Dalam suatu wawancara khusus kru Jurnal Nuansa dengan Jamal al-Banna, seorang pemikir prolifik kontemporer Mesir yang juga merupakan adik kandungnya Hasan al-Banna pendiri Ikhwanul Muslimin, mengatakan bahwa fiqih dan ushul fiqh itu bernilai baru ketika keduanya muncul dan relevan dengan zaman, manakala fiqh tersebut tidak lagi bisa menkounter fenomena-fenomena yang ada, maka fiqh itu disebut kuno/ klasik. pernyataan ini pada dasarnya merupakan wacana yang telah lama muncul dalam percaturan pemikiran hukum Islam, baik di Timur Tengah ataupun di Indonesia. Terutama persoalan sejauh mana fiqh dan ushul fiqh klasik itu bisa dijadikan sebagai referensi dalam menjawab seluruh fenomena-fenomena sosial yang muncul belakangan ini.
Memang benar fiqh dalam pengertian terminologinya merupakan suatu bentuk hasil pemikiran berdasarkan epistemologi yang disebut ushul fiqh dan muncul melalui ijtihad para ulama yang mempunyai kompetensi dalam bidangnya serta diambilkan dari dalil-dalil yang bersifat tafshiili (detail-komprehensif). Dari pengertian ini dapat difahami bahwa fiqh merupakan natijah (kongklusi) dari pemahaman ulama terhadap teks-teks keagamaan berupa Al-Qur’an dan Hadist yang berkaitan dengan hukum. Berawal dari sini maka muncullah distorsi antara dua aliran yang terkesan saling paradok hingga saat ini, yaitu mereka yang tetap berpegang teguh terhadap fiqh klasik tanpa mau mengkritiknya dengan anggapan bahwa itu merupakan hasil pemahaman yang paling mendekati kebenaran. Mereka meyakini bahwa para ulama klasik itu adalah orang-orang terbaik yang pantas untuk diikuti pendapatnya, karena pemahaman mereka yang dalam dan komprehensif terhadap teks-teks keagamaan yang terefleksi dalam kitab-kitab mereka.
Namun mereka yang berpikiran progresif justru berasumsi sebaliknya. Turast klasik (fiqh klasik) itu hanya salah satu tawaran pemikiran yang boleh diterima dan bisa ditolak, dengan apology bahwa fiqh tersebut hanya sebuah kreasi pemikiran yang ditawarkan ulama klasik dalam merespon fenomena-fenomena yang terjadi pada zaman mereka. Itu berarti, konteks ruang dan waktu sangat berpengaruh terhadap pemikiran ulama tersebut. disamping itu mereka juga mengkritik produk-produk fiqh ulama klasik yang terlalu terpaku dengan teks tanpa mengindahkan konteks. Sehingga produk hukum yang dihasilkanpun mati, ambigu, dan bahkan menurut mereka kurang manusiawi. Keambiguan tersebut muncul lantaran metodologi yang ditempuh terlalu ushuli, dan kurang memperhatikan maqaashid syariat.
Berdasarkan antitesis ini mereka berargumen boleh dan mestinya diadakan rekontruksi dan bahkan dekontruksi terhadap teks-teks keagamaan klasik yang tidak lagi relevan dengan zaman sekarang. Kedua pandangan ini terus saja mewarnai cakrawala pemikiran filsafat hukum islam hari ini. Asumsi pertama dianut oleh kaum “puritan” yang kebanyakan mempunyai backround pesantren, sementara opsi kedua digembar-gemborkan oleh mereka yang telah melewati dialektika pemikiran dengan berbagai hal yang berhubungan dengan kekinian, namun sayangnya terlalu “progresif” sehingga terlihat terlalu berani mengekplorasi pemikiran dengan mengabaikan teks, seperti yang dilakukan oleh Hasan Turabi dan pemikir-pemikir yang seide dengannya.
Dalam hal ini Gamal al-Banna nampaknya mengambil pendirian yang kedua. Hal itu bisa terditeksi dari karangan yang menjadi magnum opusnya “Nahwa Fiqh Jadid” (Menuju Fiqih Baru). Hal serupa juga dilakukan oleh Muhammad Syahrour, pemikir liberal kontroversial dari Siria dalam karyanya yang berjudul “Nahwa Usul Jadidah li al-Fiqhi al-Islami”. Dia memandang perlunya pembaharuan dalam fiqh Islam kontemporer, bahkan jika nalar klasik masih dikuduskan maka sebagai akibatnya umat Islam tidak akan pernah bisa bangkit dan maju untuk melakukan pembaharuan disegala bidang, sebagaimana yang dilakukan oleh Barat selama ini. Disamping itu kejumudan dalam hal ini akan membahayakan masa depan umat Islam itu sendiri.
Menanggapi tesis dan antitesis diatas, maka Satria Efendi memandang perlunya umat Islam hari ini mempertimbangkan suatu tawaran yang beliau kreasi sendiri, yaitu menciptakan “ushul fiqh humanis”, bertitik tolak kepada maqashid syariah yang termaktup dalam hukum islam itu sendiri. Imam al-Syathibi dalam karya monumentalnya, al-Muwaafaqat menjelaskan bahwa maqashid dari seluruh ajaran Islam itu pada dasarnya dikembalikan kepada Lima dasar penting, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Jadi selama kelima piranti itu bisa dijaga dan diterapkan, maka apapun corak hukum yang muncul nantinya pasti akan merepresentasikan syariah itu sendiri.
Berbicara mengenai manfaat, maka metode yang ditawarkan oleh Satria Efendi dengan mengacu kepada maqashid syariatnya al-Syathibi tersebut paling tidak akan menjembatani kedua aliran yang saling paradok diatas, yaitu antara golongan kanan yang “getol” mempertahankan turastnya dengan aliran kiri yang terlalu “berani” lepas dari kungkungan doktrinisasi yang dilontarkan oleh ulama-ulama sebelumnya. Selain itu ide ushul fiqih humanis tersebut juga diharapkan bisa menghasilkan produk hukum (meminjam istilahnya Ibnu al-Qayyim) yang hayy/ hidup, atau dalam bahasanya Yusuf Qardhowi fiqh waqi’ (realitas) dan fiqh aulawiyat (prioritas). Sehingga fiqh yang terlalu teks book akan berubah menjadi fiqh maqashidy.
Sudah banyak para pemikir yang mencoba untuk mendamaikan antara kedua pandangan diatas, seperti apa yang dilakukan oleh M. Hasbi al-Shiddiqy dalam Fiqh Indonesianya, Hazairin dengan Fiqh Madzhab Nasionalnya, Munawwir Syazali dalam Reaktualisasi Ajaran Islamnya, dan M. Sahal Mahfudz bersama Ali Yafie dengan jargon Fiqh sosialnya. Karya-karya ini, terlepas apakah mereka benar dalam pendapatnya ataupun keliru, setidaknya telah berusaha untuk mencarikan solusi buat hiruk pikuk pemikiran hukum Islam kontemporer. Sehingga diharapkan pada akhirnya “al-muhaafazhah bi al-qadiimi al-shaalih, wa al-akhzu bi al-jadiidi al-ashlah” (melestarikan produk-produk lama yang baik, serta mengapresiasi penemuan-penemuan baru yang lebih baik) dapat dicapai. Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon kritik dan sarannya.!