebutkan diatas.
Selain itu butiran pemikiran Ashgar yang dia refleksikan dalam buku tersebut adalah bagaimana membuktikan watak liberatif dan progresif agama Islam yang selama ini difahami sebagai penghambat pembebasan yang dalam bahasanya sendiri disebut religiousitas lewat ajaran-ajarannya yang bersifat dogmatis dan kurang rasional. Sehingga dengan ide-idenya dia berusaha menembus tradisi, pelembagaan keagamaan serta bangunan keagamaan itu sendiri. Dari sini dapat dilihat bahwa Ashgar menyodorkan reinterpretasi dan rekonseptualisasi tentang berbagai tema keagamaan dan menawarkan reevaluasi terhadap berbagai gerakan umat umat Islam dimasa lalu dalam perpekstif teology pembebasan yang menuntut perubahan struktur social yang tidak adil dan menindas. Didalam bukunya dia mengutip perkataan Muhammad Ahmad Khalfallah yang mengatakan “pada dasarnya Nabi Muhammad adalah seorang revolusioner dalam ucapan dan perbuatannya” ini didasarkan kepada sikap beliau yang senantiasa memikirkan proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat Makkah secara serius, yaitu merubah kebiasaan para saudagar dan pedagang kaya yang ada saat itu yang senantiasa menumpuk harta untuk menumpuk kekayaan pribadi dengan membiarkan orang lain menderita dalam kemiskinan dan kelaparan.
Melalui syariat yang dibawanya, beliau melawan itu semua, yaitu dengan adanya pewajiban zakat yang substansinya menghilangkan sekat pembeda antara sikaya dengan simiskin. Memang rumusan Al-Qur’an lebih bersifat teologis tidak sosiologis seperti pada umumnya, akan tetapi dengan melihat fakta dilapangan maka semua orang akan melihat betapa rumusan-rumusan itu mempunyai implikasi-implikasi social yang sangat besar pengaruhnya terhadap hamanisme. Hal ini sejalan dengan apa yang pernah dilontarkan oleh ketua PBNU Prof. KH. Said Agil Sirath MA ketika berdialog dengan KH Abdullah Syamsul Arifin dan seorang temannya K.H. Idrus Ramli dalam acara tabaayun dan diskusi terbuka Forum Kiai Muda Jatim pada tahun 2009 yang lalu, beliau berkata “Islam bukan hanya diinu al-Aqidah wa al-Syari’ah, disamping diinu al-Aqidah wa al-Syariah Islam adalah diinu al-Ilmi waa al-Tsaqafah, diinu al-Adab waa al-Hadhorah, diinu al-Taqaddum waa al-Madaniyyah, ini yang menjadikan Islam bisa diterima dimana-mana sampai dibumi nusantara. Seandainya Islam hanya difahami sebagai diinu al-Aqidah waa al-Syariah semata, niscaya tidak banyak manusia yang mau memeluk agama Islam ini”.
Kemudian dalam menyimpulkan teorinya Ashgar mengatakan sebenarnya teology pembebasan tidak membatasi diri pada arena pemikiran murni dan spekulatif semata. Ia memperluas ruang lingkupnya untuk menjadi instrument yang paling kuat guna membebaskan umat dari cengkeraman para penindas, mengilhami mereka untuk bertindak dengan semangat revolusioner dalam berjuang menghadapi tirani, eksploitasi, dan penganiayaan. Jadi dapat disimpulkan bahwa teology pembebasan lebih memungkinkan mereka untuk mengubah kondisi-kondisi yang ada agar menjadi lebih baik lagi dan mentransformasikannya sebagai “agama candu” bagi masyarakat menjadi instrument yang kuat bagi perjuangan yang sungguh-sungguh dan perubahan yang revolusioner. Dan Ashgar menandaskan bahwa agama Islam adalah agama yang mempunyai potensi lebih besar untuk mengembangkan teology pembebasan dibandingkan dengan agama-agama yang lain, itu bisa dibuktikan dari sejarah masa lalu Islam yang telah banyak menciptakan perubahan bagi tatanan kehidupan manusia pada umumnya, dan system bermasyarakat Makkah dan Madinah pada khususnya, sehingga dengan system yang matang Islampun berkembang dan mempengaruhi dunia dengan praktek teori revolusioner serta pembebasannya. Itulah sekilas tentang pemikiran Ashgar yang sebenarnya menurut seorang teman tidak jauh berbeda dengan pemikiran-pemikiran “tradisionalnya” Cak Nur dengan teori liberalisasi dan sekulerisasi yang dia kembangkan pada awal tahun 70an silam.
Ditilik dari background pemikirannya yang menitikberatkan terhadap tema-tema pembebasan dalam Islam dapat dipahami dari status dia yang pernah dinobatkan sebagai seorang da’i penerus sang Imam ke-21 yang menghilang dalam keyakinan golongan Syiah Ismai’liyah/ Daudi Bohras, yaitu Maulana Abu al-Qasim ath-Thayyib yang diyakini masih hidup dan akan kembali pada saat akhir zaman kelak. Sang dai pengganti Imam baru akan diakui eksistensinya manakala telah memenuhi 94 kriteria yang diringkas dalam 4 kelompok besar, yaitu kualifikasi pendidikan, administrasif, moral dan teoretikal, serta keluarga dan kepribadian. Kemudian disamping itu seorang dai yang terpilih diwajibkan membela umat yang tertindas dan melawan kezaliman yang ada. Berdasarkan inilah kenapa dia senantiasa memperjuangkan pembebasan dalam Islam serta menerapkan gagasan-gagasannya, meskipun dalam prakteknya ia harus berhadapan dengan generasi tua yang cendrung bersikap konservatif mempertahankan kejumudan. Dan ini adalah hal yang lumrah terjadi dalam dunia intelektual, karena tidak ada satupun pendapat yang dilontarkan kecuali disekitarnya muncul kritik-kritik dan sanggahan yang sebenarnya membuktikan diresponnya pemikiran tersebut ditengah kehidupan ilmiah. Semoga kita dapat menggerakkan kembali kehidupan ilmiah itu ditengah-tengah kekesongan cakrawala pemikiran umat Islam akhir-akhir ini, dan memenuhi dunia dengan produk pemikiran yang tentunya bisa dipertanggungjawabkan dan yang terpenting bermanfaat bagi perdamaian dan kemanusian. Semoga bermanfaat.!
Kata Zuhairi Mishrawi tulisan ini cukup berat, dan hampir bisa digolongkan sebagai tulisan bodrex (yaitu tulisan yang manakala seseorang membacanya, maka pasti dia akan butuh kepada obat sakit kepala yang salah satunya adalah bodrex).
BalasHapus