Lintasan sejarah telah mencatat bahwa pada awal-awal abad ke-19 masehi di daerah Cangkiang Koto Tuo, IV Angkat Canduang, Bukittinggi, Sumatra Barat, hiduplah seorang ulama besar Minangkabau yang bermadzhab Syafi’i yang masyhur dengan sebutan Tuanko Koto Tuo. Beliau adalah seorang alim besar yang mempunyai banyak murid dan sangat berpengaruh di daerah tempat tinggalnya. Salah seorang murid beliau bernama Tuanku Nan Renceh, yaitu seorang yang juga telah bergelar Tuanku (gelar keagamaan yang setaraf dengan Kiai di Jawa), dia berasal dari daerah Kamang, Agam, Sumatera Barat.
Tuanku Nan Renceh ini adalah seorang ulama yang sangat tinggi rasa ghirah keagamaannya, sehingga ketika beliau melihat pemuka-pemuka adat yang terdiri dari penghulu-penghulu dan hulubalang-hulubalang (pembantu penghulu) di Minangkabau banyak yang tidak lagi menjalankan syariat Islam dengan seharusnya, bahkan banyak diantara mereka yang terang-terangan berbuat maksiat seperti berjudi, sabung ayam, minum tuak dan arak, bersenang-senang dengan menari dan bernyanyi dengan nyanyian yang tidak bahkan bertentangan dengan islam dan lain sebagainya. Padahal mereka mengaku sebagai seorang Muslim Minang yang adatnya basandi syarak dan syaraknya basandi kitabullah. Melihat kondisi yang seperti itu Tuanku Nan Renceh sangat marah dan jengkel sekali, karena ia meyakini bahwa hal seperti itu tidak selayaknya ada di daerah Minangkabau yang terkenal dengan adatnya yang sangat kental itu.
Setelah jenuh dengan kondisi seperti itu, Tuanku Nan Renceh pun menemui gurunya Tuanku Koto Tuo untuk membicarakan hal tersebut. Dan dia mendesak gurunya itu agar bersama-sama dengannya untuk bertindak keras terhadap para penghulu dan hulubalang yang telah melanggar hukum-hukum Islam tersebut. Selain itu, ia juga mengusulkan supaya di Minangkabau diterapkan hukum Islam sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah lewat RasulNya sebagaimana yang telah tertera dalam Al-Qur’an dan sunnah rasul seperti memberlakukan hukuman potong tangan terhadap orang yang mencuri, hukum bunuh bagi mereka yang berzina, hukuman dera bagi mereka yang minum-minuman keras dan sebagainya. Karena hal itu menurut Tuanku Nan Renceh suatu keharusan yang wajib dilakukan sebagai daerah yang penduduknya mayoritas beragama Islam seperti Minangkabau ini.
Namun Gurunya berpendapat lain, beliau tidak sefaham dengan Tuanku Nan Renceh yang berencana mengubah prilaku para penghulu dan hulubalang yang melanggar hukum Islam itu dengan kekerasan seperti yang diusulkannya. Beliau lebih cendrung mengubah prilaku masyarakat yang seperti itu dengan cara yang bijaksana yaitu berupa tabligh secara continue, memberi peringatan pertama dan kedua terlebih dahulu, tidak dengan jalan kekerasan senjata dan pedang seperti yang diutarakan muridnya itu. Karena pada dasarnya Minangkabau dahulunya memang sudah tersusun rapi dengan adat istiadatnya (hal ini sudah berjalan semenjak abad ke-3 masehi) sebelum agama Islam masuk dan berkembang disana (sekitar abad 12 masehi), sehingga pelaksanaan ajaran islam belum sepenuhnya bisa diaplikasikan dengan baik oleh seluruh masyarakatnya serta masih ada diantara mereka yang melanggar hukum-hukumnya lantaran berbeda dengan adat kebiasaan yang mereka jalankan sebelum mereka mengenal islam.
Hal inilah yang menyebabkan tidak logis kita menerapkan hukum Islam secara keras kepada orang yang baru mengenal ajaran Islam, karena hal itu akan menyebabkan munculnya pemberontakan dikalangan masyarakat yang mungkin saja mengakibatkan mereka meninggalkan ajaran islam sama sekali. Sehingga kontradiksi dengan asumsi awal untuk menerapkan ajaran islam secara totalitas dalam kehidupan masyarakat. Kesimpulannya, disini terdapat perbedaan pendapat antara guru dengan murid dalam hal menyikapi penyakit masyarakat, sang murid bersikap ektrim dengan menggunakan kekerasan sebagai jalannya, sementara sang guru lebih memilih untuk bersikap moderat dan bijaksana untuk menyikapinya.
Tanpa disadari berita pertentangan antara guru dengan murid tersebut secara tidak langsung terdengar oleh Haji Miskin yang berdomisili di Pandai Sikek, Padang Panjang, Sumatera Barat. Perlu diketahui bahwa pada tahun 1803 Masehi, Minangkabau kedatangan 3 orang putranya yang telah 10 tahun tinggal didaerah Mekah. Tiga orang tersebut adalah Haji Miskin dari Pandai Sikek Padang Panjang, Haji Piobang dari Piobang Payakumbuh, dan Haji Sumanik dari Sumanik Batusangkar. Sebab kepulangan mereka adalah lantaran terjadinya pemusnahan kaum Wahhabi yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab di Nejad (1702-1787 M ) yang disokong oleh kerajaan Su’ud Al-Kabir yang telah menguasai Mekah dari tahun 1802-1812 M. Kaum Wahhabi ini dimusnahkan oleh Ibrahim Pasya, seorang jendral Kwedwi Mesir dibawah kekuasaan Kerajaan Turki. Sehingga ajaran yang telah berkembang selama lebih kurang 10 tahun itu keluar dan meninggalkan kota Mekah. Dan kembali lagi mengusai Mekah pada tahun 1925 M-sampai sekarang.
Kembali kepersoalan awal, 3 orang haji yang pulang ke Minangkabau tersebut sedikit banyaknya telah terpengaruh oleh ajaran Wahhabi yang berkembang di Kota Mekah waktu itu, karena mereka telah manetap selama 10 tahun disana serta mempelajari ajaran wahhabi pada awal masuknya kekota Mekkah. Kemudian mereka pulang ke Minangkabau dengan tujuan untuk mengembangkan ajaran Wahhabi tersebut. Setelah tiba di Minangkabau, mereka pun memulai misi tersebut dengan mengadakan majlis-majlis ta’lim, mengadakan fatwa tentang persoalan-persoalan yang ada disekitar masyarakat, dan sebagainya dengan semboyan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, mengembalikan kemurnian ajaran islam, memerangi segala bid’ah dan khurafat, serta melarang taklid kepada ulama-ulama madzhab.
Namun usaha mereka itu ditentang oleh para pemuka agama yang bermadzhab Ahlussunnah dan Syafiiyyah ketika itu, lantaran ajaran-ajaran yang mereka bawa, bertentangan dengan kebiasan dan ijma’ ulama yang berlaku di Minangkabau pada saat itu. Diantara ajaran yang mereka kembangkan adalah sebagai berikut :
- Kewajiban meyakini bahwa Allah itu berada diatas/ jihat atas walaupun mereka tetap meyakini bahwa Allah itu tidak serupa dengan makhluk.
- Kewajiban meyakini bahwa Allah itu bertangan dan berwajah sesuai dengan lahir ayat yang ada ( tidak adanya ta’wil dalam memahami ayat-ayat Mutasyabihah ).
- Ma’shiyatnya mengadakan perjalanan untuk berziarah kemaqam-maqam ulama termasuk kemaqam rasul sendiri.
- Bid’ahnya mengadakan perayaan-perayaan seperti Maulid Nabi, Isra’ mi’raj, dan sebagainya yang tidak pernah diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
- Talaq yang dijatuhkan 3 sekaligus, hanya jatuh satu.
- Membuang akal sejauh-jauhnya dalam usaha memahami nash-nash syariat.
- Mengkritisi pendapat yang mengatakan bahwa bukti keberadaan Allah itu adalah lantaran adanya alam, karena menurut mereka dalil tentang keberadaan Allah itu terpatri pada alam, jiwa, dan wahyu.
- Membagi tauhid kepada 3 pembagian, yaitu rububiyyah, uluhiyyah, dan tauhid asma' was sifat dan lain-lain.
Itulah selintas sejarah masuk dan berkembangnya aliran Wahhabi di Indonesia, khususnya di daerah Minangkabau. Dengan mengetahui sejarah, setidaknya kita bisa memetakan bentuk pergerakan dan orientasi dari aliran yang telah mengglobal itu serta bisa memberikan bandingan ataupun bantahan terhadap beberapa pandangan mereka yang ektrem terhadap masalah agama. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon kritik dan sarannya.!