Islam bukan semata-mata diinu al-aqidah wa al-syari’ah. Disamping itu Islam juga diinu al-ilmi wa al-tsaqafah, diinu al-adab wa al-hadhorah, diinu al-taqaddum wa al-Madaniyyah. Inilah yang menyebabkan Islam bisa diterima ditempat manapun, termasuk di bumi Nusantara. Seandainya Islam hanya difahami sebagai diinu al-a’qidah wa al-syariah semata, niscaya tidak banyak manusia yang mau memeluk agama Islam ini”(Said Agil Siradj).
Kutipan diatas cukup menarik untuk dikaji dan dianalisis secara mendalam. Substansinya berkaitan erat dengan wacana yang pernah dilontarkan oleh Sidi Gazalba mengenai kebudayaan. Dia disinyalir pernah menyatakan bahwa Islam tak lebih dari hasil kebudayaan semata sebagaimana halnya seni dan sains. Tak pelak ide Sidi tersebut dikritik oleh Faisal Ismail dalam bukunya “Paradigma Kebudayaan Islam”. Sebaliknya, dia berasumsi perlunya umat Islam membedakan antara Islam dengan kebudayaan yang muncul darinya. Penyamaan keduanya akan berimplikasi terhadap lenyapnya kesakralan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW itu.
Perdebatan seperti yang dilakonkan oleh Sidi Gazalba dengan Faisal Ismail diatas pada dasarnya bukanlah hal yang pertama kali terjadi. Jauh sebelumnya Madzhab Positivisme telah menganggap agama sebagai puncak tertinggi dari ekspresi kebudayaan, sehingga kolaborasi dari keduanya mereka sebut dengan peradaban (civilization), bukan sekedar culture semata. Namun menurut para teolog Islam serta mereka yang beragama meyakini bahwa agama adalah suatu unsur yang terpisah dari kebudayaan. Dalam kata lain kebudayaan adalah perpanjangan dari prilaku agama. Masing-masing mempunyai basis ontologis yang berbeda, sekalipun keduanya tidak bisa dipisahkan.
Lebih lanjut Komaruddin Hidayat menjelaskan dalam bukunya “Wahyu di Langit, Wahyu di Bumi” bahwa agama mengandung dogma serta sumber yang jelas dari tuhan dan bersifat pasti. Namun ketegasan agama tersebut mestilah diformulasikan dalam bentuk bahasa yang juga merupakan produk budaya, dengan bijak, lembut, feminim, dan beradab. Oleh sebab itu ketika agama berkalobarasi dengan suatu masyarakat yang tingkat budaya dan peradabannya masih rendah, maka kesucian agama tersebut bisa terdominasi oleh sikap vulgar mereka yang mengandalkan kekuatan fisik, bukannya keunggulan intelek dan seni. Begitupun sebaliknya, ketika ajaran agama diintegrasikan dengan kebudayaan yang tinggi dan beradab, maka akan melahirkan wujud agama dan budaya yang santun dan elegan.
Namun ungkapan yang terakhir ini belum sepenuhnya benar kalau ditilik dari fungsi agama sebagai “agen of change” masyarakat. Pernyataan diatas mengindikasikan tidak adanya peranan dominan agama terhadap kehidupan manusia. seolah-olah kesucian agama itu bergantung kepada baik dan buruknya prilaku masyarakat yang merespon ajarannya. Penulis lebih cendrung mengatakan bahwa baiknya sebuah kebudayaan merupakan cerminan dari kesucian ajaran agama. Sementara kalau ditemukan kolaborasi agama dengan sebuah budaya, akan tetapi menghasilkan peradaban yang ektrim dan vulgar, maka kesalahannya terletak pada oknum kebudayaan tersebut, bukan dari agama.
Kemudian kalau ditilik lebih dalam lagi, ungkapan Said Agil Sirajd diatas menunjukkan keluesan agama Islam sebagai agama rahmatan li al-a’lamin. Islam tidak dipahami secara sempit dengan hanya berisikan setumpuk ajaran tauhid dan syari’ah semata. Akan tetapi Islam juga melingkupi seluruh bagian dari kehidupan manusia. Sehingga tak satupun ruang dalam kehidupan ini melainkan Islam datang untuk mengaturnya. Baik perihal ilmu pengetahuan dan teknologi, kebudayaan dan peradaban, akhlak dan adab, serta kemajuan dalam berbagai wujudnya. Ungkapan senada juga pernah disampaikan oleh Wahhab Khalaf dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh, walaupun dari paradigma yang sedikit berbeda.
Dizaman globalisasi yang pluralis seperti sekarang, agama harus mampu mentransendentalkan dirinya sehingga bisa mendominasi kemajemukan budaya yang ada. Kemudian dia harus bisa memberikan visi dan misi perubahan, pencerahan, serta pengaktualisasian nilai-nilai luhur kemanusian dalam bingkai kebangsaan dan kebudayaan. Problem akan timbul manakala agama tidak bisa lagi mengartikulasikan eksistensinya dalam wadah kebudayaan sebagai gerakan emansipatoris. Hal ini pada akhirnya akan menyebabkan agama itu akan ditinggalkan oleh manusia, sebagaimana yang dibahasakan oleh Kang Said diatas.
Selanjutnya tentu diperlukan standarisasi untuk mengelompokkan budaya mana yang bisa diadobsi oleh Islam dan mana yang tidak. Dalam konteks ke-Indonesian misalnya yang terdiri dari ratusan dan bahkan ribuan kebudayaan. Masing-masingnya mempunyai nilai keoriginalan tersendiri yang mungkin saja belum terjamah oleh bahasa Agama. Apakah kebudayaan yang begitu bervarian itu akan ditundukkan dibawah teks-teks agama secara mutlak ataukah agama mempunyai solusi tersendiri untuk merespon ataupun mengapresiasi kebudayaan-kebudayaan tersebut. Persoalan ini pada hakikatnya mempunyai urgensi tersendiri yang harus segera dicarikan solusinya.
Kalau boleh bercermin kepada prilaku-prilaku para ulama tempo dulu yang terkenal dengan kewaraan serta ketinggian ilmunya, maka tak sedikit diantara mereka yang menjadikan seni/budaya sebagai lahan dakwahnya. Jalaluddin Rumi misalnya yang berusaha “mengawinkan” sufi dengan seni tarian yang akhirnya menyatu dalam bingkai yang elegan dan komunikatif. Begitupun Sunan Kalijaga memanfaatkan wayang sebagai sarana penyebaran Islam pada zamannya. Semua itu kalau dilihat secara seksama merupakan bentuk dari elastivitas ajaran Islam dalam merespon peradaban. Dan masih banyak contoh-contoh lain yang tidak mungkin penulis rinci disini.
Para ulama Qawaid Fiqh sebetulnya telah menemukan epistimologi yang jelas untuk menjawab pertanyaan diatas lewat qaedah “al-a’dah muhakkamah” mereka. Adat/budaya yang sudah lumrah dikerjakan oleh masyarakat, maka Islam mengapresiasinya dengan melegalkan perkara itu sebagai bagian dari ajarannya. Tentu saja selama adat/budaya tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip fundamental ajaran Islam, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Yasin al-Fadani dalam “al-Fawaaid al-Janiyyah”nya.
Akhirnya, sebagai benang merah dari tulisan ini adalah perlunya umat Islam merekontruksi ulang konsep kebudayaannya dan membuka diri untuk bersikap inovatif, kreatif, serta akomodatif terhadap dinamika sosial baik lokal ataupun modern. Sudah selayaknya islam membuat proyeksi jauh kedepan demi kemajuan Islam dan kebudayaan. Tidak terlalu terpasung dengan kebudayaan lama yang telah maju pada eranya, karena sejarah tidak mungkin terulang untuk kedua kalinya, melainkan dalam wujud dan kreasi yang berbeda. Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon kritik dan sarannya.!