Redaksi Hadis.
بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ سَبْعًا، هَلْ تَنْتَظِرُونَ
إِلاَّ مَرَضًا مُفْسِدًا أَوْ هَرَمًا مُفَنِّدًا أَوْ غِنًى مُطْغِيًا أَوْ فَقْرًا
مُنْسِيًا أَوْ مَوْتًا مُجْهِزًا أَوِ الدَّجَّالَ فَشَرُّ غَائِبٍ يُنْتَظَرُ أَوِ
السَّاعَةَ فَالسَّاعَةُ أَدْهَى وَأَمَرُّ.
Artinya : Waspadalah dari tujuh hal berikut (yang) manakala ia
datang maka tidak ada lagi kesempatan bagimu untuk beramal saleh! Yaitu
penyakit parah, tua bangka, kekayaan yang membuat lalim, kemiskinan yang
membuat lupa diri, mati secara tiba-tiba, kemunculan Dajjal sebagai makhluk
jahat yang paling ditunggu-tunggu, atau kiamat yang sangat mengerikan.
Hadis tersebut diriwayatkan oleh beberapa ahli hadis dengan redaksi
yang cukup beragam. Redaksi yang serupa dengan teks di atas terdapat dalam
kitab al-Dhu’afa al-Kabir karya al-‘Uqaili. Sementara itu redaksi lain
yang hampir mirip dan semakna diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dalam Sunan-nya,
al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman, Ibn ‘Adi dalam al-Kamil fi Dhu’afa
al-Rijal, al-Hakim dalam Mustadrak-nya, dan al-Thabarani dalam Mu’jam
al-Ausath-nya. Semua riwayat ini menjadi tawabi’ terhadap riwayat
al-Uqaili yang penulis tetapkan sebagai nash al-hadits (riwayat utama)
dalam penelitian ini. Namun penulis -dengan segala kekurangannya- tidak
menemukan syahid yang cocok serta sesuai dengan hadis ini, kesimpulan
serupa juga ditegaskan oleh al-Albani dalam salah satu komentarnya terhadap
kitab Riyadh al-Sholihin karya al-Nawawi terkait riwayat di atas.
Redaksi Tawabi’ dan Syawahid
Pertama; Redaksi al-Tirmidzi dalam Sunan al-Tirmidzi
قال
الترمذي: "حدثنا أبو مصعب عن محرر بن هارون عن عبد الرحمن الأعرج عن أبي
هريرة أن رسول الله r قال: )بَادِرُوا
بِالأَعْمَالِ سَبْعًا، هَلْ تَنْظُرُونَ إِلاَّ فَقْرًا مُنْسِيًا أَوْ غِنًى
مُطْغِيًا أَوْ مَرَضًا مُفْسِدًا أَوْ هَرَمًا مُفَنِّدًا أَوْ مَوْتًا مُجْهِزًا
أَوِ الدَّجَّالَ فَشَرُّ غَائِبٍ يُنْتَظَرُ أَوِ السَّاعَةَ فَالسَّاعَةُ
أَدْهَى وَأَمَرُّ(.
Kedua; Redaksi al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman
قال
البيهقي في الرواية الأولى: "أخبرنا علي بن أحمد بن عبدان ثنا أحمد بن عبيد
الصفار ثنا معاذ بن المثنى ثنا أبو مصعب ثنا محرز بن هارون عن الأعرج عن أبي هريرة
أن رسول الله r ح قال: وأخبرنا أبو عبد الله الحافظ أنا أبو
عبد الله الصفار ثنا أبو بكر بن أبي الدنيا ثنا إسماعيل بن زكريا الكوفي ثنا محرز
بن هارون التميمي المدني قال سمعت الأعرج يذكر عن أبي هريرة عن النبي r
قال:
)بَادِرُوا
بِالأَعْمَالِ سَبْعًا، مَا تَنْتَظِرُوْنَ إِلاَّ فَقْرًا مُنْسِيًا أَوْ غِنًى
مُطْغِيًا أَوْ مَرَضًا مُفْسِدًا أَوْ هَرَمًا مُفَنِّدًا أَوْ مَوْتًا مُجْهِزًا
أَوِ الْمَسِيْحَ فَشَرٌ مَنْتَظَرٌ(.
وفي رواية ابن عبدان: )أَوِ
الدَّجَّالَ فَإِنَّهُ شَرٌّ مُنْتَظَرٌ أَوِ السَّاعَةَ وَالسَّاعَةُ أَدْهَى
وَأَمَرُّ (.
وقال
في الرواية الثانية: "وأخبرنا أبو عبد الله الحافظ أنا أبو عبد الله الصفار
قال: وثنا أبو بكر ثنا محمد بن حسان بن فيروز ثنا عنبسة بن سعيد ثنا ابن المبارك
عن معمر عمن سمع المقبري عن أبي هريرة عن النبي r قال: )مَا
يَنْتَظِرُ أَحَدُكُمْ إِلاَّ غِنًى مُطْغِيًا أَوْ فَقْرًا مُنْسِيًا أَوْ
مَرَضًا مُفْسِدًا أَوْ هَرَمًا مُفَنِّدًا أَوْ مَوْتًا مُجْهِزًا أَوِ
الْمَسِيْحَ فَشَرٌ مَنْتَظَرٌ (.
Ketiga; Redaksi Ibn ‘Adi dalam al-Kamil fi
Dhu’afa al-Rijal
قال
ابن عدي: "حدثنا عمر بن سنان حدثنا أبو مصعب حدثنا محرز بن هارون عن الأعرج
عن أبي هريرة أن رسول الله r قال: )بَادِرُوا
بِالأَعْمَالِ سَبْعًا، مَا تَنْتَظِرُوْنَ إِلَّا فَقْرًا مًنْسِيًا أَوْ غِنًى
مُطْغِيًا أَوْ مَرَضًا مُفْسِدًا أَوْ هَرَمًا مُقْعِدًا أَوْ مَوْتًا مُجْهِزًا
أَوِ الدَّجَّالَ فَأَشَرُّ مُنْتَظَرًا أَوِ السَّاعَةَ فَالسَّاعَةُ أَدْهَى
وَأَمَرُّ(.
Keempat; Redaksi al-Hakim dalam al-Mustadrak
قال
الحاكم: "أخبرنا الحسن بن حليم المروزي أنبأ أبو الموجه أنبأ عبدان أنبأ عبد
الله عن معمر عن سعيد المقبري عن أبي هريرة t عن النبي r قال: )مَا
يَنْتَظِرُ أَحَدُكُمْ إِلاَّ غِنًى مُطْغِيًا أَوْ فَقْرًا مُنْسِيًا أَوْ
مَرَضًا مُفْسِدًا أَوْ هَرَمًا مُفَنِّدًا أَوْ مَوْتًا مُجْهِزًا أَوِ
الدَّجَّالَ وَالدَّجَّالُ شَرُّ غَائِبٍ يُنْتَظَرُ أَوِ السَّاعَةَ وَالسَّاعَةُ
أَدْهَى وَأَمَرُّ(.
Kelima; Redaksi al-Thabarani dalam Mu’jam
al-Ausath
قال
الطبراني: "حدثنا علي بن سعيد الرازي، قال نا محمد بن حميد الرازي، قال نا
إبراهيم بن المختار، قال نا إسرائيل عن إبراهيم بن أعين عن معمر عن محمد بن عجلان
عن سعيد المقبري عن أبي هريرة، قال قال رسول الله r: )مَا
يَنْتَظِرُ أَحَدُكُمْ إِلاَّ غِنًى مُطْغِيًا أَوْ فَقْرًا مُنْسِيًا أَوْ
مَرَضًا مُفْسِدًا أَوْ هَرَمًا مُفَنِّدًا أَوْ مَوْتًا مُجْهِزًا أَوِ
الدَّجَّالَ وَالدَّجَّالُ شَرُّ غَائِبٍ يُنْتَظَرُ أَوِ السَّاعَةَ وَالسَّاعَةُ
أَدْهَى وَأَمَرُّ(.
Kesimpulan Kajian Sanad.
Dalam bahasan ini, penulis akan
memaparkan secara ringkas masing-masing riwayat sekaligus dengan analisis
sanadnya, dimulai dari riwayat al-‘Uqaili, kemudian dilanjutkan dengan
al-Tirmidzi, al-Baihaqi, Ibn ‘Adi, al-Hakim dan al-Thabrani.
1. Riwayat
al-‘Uqaili terdiri dari 7 orang perawi, yaitu Abu Hurairah (w. 57 H),
Abdurrahman al-A’raj (w. 117 H), Muhriz ibn Harun (tidak diketahui tahun
wafatnya), Abu Mush’ab Ahmad ibn Abi Bakr (w. 242 H), Rauh ibn al-Farj (w. 282
H), Harun ibn al-Abbas (w. 275 H), dan al-‘Uqaili (w. 322 H).
Semua perawi dalam sanad ini berstatus tsiqah (kredibel), kecuali
Muhriz ibn Harun yang dinilai sebagai mungkar al-hadits oleh al-Bukhari
dan al-Nasa’i, serta dijarah oleh sebagian besar kritikus hadis lainnya
dengan redaksi jarah yang beraneka ragam seperti matruk al-hadits oleh
Muhammad ibn Thahir al-Maqdisi, laisa bi al-qawi oleh ibn Abi Hatim
al-Razi, dan tidak sah berhujjah dengannya sebagaimana yang dilontarkan
oleh Ibn Hibban.
Sanad riwayat ini semuanya bersambung sampai kepada Rasulullah SAW, dan
hampir semua perawi menyampaikan riwayatnya dengan lafadz yang menunjukkan
adanya pertemuan antara satu sama lain, seperti lafadz haddatsana, sami’tu,
yuhadditsu ‘an, dan qala yang menunjukkan jazm (kepastian). Namun
karena di dalam rangkaian sanad hadis ini terdapat perawi yang mungkar
al-hadist yaitu Muhriz ibn Harun, maka derajat hadis ini turun menjadi
hadis dhoif, al-Uqaili mengomentari hadis ini sembari berkata “hadis ini
mempunyai jalur periwayatan lain yang lebih kuat dari jalur ini”. Penulis lebih
cendrung menghukumi hadis ini sebagai Hadis Mungkar yang tidak bisa naik ke
derajat Hasan karena kualitas ke-dhoifan-nya yang tergolong
parah.
2. Riwayat
al-Tirmidzi terdiri dari 5 orang perawi, yaitu Abu Hurairah, Abdurrahman
al-A’raj, Muhriz ibn Harun, Abu Mush’ab Ahmad ibn Abi Bakr, dan al-Tirmidzi (w.
279 H).
Semua perawi dalam jalur ini berstatus tsiqah (kredibel),
kecuali Muhriz ibn Harun sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Walaupun
sanad riwayat ini bersambung sampai kepada Rasulullah SAW, namun tetap saja
bernilai dho’if (Hadis Mungkar) karena salah seorang perawinya bertitel mungkar
al-hadits. Namun anehnya al-Tirmidzi menilai hadis ini sebagai Hadis Hasan
dengan asumsi adanya riwayat lain yang mengangkat ke-dho’ifan-nya.
3. Riwayat
al-Baihaqi mempunyai tiga jalur, dua jalur di antaranya bersumber dari Abi
Abdillah al-Hafidz atau al-Hakim (w. 405 H), sementara sisanya diriwayatkan
dari Ali ibn Ahmad ibn ‘Abdan (w. 410 H).
a.
Jalur yang
pertama terdiri dari 8 orang perawi, yaitu Abu Hurairah, Abdurrahman al-A’raj,
Muhriz ibn Harun, Ismail ibn Zakaria al-Kufi (w. 173 H), Abu Bakr ibn Abi
al-Dunya (w. 281 H), Abu Abdillah al-Shaffar (w. 339 H), al-Hakim dan
al-Baihaqi (w. 458 H).
Semua perawi dalam jalur ini tsiqah (kredibel) kecuali
Muhriz ibn Harun, Ismail ibn Zakaria yang dinilai dho’if al-hadits oleh
Ahmad ibn Hambal dan juga Yahya ibn Ma’in, Abu Bakr ibn Abi al-Dunya yang dicap
shaduq oleh Abu Hatim, serta Abu Abdillah al-Shaffar yang dinilai shaleh
muhaddits oleh al-Subki dan al-Hakim. Sanad ini mempunyai cacat karena
terputusnya periwayatan antara Abu Bakr ibn Abi al-Dunya dengan gurunya Ismail
ibn Zakaria. Hal ini terbukti dari tahun wafat keduanya yang lumayan jauh
(lebih dari 40 tahun) dan tidak memungkinkan keduanya untuk bertemu. Begitu
juga periwayatan antara Ismail ibn Zakaria dengan gurunya Muhriz ibn Harun,
keduanya tinggal di daerah yang saling berjauhan, Ismail ibn Zakaria menetap di
Kufah, sementara itu Muhriz ibn Harun tinggal di Madinah.
Di samping itu penulis juga tidak menemukan data hubungan
guru-murid antara keduanya, sehingga penulis berkesimpulan bahwa hadis ini
tergolong Hadis Mu’dhol karena adanya dua periwayatan yang terputus
secara berurutan. Perlu digarisbawahi di sini bahwa sekalipun masing-masing
dari Ismail ibn Zakaria dan Abu Bakr ibn al-Dunya menggunakan lafadz ada’ yang
menunjukkan adanya kemungkinan pertemuan antara keduanya yaitu lafadz haddatsana,
namun hal itu tidak cukup dijadikan bukti ketika data-data lain memperkuat
ketidakmungkinan pertemuan keduanya.
b.
Jalur yang
kedua juga terdiri dari 8 orang perawi, yaitu Abu Hurairah, Abdurrahman
al-A’raj, Muhriz ibn Harun, Abu Mush’ab Ahmad ibn Abi Bakr, Mu’adz ibn
al-Mutsanna (w. 288 H), Ahmad ibn ‘Ubaid al-Shaffar (w. 352 H), Ali ibn Ahmad
ibn ‘Abdan, serta al-Baihaqi.
Semua perawi yang terdapat pada jalur kedua ini berstatus kredibel
kecuali Muhriz ibn Harun, sehingga keberadaannya menjadi penyebab dho’if-nya
jalur ini, walaupun sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. Perlu
diketahui di sini bahwa dua jalur ini (yang pertama dan kedua) dihubungkan oleh
tanda ح (baca : tahwil) yang menunjukkan bahwa kedua jalur ini
disebutkan oleh al-Baihaqi dalam satu rangkaian sanad namun mempunyai dua
cabang, salah satunya dari Abi Abdillah al-Hafidz dan yang lainnya dari Ali ibn
‘Abdan.
c.
Jalur yang
ketiga (tanpa tahwil atau percabangan sanad) terdiri dari 11
orang perawi, yaitu Abu Hurairah, Sa’id al-Maqburi (w. 125 H), seorang
laki-laki yang mendengar dari Sa’id (yang konon katanya bernama Muhammad ibn
‘Ajlan), Ma’mar ibn Rasyid (w. 152 H), Abdullah ibn al-Mubarak (w. 181 H),
‘Anbasah ibn Sa’id (w. 200 H), Muhammad ibn Hassan ibn Fairuz (w. 257 H), Abu
Bakr ibn Abi al-Dunya, Abu Abdillah al-Shaffar, al-Hakim, dan al-Baihaqi.
Semua perawi dalam jalur ini kredibel kecuali Sa’id al-Maqburi yang
dinilai mukhtalith (menurunnya kualitas daya ingat karena faktor umur) 4
tahun sebelum wafatnya, Ma’mar ibn Rasyid yang dinilai sebagai seorang mudallis
karena menyamarkan nama gurunya, dan Abu Bakar ibn al-Dunya serta Abu
Abdillah al-Shaffar sebagaimana telah dijelaskan pada jalur yang pertama. Pada
awalnya hadis ini tergolong sebagai Hadis Mubham, karena salah seorang
perawinya tidak diketahui nama serta identitasnya. Namun setelah melakukan perbandingan
riwayat, salah satunya dengan riwayat yang dimiliki oleh al-Thabarani, maka
diketahui bahwa perawi mubham yang terdapat di antara Sa’id al-Maqburi
dan Ma’mar itu bernama Muhammad ibn ‘Ajlan. Dia menurut mayoritas kritikus
dinilai sebagai perawi yang kredibel, sehingga ke-mubham-an hadis ini
dapat terangkatkan.
Adapun mengenai ketersambungan sanad riwayat ini –setelah melakukan
pengujian-, berstatus ittishal (bersambung sampai kepada Rasulullah
SAW), walaupun di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang mubham, namun
sudah diketahui orangnya. Setelah melihat berbagai pertimbangan di atas, maka
penulis memutuskan bahwa hadis ini bernilai hasan lidzatihi, karena di
dalamnya terdapat perawi yang berstatus shaduq seperti Abu Bakr ibn Abi
al-Dunya dan perawi yang berstatus shalih seperti Abu Abdillah
al-Shaffar.
Sedangkan mengenai perubahan daya ingat yang dialami oleh Sa’id
al-Maqburi, hal itu tidak berpotensi menurunkan kualitas hadis ini, karena
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh al-Dzahabi –sebagaimana yang dikutip
oleh al-Kayyal dalam bukunya al-Kawakib al-Nairat- disebutkan bahwa
Sa’id al-Maqburi tidak meriwayatkan satu hadis pun pada masa ikhtilath-nya,
bahkan di lain kesempatan al-Dzahabi menegaskan bahwa Sa’id tidak tergolong
sebagai perawi yang mukhtalith, namun hanya mengalami penurunan daya
ingat biasa/tidak parah.
4. Riwayat Ibn
‘Adi terdiri dari 6 orang perawi, yaitu Abu Hurairah, Abdurrahman al-A’raj,
Muhriz ibn Harun, Abu Mush’ab Ahmad ibn Abi Bakr, Umar ibn Sinan (w. 322 H),
dan Ibn ‘Adi (w. 365 H).
Semua perawi dalam jalur ini berstatus tsiqah (kredibel),
kecuali Muhriz ibn Harun sebagaimana yang telah diterangkan dan Umar ibn Sinan
yang dinilai shaduq oleh Abu Thayyib Shalah ibn Ali. Walaupun sanad
riwayat ini bersambung sampai kepada Rasulullah SAW, namun tetap saja bernilai dho’if
karena salah seorang perawinya bertitel mungkar al-hadits.
5. Riwayat
al-Hakim terdiri dari 8 orang perawi, yaitu Abu Hurairah, Sa’id al-Maqburi,
Ma’mar ibn Rasyid, Abdullah ibn al-Mubarak, ‘Abdan (w. 221 H), Abu al-Muwajjah
(w. 282 H), al-Hasan ibn Halim al-Marwazi (w. 357 H), dan al-Hakim.
Semua perawi dalam jalur ini kredibel kecuali Sa’id al-Maqburi dan
Ma’mar ibn Rasyid sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun
permasalahannya di sini adalah keterputusan periwayatan antara Sa’id al-Maqburi
dengan Ma’mar ibn Rasyid. Sebagaimana yang telah penulis singgung sebelumnya
–yaitu ketika menjelaskan jalur al-Baihaqi yang bersumber dari al-Hakim-
dinyatakan bahwa Ma’mar tidak meriwayatkan hadis ini langsung dari Sa’id
al-Maqburi, melainkan dari seorang perawi mubham yang belakangan
diketahui namanya Muhammad ibn ‘Ajlan –sebagaimana tersebut dalam riwayat
al-Thabarani yang akan dijelaskan sebentar lagi-, namun anehnya dalam riwayat
al-Hakim ini disebutkan bahwa Ma’mar langsung meriwatkan hadis ini dari Sa’id
al-Maqburi, padahal dalam banyak riwayat tidak satupun bukti yang menunjukkan
adanya pertemuan langsung antara keduanya. Ditambah lagi dengan keterangan
bahwa dalam berbagai kitab-kitab biografi perawi hadis, tidak satu pun yang
menyebutkan adanya hubungan guru-murid antara Sa’id dengan Ma’mar, walaupun
secara tahun wafat keduanya mungkin bertemu karena hidup dalam kurun waktu yang
sama, Sa’id al-Maqburi wafat tahun 125 H dan Ma’mar meninggal pada tahun 152 H.
Al-Albani dalam bukunya Silsilah al-Ahadits al-Dho’ifah wa
Atsaruha al-Sayyi’ li al-Ummah menegaskan adanya al-‘illah khafiyyah berupa
keterputusan periwayatan antara Sa’id al-Maqburi dengan Ma’mar dalam sanad
Hakim ini, berdasarkan bukti riwayat yang berasal dari Abdullah ibn al-Mubarak
–salah seorang perawi Hakim- yang juga menyebutkan hadis ini dalam kitabnya al-Zuhd
wa al-Raqaiq, begitu juga dengan al-Baghawi dalam Syarh al-Sunnah, al-Tirmidzi
dalam Sunan-nya, al-Thabarani dalam Mu’jam al-Ausath-nya, serta
al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman-nya yang menyebutkan bahwa Ma’mar tidak
meriwayatkan hadis ini secara langsung dari Sa’id al-Maqburi, melainkan dari
seorang perawi lain yang mubham yang belakangan diketahui bernama
Muhammad ibn ‘Ajlan. Sehingga klaim shahih yang diberikan oleh al-Hakim
terhadap jalur ini tidak bisa diterima lantaran ‘ilat tersebut.
Al-Albani juga membantah asumsi al-‘Uqaili yang menganggap jalur yang berasal
dari al-Hakim ini sebagai jalur yang lebih kuat dari jalur yang dia miliki,
karena ternyata dalam jalur ini ada ‘ilat sebagaimana yang telah
disebutkan. Namun penulis lebih cendrung menyebut fenomena yang terjadi pada
riwayat al-Hakim ini hanya sebagai inqitha’ zhahir (keterputusan sanad)
semata, tidak tergolong ‘ilat sebagaimana yang ditegaskan al-Albani.
Berdasarkan keterangan panjang di atas dapat disimpulkan bahwa riwayat
al-Hakim ini -walaupun secara kasat mata bernilai shahih menurut
al-Hakim, karena berkemungkinan ia menganggap semua perawinya kredibel dan
sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah SAW- namun tetap saja
berstatus dho’if karena keterputusan sanad antara Sa’id al-Maqburi
dengan Ma’mar ibn Rasyid, namun ke-dho’ifan-nya dapat terangkat oleh
jalur lain yang lebih kuat atau yang setara dengannya yaitu jalur yang berasal
dari al-Baihaqi serta al-Thabarani sebagaimana yang akan dijelaskan.
6. Riwayat al-Thabarani
terdiri dari 10 orang perawi, yaitu Abu Hurairah, Sa’id al-Maqburi, Muhammad
ibn ‘Ajlan (w. 148 H), Ma’mar, Ibrahim ibn A’yun (tidak diketahui tahun
wafatnya), Israil (w. 162 H), Ibrahim ibn al-Mukhtar (w. 182 H), Muhammad ibn
Humaid al-Razi (w. 248 H), Ali ibn Sa’id al-Razi (w. 297 H), dan al-Thabarani
(w. 369 H).
Semua perawi dalam riwayat ini kredibel kecuali Sa’id al-Maqburi
dan Ma’mar sebagaimana yang telah dijelaskan, Ibrahim ibn A’yun yang dinilai
sebagai dhoif al-hadits oleh Ibn Abi Hatim, Ibrahim ibn al-Mukhtar yang
dinilai shaleh al-hadits oleh Abu Hatim, Muhammad ibn Humaid al-Razi
yang dicap sebagai mudallis dan dho’if al-hadits oleh Abu Nu’aim
dan Shaleh ibn Muhammad al-Asadi, serta Ali ibn Sa’id al-Razi yang dianggap
tidak kredibel oleh al-Daraquthni.
Sanad riwayat ini muttashil (bersambung sampai kepada
Rasulullah SAW) dan sekaligus menepis segala asumsi yang menunjukkan adanya
pertemuan langsung antara Ma’mar ibn Rasyid dengan Sa’id al-Maqburi. Di samping
itu, riwayat ini juga menjadi jalur penguat buat riwayat al-Hakim yang cacat
akibat keterputusan sanad. Sekalipun hadis ini bernilai dhoif, karena
dalam sanadnya terdapat beberapa perawi yang dicap sebagai perawi yang tidak
kredibel seperti Ibrahim ibn A’yun, Muhammad ibn Humaid al-Razi, Ali ibn Sa’id
al-Razi, serta Ibrahim ibn al-Mukhtar, akan tetapi tingkat ke-dho’if-annya
tidak terlalu parah, sehingga ia masih bisa memperkuat jalur yang
berasal dari al-Hakim sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya untuk naik
menjadi Hadis Hasan Lighairihi.
Hukum Hadis
Para ulama hadis berbeda pendapat dalam menghukumi riwayat di atas,
ada yang menganggapnya shahih seperti al-Hakim dan al-Dzahabi, ada yang
menghasankannya seperti al-Tirmidzi, serta ada juga yang men-dho’if-kan
seperti al-Albani dan lain-lain. Setelah mempelajari semua asumsi-asumsi para
ulama tersebut, maka penulis berkesimpulan bahwa hadis di atas berstatus :
1. Hasan Lizatihi dengan
memandang sanad al-Baihaqi yang berasal dari jalur Abu Abdillah al-Hafizh atau
al-Hakim, dengan alasan keberadaan beberapa orang perawinya yang berstatus shaduq
seperti Abu Bakr ibn Abi al-Dunya dan shalih al-hadis seperti Abu
Abdillah al-Shaffar.
2. Hasan
Lighairihi dengan memandang sanad al-Thabarani dan
al-Hakim. Alasannya adalah karena masing-masing dari kedua sanad ini mempunyai
cacat yang menurunkan kualitasnya menjadi dhoif, yaitu keterputusan
sanad antara Ma’mar dan Sa’id al-Maqburi pada riwayat al-Hakim -walaupun
belakangan diketahui bahwa perawi mubham yang terdapat di antara
keduanya bernama Muhammad ibn ‘Ajlan- serta keberadaan beberapa perawi yang
tidak kredibel seperti Ibrahim ibn A’yun, Muhammad ibn Humaid al-Razi,
Ali ibn Sa’id al-Razi, serta Ibrahim ibn al-Mukhtar pada riwayat al-Thabarani.
Namun tingkat ke-dhoif-an kedua riwayat ini tidak terlalu parah,
sehingga bisa saling menguatkan dan naik kederajat Hasan Lighairihi.
3. Dhoif (Hadis
Mungkar) dengan memandang jalur al-‘Uqaili, al-Tirmidzi, al-Baihaqi dari dua
jalurnya yang lain dan Ibn ‘Adi, karena keberadaan Muhriz ibn Harun yang
dianggap sebagai mungkar al-hadis dan dijarah oleh mayoritas kritikus
hadis. Hadis dengan tingkat kelemahan seperti ini, tidak bisa
didukung/dikuatkan oleh jalur lain, sekalipun jalur tersebut lebih kuat
darinya, karena tingkat kelemahannya yang sangat parah.
Kandungan Hadis.
Hadis ini termasuk kategori hadis
yang berisi anjuran atau motivasi untuk berbuat kebaikan. Imam al-Nawawi dalam
kitabnya Riyadh al-Shalihin memberi tema hadis di atas dengan Bab
Zikr al-Maut wa Qashr al-Amal dan al-Tirmidzi dalam Sunan-nya dengan
Bab al-Targhib fi al-Mubadarah bi al-A’mal. Dari segi kandungan/isi,
hadis di atas mempunyai kemiripan makna dengan sebuah hadis shahih yang
diriwayatkan oleh al-Hakim dalam Mustadrak-nya, Ibn al-Mubarak dalam al-Zuhd
wa al-Raqaiq-nya, al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman serta Abu
Nu’aim dalam Hilyah al-Aulia-nya, yaitu :
“اغْتَنِمْ
خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ، شَبَابَكَ قَبْلَ هِرَمِكَ وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَغِنَاءَكَ
قَبْلَ فَقْرِكَ وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ”
Artinya : Manfaatkanlah 5 perkara
berikut sebelum munculnya 5 perkara lainnya, yaitu masa mudamu sebelum tua,
sehatmu sebelum datang sakit, kayamu sebelum jatuh miskin, waktu luangmu
sebelum sibuk, serta kesempatan hidupmu sebelum datang kematian.
Setidaknya kedua hadis di atas
menganjurkan kita sebagai manusia yang punya batasan umur di dunia ini untuk
siap siaga menghadapi segala bentuk kemungkinan yang akan terjadi terkait
kehidupan. Jangan sampai jatah hidup yang sebentar di dunia ini hilang begitu saja
tanpa ada arti sama sekali. Oleh sebab itu hadis di atas mengingatkan kita
semua untuk bersegera beramal sebelum datangnya 7 perkara berikut, yaitu :
1. Penyakit parah.
2. Tua bangka.
3. Kaya yang membuat lalim.
4. Miskin yang membuat lupa diri.
5. Mati secara tiba-tiba.
6. Kemunculan Dajjal sebagai makhluk jahat yang
paling ditunggu-tunggu.
7. Hari Kiamat yang sangat mengerikan.
Kesimpulan akhir yang bisa dipetik dari paparan di atas adalah
bahwa manusia tidak akan terlepas dari 7 perkara tersebut dan semuanya akan menghalangi
mereka untuk melakukan amalan atau pun aktivitas sehari-hari lainnya. Jadi
jangan sia-siakan waktu yang masih ada sebelum datang penyesalan yang tiada
berguna. Wallahu A’lam
Tulisan ini merupakan resuman dari tugas akhir penulis di Darussunnah
International Institute For Hadis Sciences yang ditulis dalam Bahasa Arab
dengan berjudul حديث
الترغيب في المبادرة بالأعمال: تخريج ودراسة.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon kritik dan sarannya.!