Pengertian Maqashid Syariah[1]
Jaser Audah[2]
memperkenalkan sebuah pengertian praktis untuk Maqashid Syariah, yaitu sebuah
cabang ilmu keislaman yang menjawab segenap pertanyaan-pertanyaan yang sulit,
diwakili oleh sebuah kata yang tampak sederhana, yaitu “mengapa?”.
Ketika kita melayang jauh pada tingkatan-tingkatan pertanyaan “mengapa”,
berarti kita sedang mencari Maqashid dari apa yang ditanyakan. Untuk
menjawabnya seringkali kita berpindah dari hal-hal yang sederhana, lalu dari
isyarat-isyarat yang tampak jelas, kemudian dari tingkat perbuatan menuju tingkat
hukum dan kaedah. Pada akhirnya kalau pertanyaan tersebut dilanjutkan maka kita
akan sampai ke tingkat analisis kemaslahatan dan kemanfaatan bersama,
prinsip-prinsip dasar serta akidah-akidah pokok seperti prinsip keadilan,
kerahmatan, dan segenap sifat-sifat agung Allah SWT.
Sebagai contoh, kita sering bertanya-tanya tentang mengapa seorang
muslim salat? Mengapa zakat dan puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam?
Mengapa seorang muslim selalu berzikir? Mengapa berlaku baik terhadap tetangga termasuk
kewajiban dalam Islam? Mengapa meminum minuman beralkohol, walaupun sedikit,
adalah dosa besar dalam Islam? Dan mengapa hukuman mati ditetapkan bagi orang
yang memperkosa atau membunuh secara sengaja? dan pertanyaan kritis lainnya.
Sehingga dalam rangka ini, al-Maqashid menjelaskan hikmah dibalik aturan
Syariat Islam seperti memperkokoh bangunan sosial sebagai hikmah dari zakat dan
berbuat baik terhadap tetangga, meningkatkan kualitas diri/ketakwaan sebagai
hikmah dari salat, puasa, dan zikir, menjaga dan melestarikan nyawa, akal,
harta benda, kehormatan, dan keturunan sebagai hikmah dari terlarangnya
perbuatan membunuh, minum-minuman keras, mencuri, memperkosa dan berzina.
Selanjutnya al-Maqashid dapat dianggap juga sebagai sejumlah tujuan (yang
dianggap) ilahi dan konsep akhlak yang melandasi proses tasyri’ al-islami (penyusunan
hukum berdasarkan Syariat Islam) seperti prinsip keadilan, kehormatan manusia,
kebebasan kehendak, kesucian, kemudahan, kesetiakawanan, HAM, pembangunan, dan
keadilan sosial.
Perbedaan antara al-Maqashid dan al-Masalih
Kata al-Maqashid merupakan bentuk plural dari kata al-maqshid dalam
Bahasa Arab yang berarti tujuan, sasaran, hal yang diminati atau tujuan akhir.
Dalam istilah syariat, al-Maqashid mempunyai beberapa makna seperti al-hadf (tujuan),
al-garad (sasaran), al-mathlub (hal yang diminati), ataupun al-ghayah
(tujuan akhir) dari hukum Islam. Al-Juwaini (478 H) sebagai ulama pertama
yang memulai pengembangan teori maqashid menyamakan makna istilah al-maqashid
dengan al-Masalih al-‘Ammah (maslahat-maslahat publik). Lalu
al-Ghazali (505 H) mengelaborasi lebih lanjut karya gurunya al-Juwaini dengan
mengklasifikasikan al-Maqashid dan mengkategorikannya sebagai al-Masalih
al-Mursalah (Kemaslahatan Lepas). Hal senada juga disuarakan oleh
Fakhruddin al-Razi (606 H) dan al-Amidi (631 H). Selanjutnya al-Thufi mendefinisikan
al-Maslah sebagai sebab yang mengantarkan kepada maksud al-Syari’ (Allah
dan Rasul-Nya). Sementara itu al-Qarrafi (1285 H) membuat kaedah “suatu bagian
dari hukum Islam yang didasari oleh Syariat kecuali terpaut padanya sebuah
sasaran yang sah, yang dapat meraih kemaslahatan atau mencegah kemafsadatan”,
artinya tujuan apapun yang termasuk al-Maqashid pasti untuk menyatakan
kemaslahatan manusia (mendatangkan manfaat dan menolak kemudaratan dari
mereka).
Dimensi-Dimensi
al-Maqashid dan Perkembangannnya
Secara praktis, al-Maqashid dapat diklasifikasikan
berdasarkan dimensi keniscayaan (dasar klasifikasi klasik), dimensi hukum yang
berusaha untuk mencapai al-Maqashid, dimensi golongan manusia yang
diliputi al-Maqashid, dan dimensi universalitas al-Maqashid. Para
ulama klasik mengklasifikasikan al-Maqashid berdasarkan dimensi
keniscayaan menjadi 3 tingkatan, yaitu al-Dharuriyyah (primer), al-Hajiyat
(sekunder), dan al-Tahsiniyyat (tersier). Kemudian tingkatan al-Dharuriyyah
mereka pecah lagi menjadi 5 tingkatan, yaitu Hifz al-Dien (pelestarian
agama), Hifz al-Nafs (pelestarian diri), Hifz al-Mal (pelestarian
harta), Hifz al-‘Aql (pelestarian akal), dan Hifz al-Nasl (pelestarian
keturunan). Sebagian ulama menambahkan Hifz al-‘Ird (Pelestarian
kehormatan).
Hifz al-Dien sebagai kebutuhan dasar bagi
keberlangsungan kehidupan manusia, khususnya kehidupan akhirat diterapkan
dengan cara menjaga prinsip-prinsip pokok dalam beragama seperti prinsip
keadilan dan persamaan derajat. Hifz al-Nafs diaplikasikan dengan cara
memberlakukan pelarangan terhadap penyiksaan baik terhadap manusia, hewan,
maupun tumbuhan. Hifz al-Aql diterapkan dengan cara melarang keras minum
khamar, narkoba dan sejenisnya. Hifz al-Maal diberlakukan dengan cara
melarang sebab-musabab terjadinya krisis ekonomi seperti monopoli, riba,
korupsi, dan kecurangan-kecurangan transaksi lainnya. Begitu juga dengan hifz
al-Nasl ditegakkan dengan cara pelarangan zina, durhaka terhadap orangtua,
menelantarkan anak atau tidak berlaku adil kepadanya.
Sementara itu, tingkatan al-hajiyat (kebutuhan tingkatan
kedua/sekunder) dapat dicontohkan seperti kebutuhan untuk menikah, berdagang,
dan sarana transportasi. Masing-masingnya tidak secara langsung berkaitan
dengan perkara hidup matinya seseorang, akan tetapi apabila salah satu
kebutuhan itu tidak tersedia bagi sebagian besar manusia, maka ia akan
berpindah dari jenjang “kebutuhan tingkat kedua” ke “keniscayaan” berdasarkan
kaedah al-hajah idza ‘ammat, nazalat manzilah al-dharurah. Yaitu sebuah
kebutuhan jika sudah menjadi jarang, maka ia sudah pantas untuk ditempatkan
pada jenjang keniscayaan. Sedangkan tingkatan al-tahsiniyyat (tersier)
bersifat sebagai pelengkap kehidupan seperti minyak wangi, pakaian yang
menarik, rumah yang asri, dan lain-lain.
Perlu digarisbawahi di sini, sebagaimana yang dijelaskan oleh
al-Syathibi, bahwa terdapat hubungan persimpangan dan keterkaitan antar
kategori atau jenjang al-Maqashid tersebut. Perdagangan dan pernikahan
misalnya, yang merupakan kebutuhan tingkat kedua (al-hajiyat) ternyata
memiliki hubungan manfaat yang terkait erat dengan dengan pelestarian keturunan
dan harta yang termasuk kebutuhan primer (al-dharuriyyah). Namun oleh
para pemikir al-maqashid kontemporer hierarki klasik seperti ini mereka
kritisi dengan beberapa alasan sebagai berikut. Pertama, ruang lingkup al-maqashid
klasik hanya terbatas dengan syariat secara keseluruhan sehingga ia tidak
meliputi tujuan-tujuan spesifik dari sebuah hukum/teks ataupun dari sejumlah
teks yang mengatur topik-topik tertentu dari syariat.
Kedua, klasifikasi al-maqashid klasik hanya tertuju pada kepentingan
individu (perorangan) daripada keluarga, masyarakat, ataupun manusia secara
umum. Ketiga, al-maqashid klasik tidak meliputi nilai-nilai paling dasar
yang diakui secara universal seperti keadilan, kebebasan, dan sebagainya. Keempat,
al-maqashid klasik telah dideduksi dari tradisi dan literatur pemikiran
mazhab hukum Islam, bukan langsung dari teks-teks suci (al-Qur’an dan Hadis).
Sebagai solusinya, mereka menawarkan beberapa perspektif baru seputar al-maqashid,
di antaranya: Pertama, membuat klasifikasi baru terhadap al-maqashid
berdasarkan jangkauan hukumnya, yaitu al-Maqashid al-‘ammah (maqashid
umum) seperti prinsip keadilan, universalitas, dan kemudahan. Al-Maqashid
al-Khasshah (maqashid spesifik) seperti kesejahteraan anak pada bab hukum
keluarga. Dan al-Maqashid al-Juziyyah (maqashid parsial) seperti maksud
menghilangkan kesukaran pada memperbolehkan orang sakit untuk tidak berpuasa.
Kedua, memperluas konsep al-maqashid meliputi jangkauan yang lebih
umum lagi seperti masyarakat, bangsa, bahkan umat manusia secara umum. Hal ini
sebagaimana yang digagas oleh Ibn Asyur dalam mendudukkan al-maqashid yang
berkaitan dengan bangsa (umat) pada tingkat yang lebih tinggi daripada al-maqashid
yang berhubungan dengan individu. Begitu juga dengan Rasyid Ridha,
memasukkan reformasi dan hak-hak perempuan dalam teori al-maqashid-nya.
Dan juga Yusuf al-Qaradhawi yang memasukkan harga diri manusia dan HAM dalam
teorinya tentang al-maqashid. Ketiga, mengemukakan al-maqashid universal
baru yang dideduksi langsung dari teks-teks suci, bukan dari literatur warisan
mazhab fikih islami. Berikut di antara pakar maqashid kontemporer dan
pemikirannya:
1. Rasyid Ridha
(1354 H/1935 M) menyarankan bahwa tujuan-tujuan pokok syariat menurut al-Qur’an
adalah mereformasi pilar-pilar keimanan, menyosilakan Islam sebagai agama
fitrah alami, menegakkan peran akal, pengetahuan, hikmah, dan logika yang
sehat, kebebasan, independensi, reformasi sosial, politik, dan ekonomi, serta
hak-hak perempuan.
2. Al-Thahir ibn
‘Asyur (1325 H/ 1907 M) mengemukakan bahwa tujuan pokok universal hukum Islam
adalah ketertiban, kesetaraan, kebebasan, kemudahan, dan pelestarian fitrah
manusia.
3. Muhammad
al-Ghazali (1416 M/ 1996 M) mengeritik kecendrungan penafsiran harfiyah dan
mereformasi bidang HAM dan hak-hak perempuan dalam Islam.
4. Yusuf
al-Qaradhawi (1345 H/ 1926 M) menyarankan bahwa pokok syariat (menurut
al-Qur’an) adalah pelestarian akidah dan harga diri, penyembahan Allah SWT,
penjernihan jiwa, perbaikan akhlak, pembangunan keluarga, perlakuan adil terhadap
perempuan, pembangunan bangsa muslim yang kuat, serta kerjasama antar umat
manusia.
5. Thaha Jabir
al-‘Alwani (1354 H/ 1935 M) mengusulkan bahwa tujuan pokok syariat menurut
al-Qur’an adalah untuk al-tauhid (mengesakan Tuhan), al-tazkiyah (mensucikan
jiwa manusia), dan al-‘Imran (mengembangkan peradaban manusia di
muka bumi).
Al-Maqashid pada Ijtihad para Sahabat Nabi SAW
Penerapan nalar berfikir al-maqashid sebenarnya sudah ada
sejak masa Nabi Muhammad SAW masih hidup bersama para sahabatnya. Salah satu
contoh nyata akan hal itu adalah hadis mengenai salat Asar di Bani Quraizhah,
di mana sebagian sahabat memahami perintah Rasul ketika itu secara tekstual dan
sebagian yang lain secara kontekstual. Namun keputusan masing-masing dihargai
oleh Nabi dengan bukti beliau tidak menyalahkan salah satu di antara keduanya.
Satu-satunya ulama muslim yang menentang pendapat para sahabat yang
melaksanakan salat Ashar dalam perjalanan adalah Imam Ibn Hazm al-Andalusi
(Imam kaum tekstualis). Selain itu prinsip serupa juga banyak dilakonkan oleh
Umar ibn Khattab pada masa kehalifahannya seperti kebijakannya dalam membagikan
tanah yang baru dikuasai Islam di Mesir dan Irak bukan terhadap mereka yang
ikut berperang, namun buat mereka yang benar-benar membutuhkannya dan bersifat
komunal. Umar berdalil dengan ayat al-Qur’an yang bersifat umum (lebih
prinsipil) yang menyatakan bahwa Allah SWT tidak menjadikan harta kekayaan
terbatas pada kalangan tertentu saja (apalagi mereka yang sudah mapan secara
ekonomi).
Selain itu Umar juga tidak menerapkan hukum potong tangan terhadap
pencuri pada masa paceklik di Madinah, dengan anggapan bahwa penerapan hukuman
tersebut pada saat orang-orang sedang menderita
kekurangan persediaan pangan dasar, menentang prinsip-prinsip keadilan
yang ia anggap lebih fundamental untuk diikuti. Begitu juga dengan kebijakannya
dengan hanya memberikan 1/5 harta rampasan perang bagi tentara yang menaklukkan
musuhnya. Keputusan itu beliau ambil demi untuk menegakkan keadilan antar para
tentara dan untuk mengukuhkan kepercayaan publik. Kemudian kebijakannya ketika
memasukkan kuda sebagai salah satu harta yang wajib zakat, ia beralasan bahwa
kuda pada waktu itu sudah menjadi mahal dan dipandang sebagai harta yang
nilainya melebihi nilai onta. Alasan ini jugalah yang melatarbelakangi ijtihad
Yusuf al-Qaradhawi yang mengharuskan zakat pada setiap harta yang berkembang.
Sekedar untuk diketahui bahwa semua mazhab pemikiran hukum Islam
selain pengikut Imam Abu Hanifah menolak perluasan jenis harta wajib zakat.
Penolakan ini sejatinya dapat memperlihatkan sejauh mana pengaruh pemahaman
harfiah terhadap metode-metode pemikiran tradisional hukum Islam. Bahkan Ibn
Hazm menegaskan bahwa tidak ada zakat pada harta manapun kecuali 8 tipe harta
yang disebutkan dalam hadis Nabi SAW, yaitu emas, perak, gandum, sya’ir
(sejenis gandung yang dipakai untuk membuat bir), kurma, unta, sapi, kambing
dan domba. Berdasarkan data ini, jelas terlihat bahwa opini Ibn Hazm justru
berpotensi menghambat institusi zakat dari mencapai tujuan keadilan dan
kesejahteraan sosial yang menjadi tujuan utamanya. Namun perlu digarisbawahi di
sini bahwa pendekatan yang terarah oleh al-Maqashid itu tidaklah serta merta
diterapkan dalam semua jenis arahan syariat, ia hanya mencakup wilayah muamalah
semata, tidak dalam bidang ibadah.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Umar r.a pernah ditanya
“mengapa kita tetap tawaf mengelilingi ka’bah sambil membuka baju kita untuk
memperlihatkan pundak, padahal Islam sudah kuat dan berkuasa di Mekah?”, lalu
Umar menjawab “kami tidak akan berhenti melaksanakan sesuatu yang pernah
menjadi kebiasaan Nabi pada saat itu”. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
Umar membedakan antara tindakan peribadatan dan tindakan muamalah Nabi. Imam
al-Syathibi juga menegaskan dalam kitabnya al-Muwafaqat bahwa ketaatan
harfiyyah adalah metode dasar pada wilayah peribadatan, sedangkan pertimbangan
maksud dan tujuan adalah metode dasar pada wilayah muamalat. Berdasarkan hal
itu, secara umum wilayah peribadatan harus ditetapkan sebagai area yang konstan
(tidak berubah) di mana seorang muslim harus mengikuti contoh yang telah
diajarkan oleh Nabi SAW, sedangkan dalam ruang muamalat tidak harus demikian.
Geneologi Teori-Teori al-Maqashid
Setelah masa sahabat, teori dan klasifikasi al-Maqashid mulai
berkembang dan mulai matang di tangan para Ushuliyyun abad ke-5 sampai
ke-8 H. Hal ini bukan berarti menegasikan perkembangannya pada 3 abad pertama,
gagasan tentang tujuan/maksud atau yang dikenal dengan istilah hikmah, ‘ilal,
munasabat, atau ma’ani, telah muncul di dalam berbagai metode
berfikir yang digunakan oleh para imam klasik hukum Islam. Hal itu ditandai
oleh adanya metode-metode fikih seperti kias, istihsan, dan maslahat,
walau belum tampak sebagai ilmu yang berdiri sendiri sebelum berakhirnya
abad ke-3 hijriah. Berikut penggagas kajian al-Maqashid sebelum abad
ke-3 hijriah :
1.
Al-Tirmidzi
al-Hakim (296 H/ 908 M) lewat dua karyanya al-Shalah wa Maqashiduha dan al-Hajj
wa Asraruh.
2. Abu Zaid
al-Balkhi (322 H/ 933 M) lewat dua karyanya al-‘Ibanah ‘an ‘ilal al-Diyanah dan
Mashalih al-Abdan wa al-Anfus.
3.
Al-Qaffal
al-Kabir Syasyi (365 H/ 975 M) lewat karyanya Mahasin al-Syarai’.
4.
Ibn Babawaih al-Shaduq
al-Qummi (381 H/ 991 M) lewat karyanya ‘Ilal al-Syar’i.
5.
Al-Amiri
al-Failasuf (381 H/ 991 M) lewat karyanya al-I’lam bi Manaqib al-Islam.
Para Kreator al-Maqashid (Dari Abad ke-5 sampai ke-8 H)
Abdullah ibn Bayyah menyatakan bahwa abad ke-5 H merupakan hari
lahirnya sebuah epistemologi hukum Islam atau disebut juga filsafat hukum
Islam. Hal itu terbukti karena
metode-metode harfiah dan statis yang dikembangkan sampai dengan abad ke-5
terlihat belum sanggup menghadapi problematika hidup dan perkembangan
peradaban. Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya teori al-maslahah
al-mursalah yang pada akhirnya melahirkan teori al-maqashid dalam
disiplin ilmu dan praktek hukum Islam. Berikut beberapa ulama yang punya andil
besar dalam proses kelahiran kajian al-maqashid :
1. Imam al-Juwaini
(478 H/ 1085 M); Pencetus Teori al-Hajah al-‘Ammah/ Kebetuhan Publik.
Dua karyanya yang masyhur dalam kajian ini adalah al-Burhan fi Ushul al-Fiqh
dan Ghiyas al-Umam. Ia menggagas al-maqashid sebagai
kebutuhan publik.
2. Abu Hamid
al-Ghazali (505 H/ 1111 M); Pencetus Teori Tartib al-Dharuriyyah/ Hierarki
Kebutuhan. Karyanya dalam bidang ini adalah al-Mustasfa. Ia mengemukakan
al-maqashid sebagai keniscayaan yang berjenjang.
3. Al-‘Izz ibn
‘Abd al-Salam (660 H/ 1209 M); Pencetus Teori al-Hikmah Min Warai al-Ahkam/ Hikmah
dibalik Hukum Syariat. Dedikasinya dalam bidang ini adalah ide bahwa legalitas
suatu aturan bergantung pada tujuan dan hikmah yang ada dibaliknya melalui tiga
karyanya Maqashid al-Shalah, Maqashid al-Shaum, dan Qawaid al-Ahkam
fi Mashalih al-Anam.
4. Shibab al-Dien
al-Qarrafi (684 H/1285 M); Pencetus Teori Klasifikasi Perbuatan Nabi SAW. Ia
menulis kitab al-Furuq, dan mempelopori kajian klasifikasi perbuatan
Nabi SAW berdasarkan posisi Nabi.
5. Ibn Qayyim
al-Jauziyyah (748 H. 1347 M); Pencetus Teori Hakikat Syariah. Melalui beberapa
karyanya dalam bidang ini seperti I’lam al-Muwaqqi’in, Ahkam ahl al-Dzimmah,
Syifa’ al-‘Alil, Miftah Dar al-Sa’adah dan lain-lain, ia mengkritisi fenomena al-hiyal
al-syar’i, mengungkapkan hakikat syariat sebagai bangunan yang diletakkan
atas dasar kemaslahatan di dunia dan akhirat.
6. Abu Ishaq al-Syathibi (790 H/ 1388 M);
Pencetus Teori al-Maqashid sebagai Asas-Asas Hukum Islam. Ia menulis al-Muwafaqat
fi Ushul al-Syariah. Sumbangsihnya adalah melakukan tiga transformasi
penting terhadap konsep al-maqashid yaitu dari sekedar al-maslahat
al-mursalah (maslahat-maslahat lepas) menuju asas-asas hukum. Dari hikmah
dibalik aturan menuju dasar-dasar aturan. Dan dari hal-hal yang bersifat Zhonni
menuju yang Qath’i.
Al-Maqashid
untuk Pembaruan Islami Kontemporer
Al-Maqashid merupakan sebuah metodologi Islam
asli yang mengkaji pikiran dan membangkitkan keprihatinan Islami. Ia dapat
berperan positif dalam hal penyelesaian perdebatan seputar wacana reformasi
hukum Islam. Para sarjana al-Maqashid
kontemporer telah mencoba untuk memperkenalkan al-Maqashid sebagai
upaya untuk mencapai pembangunan dan merealisasikan HAM. Selanjutnya ia
diperkenalkan sebagai asas peluncuran gagasan-gagasan baru dalam hukum Islam,
khususnya tentang perbedaan penting antara sarana dan tujuan. Kemudian al-Maqashid
diilustrasikan sebagai strategi penting dalam mereinterpretasikan al-Qur’an
dan Hadis. Kajian berikutnya akan mengemukakan metode fikih fathu al-zarai’ sebagai
perluasan dari metode klasik sadd al-zarai’. Lalu kajian ini akan
berlanjut hingga kepada gagasan mengenai universalitas hukum Islam melalui
konsep al’urf. Ail-Maqashid juga diperkenalkan sebagai dasar bersama
antarmazhab hukum Islam, bahkan dalam dialog antar umat beragama. Berikut jabarannya
:
Pertama; Al-Maqashid Untuk Pembangunan dan Hak Asasi Manusia
Dalam rangka pembaruan Islam, para sarjana hukum kontemporer telah
berupaya untuk mengembangkan terminologi al-Maqashid melalui
istilah-istilah kekinian. Misalnya hifz al-nasl (pelestarian keturunan)
yang dianggap sebagai salah satu dari kebutuhan dasar manusia, oleh al-Amiri
ditempatkan sebagai tujuan dibalik hukuman-hukuman yang dijatuhkan syariat
terhadap orang yang melanggar batas kesusilaan. Kemudian al-Juwaini
mengembangkan teori al-mazajir (hukum pidana) milik al-Amiri menjadi
teori al-‘ishmah (perlindungan), tepatnya ia berpendapat bahwa hukuman
terhadap para pelanggar kesusilaan tersebut sebagai perlindungan bagian-bagian
pribadi. Dan usaha ini dipatenkan oleh muridnya al-Ghazali dengan mencetak
istilah hifz al-nasl sebagai salah satu tujuan syariat dalam tingkat
keniscayaan. Hal serupa juga diadobsi oleh al-Syathibi beberapa abad
setelahnya.
Namun pada abad ke-20 M para ahli al-maqashid mengembangkan
istilah hifz al-nasl menjadi bagian dari sebuah teori al-maqashid yang
terarah pada keluarga. Ibn Asyur misalnya, memfokuskan perhatian akan keluarga sebagai salah
satu tujuan pokok hukum Islam. Ia menjelaskan dengan sangat detail tujuan dan
nilai moral hukum Islam menyangkut keluarga dalam karyanya Sistem Sosial
dalam Islam. Pada tahapan selanjutnya, penerus Ibn Asyur tidak lagi
mengandalkan teori hukum pidana milik al-Amiri atau konsep al-‘Ishmah milik
al-Juwaini ataupun paradigma hifz al-nasl kepunyaan al-Ghazali. Mereka
mengandalkan konsep nilai dan sistem di mana kedua konsepsi itulah yang
digunakan Ibn Asyur.
Pengembangan serupa juga dialami oleh konsep hifz al-aql (pelestarian
akal). Menurut paradigma klasik, konsep ini masih terbatas pada hikmah dibalik
larangan minuman keras dalam Islam. Namun pada abad ke-20 M, istilah ini
berkembang meliputi penyebaran pemikiran ilmiah, bepergian untuk mencari ilmu,
menekan sikap ikut-ikutan tanpa ilmu, menghindari pengiriman tenaga ahli keluar
negeri (brain dram/ kebocoran otak), dan lain-lain. Begitu juga dengan
istilah hifz al-‘ardh (pelestarian kehormatan) dan hifz al-nafs (pelestarian
jiwa) juga mengalami perkembangan serupa. Awalnya keduanya ditempatkan oleh
al-Amiri sebagai hikmah dibalik hukum pidana Islam bagi para pelanggar
kehormatan orang lain. Setelah itu al-Juwaini menempatkannya dalam teori al-‘ishmah
(perlindungan) sebagai perlindungan terhadap kehormatan. Lalu al-Ghazali
dan al-Syathibi menempatkannya pada tingkat keniscayaan.
Namun akhir-akhir ini, ungkapan hifz al-‘ardh ini dalam literatur
hukum Islam secara perlahan-lahan mulai digantikan oleh “pelestarian harga diri
manusia” ataupun perlindungan HAM menjadi tujuan tersendiri dari hukum Islam.
Adapun Deklarasi Islami International tentang HAM yang dideklarasikan oleh sejumlah
ulama pada tahun 1981 merepresentasikan berbagai orientasi keislaman melalui
mimbar UNESCO. Deklarasi HAM Islami tersebut secara mendasar mengandalkan
teks-teks suci Islam sebagaimana dijelaskan pada bagian bibliografinya.
Deklarasi Islami tersebut meliputi semua isi hak-hak dasar manusia seperti hak
untuk hidup, kebebasan, kesetaraan, keadilan, proses pengadilan yang adil,
perlindungan dari penyiksaan, hak untuk suaka, kebebasan kepercayaan, kebebasan
berpendapat, kebebasan perkumpulan, hak untuk mendapatkan pendidikan dan hak
untuk berpindah tempat tinggal.
Berdasarkan spirit pengembangan pemikiran al-maqashid menuju
realisasi pembangunan dan HAM juga, istilah hifz al-dien yang
diusulkan oleh al-Ghazali dan al-Syathibi, dapat dikembalikan kepada teori
hukum pidana al-Amiri ketika membicarakan hukuman bagi siapa saja yang
meninggalkan kepercayaan yang benar. Namun oleh para sarjana al-maqashid kontemporer seperti Ibn Asyur
telah dirubah menjadi kebebasan beragama atau kebebasan untuk percaya dalam ekspresi
kontemporer. Para pendukung kebebasan beragama ini melandaskan teori mereka
melalui Surah al-Baqarah ayat 256 yang berarti “tidak ada paksaan dalam
urusan agama” sebagai prinsip dasarnya. Contoh ini sangat kontras dengan
teori hifz al-dien klasik yang lebih mengedepankan had al-riddah (hukuman
murtad) sebagai usaha dalam mewujudkan tujuan pelestarian agama. Meski demikian
persoalan HAM dalam kaitannya dengan hukum Islam masih memerlukan penelitian
lebih lanjut.
Sementara itu konsep hifz al-maal al-Ghazali, atau ‘ishmah
al-maal al-Juwaini, ataupun istilah hukuman untuk pencurian al-Amiri juga
telah dikembangkan menuju terminologi sosial ekonomi seperti keamanan sosial,
pembangunan ekonomi, perputaran uang, kesejahteraan masyarakat dan pengurangan
kesenjangan antar kelas sosial. Sehingga perkembangan ini memungkinkan pemanfaatan teori al-maqashid sebagai
pemicu pertumbuhan ekonomi bagi Negara yang mayoritas penduduknya muslim.
Selain itu paradigma ini juga dapat menyediakan alternative-alternatif Islami lainnya
bagi investor konvensional yang didasari oleh bunga/riba dalam rangka memenuhi
tujuan kesejahteraan umum masyarakat sebagaimana yang sudah diterapkan di
sebagian Negara-negara maju di dunia.
Sebagai catatan di sini, al-Maqashid seharusnya berupaya
untuk merealisasikan pembangunan manusia melalui hukum Islami agar pencapaian al-Maqashid
itu jadi mudah untuk diukur dan dievaluasi secara empirik melalui
standar-standar ilmiah kontemporer. Sehingga pembangunan manusia di sini seyogyanya menjadi ekspresi utama
yang menyuarakan maslahat pada zaman sekarang. Namun sama halnya dengan
persoalan HAM, pembangunan manusia sebagai usaha pengembangan al-maqashid sebagai
tujuan-tujuan hukum Islam masih memerlukan pengkajian lebih lanjut dari perspektif
al-Maqashid itu sendiri, karena tidak dapat dipungkiri bahwa
beberapa aliran neo-literalis Islam masih ada yang berpandangan usaha ini
sebagai alat dominasi Barat atas kaum muslimin.
Kedua; Al-Maqashid sebagai Landasan Ijtihad Kontemporer
Di antaranya adalah sebagai berikut :
a.
Memahami
Perbedaan antara Ta’arud dengan Tanaqudh
Menurut teori hukum Islam terdapat perbedaan antara kedua kata di
atas, yaitu ta’arudh/ikhtilaf (oposisi/perselisihan) dan tanaqud atau
ta’anud (kontradiksi) dari sejumlah dalil (baik al-Qur’an atau redaksi
Hadis). Istilah pertama dianggap hal yang biasa terjadi, terlebih dalam
persoalan furu’ (cabang) syariat. Biasanya disebabkan oleh kekurangan
persepsi dari seorang ahli fikih yang membuatnya merasa adanya kontradiksi
tersebut. Hal ini bisa terjadi lantaran yang bersangkutan tidak mendapatkan
informasi yang lengkap mengenai narasi dalil yang dianggap berkontradiksi
ataupun kekurangan dalam hal pengetahuan yang meliputi aspek-aspek konteks
narasi dalil tersebut dari segi tempat, waktu, situasi maupun kondisi.
Sementara itu istilah yang kedua, tanaqud atau kontradiksi
antara kebenaran dan kebohongan (seperti mengharamkan atau menafikan sesuatu A)
dianggap tidak mungkin terjadi di antara dalil-dalil yang sahih, kecuali kesahihannya
itu tidak benar adanya. Kontradiksi semacam ini hanya dapat terjadi dalam
proses periwayatan hadis yang disebabkan oleh kealfaan para perawi, sehingga
memunculkan anggapan adanya dua redaksi asli yang berkontradiksi. Akan tetapi
kontradiksi yang semacam ini sangat jarang dan pengaruhnya pada fikih juga
terbatas. Sebagian besar kasus perselisihan atau oposisi yang memiliki pengaruh
besar dalam bidang fikih adalah merupakan ta’arudh (kontradiksi lahiri),
sebuah kontradiksi yang secara lahir tampak bagi pemahaman, padahal pada
hakikatnya tidak bertolakbelakang sama sekali.
b.
Metode-Metode
Pemecahan Ta’arud
Metode
umum yang digunakan oleh para ulama dalam menyelesaikan kontradiksi lahiri
tersebut paling tidak ada tiga, yaitu metode al-jam’u (pengkompromian
dua dalil), metode nasekh wa al-mansukh (penghapusan dari suatu dalil
oleh dalil yang lebih baru), metode al-tarjih (timbang-menimbang antar
dalil), al-tawaqquf (bersikap skeptis atau tidak memberikan keputusan), al-tasaqut
(pengguguran), serta al-takhyir (pemilihan). Namun menurut
penelitian Jaser Audah, metode al-tawaqquf, al-tasaqut, dan al-takhyir
sangat jarang digunakan. Sedangkan metode yang sering didahulukan secara
teoritis oleh mayoritas ulama adalah metode al-jam’u dan metode al-nasakh
sering diaplikasikan oleh Mazhab Hanafi. Kendati demikian, secara faktual
dalam disiplin ilmu hadis, penggunaan metode al-jam’u jarang digunakan.
Kadang-kadang mereka (para ahli hadis) menggunakan metode al-tarjih dan
paling sering menggunakan metode al-nasakh.
c.
Metode
al-Naskh dan Keterbatasannya
Sebagaimana
yang telah disebutkan sebelumnya bahwa metode ini merupakan metode yang paling
sering digunakan oleh Ahli Hadis dalam mengatasi kontradiksi lahiri. Konsep ini
mengasumsikan bahwa dalil yang lebih mutakhir menghapuskan dalil yang
sebelumnya, baik dalam nash al-Qur’an ataupun Hadis. Anehnya istilah al-nasakh
sendiri tidak memiliki dalil pendukung dari perkataan Nabi dalam literature
hadis yang ada. Istilah ini muncul hanya pada komentar-komentar para sahabat
Nabi dan perawi hadis saat mengomentari hadis-hadis yang menurut pandangan
mereka tampak berkontradiksi. Di pihak lain, para ahli al-Qur’an mengklaim
bahwa ada dalil khusus dalam al-Qur’an yang menegaskan adanya istilah tersebut
(seperti Q.S al-Baqarah : 106) meski sebenarnya terdapat beragam interpretasi
seputar ayat tersebut.
Jaser
Audah melihat adanya sejumlah besar dalil yang telah dibatalkan tanpa alasan
yang masuk akal, kecuali kelemahan para ahli fikih dalam menemukan titik temu
antar dalil yang mereka anggap berkontradiksi tersebut. Padahal sebenarnya
terdapat beberapa alternatif lain seperti pengaplikasian metode al-tarjih, atau
dengan meneliti adanya kemungkinan salah satu dari dua dalil tersebut tidak
diriwayatkan secara benar ataupun kemungkinan lain bahwa masing-masing narasi
terjadi dan mengacu pada konteks yang berbeda-beda, sehingga signifikansi
masing-masing juga berbeda-beda. Harmonisasi atau konsiliasi dengan
pertimbangan konteks inilah yang dinamakan juga dengan metode al-jam’u yang
jarang digunakan oleh para ulama klasik dahulu. Berikut contoh keterbatasan
metode al-nasakh yang populer dalam al-Qur’an yaitu ayat tentang al-saif
(pedang).
Akibat
dominasi metode al-nasakh, ayat al-saif (pedang) dianggap
menghapus 200 ayat al-Qur’an. Pada ayat ke-5 dari surah al-Taubah, yang
kemudian dinamakan dengan ayat pedang ini disebutkan bahwa “apabila sudah
habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja
kamu jumpai mereka dan tangkaplah mereka”. Menurut konteks sejarah, ayat
ini turun pada tahun ke-9 hijriah di mana terjadi perperangan antara kaum
muslimin dengan kaum musyrikin Mekah. Namun oleh mayoritas ahli tafsir, ayat
tersebut telah dicabut dari konteks tematik dan sejarahnya dan dianggap sebagai
penentu hukum hubungan antara kaum muslimin dengan Non Muslim di setiap tempat,
waktu, dan situasi-kondisi karena ia diwahyukan menjelang wafatnya Nabi SAW.
Akibatnya ayat tersebut diklaim telah berkontradiksi dengan lebih dari 200 ayat
al-Qur’an yang semuanya mengajak kepada dialog, kebebasan beragama, pemaafan,
perdamaian, dan kesabaran.
Berdasarkan
data ini, Jaser Audah berkesimpulan bahwa metode al-nasakh pada umumnya
merupakan produk pemahaman manusia
ketimbang wahyu. Hal tersebut ditambah lagi dengan membengkaknya jumlah
kasus penghapusan yang diklaim oleh tabi’in di mana jumlah kasus
tersebut justru melebihi jumlah kasus yang dibicarakan oleh para sahabat
sendiri. Pada abad selanjutnya semakin banyak lagi kasus al-nasakh yang
diklaim oleh para ulama mazhab, yang tidak pernah diklaim oleh generasi tabi’in.
Sehingga pada akhirnya metode al-nasakh ini seakan-akan menjadi
trategi untuk mendiskreditkan opini lawan. Contohnya, Abu al-Hasan al-Karkhi (951
H) pernah menulis “kaedah dasar adalah setiap ayat al-Qur’an yang berbeda
dengan opini para ulama mazhab kami, dianggap telah dicabut dari konteksnya
atau telah dinasekhkan”.
d.
Al-Maqashid
sebagai Solusi Kontruktif untuk al-Ta’arud
Berikut
beberapa contoh kasus yang dianggap kontradiksi oleh segolongan ulama dan
diselesaikan dengan metode al-nasakh, padahal kontradiksi tersebut bisa
terselesaikan dengan pendekatan al-maqashid. Diantaranya :
Pertama,
Maksud Kemudahan dan Ritual Ibadah
Ada beberapa dalil yang dianggap kontradiksi mengenai variasi cara
pelaksanaan ritual ibadah Nabi SAW yang bersumber dari riwayat yang sahih. Seperti
cara meletakkan tangan dalam salat, bermacam-macam gerakan salat, berbagai
macam ucapan tasyahhud, cara-cara sujud sahwi, cara takbir dalam salat Ied,
ritual mendetail haji dan lain-lain. Dalam nuansa penafsiran yang diselimuti
pikiran al-nasakh, riwayat-riwayat yang berbeda itu seringkali
menyebabkan konflik yang berkepanjangan antar kaum muslimin, termasuk di
Indonesia. Padahal melalui sudut pandang al-maqashid keberagaman
tersebut mengandung maksud tertentu dari Nabi SAW, yaitu al-taisir (kemudahan).
Sehingga maksud kemudahan ini memungkinkan kaum muslimin, dengan kemampuan dan
sifat yang berbeda-beda, untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan kemampuan
masing-masing.
Kedua,
Maksud Universalitas Islam dan Kearifan Lokal
Terdapat juga
sejumlah narasi hadis yang dianggap berkontradiksi mengenai ‘uruf (kearifan
lokal), seperti hadis tentang boleh tidaknya seorang perempuan menikah tanpa
wali laki-laki. Hadis ini dianggap kontradiksi karena dalam tradisi Arab,
wanita yang menikah tanpa wali dianggap tidak tahu malu. Kedua hadis tersebut
diriwayatkan dari Aisyah ra di mana salah satunya melarang wanita manapun
menikah tanpa wali laki-laki, sedangkan riwayat lainnya memperbolehkan wanita
yang pernah menikah untuk menikah tanpa wali. Kontradiksi lahiri ini sebenarnya
bisa dipecahkan dengan menggunakan paradigma al-maqashid, tanpa harus menasakh
salah satu di antaranya. Hadis ini dapat dipahami sebagai upaya Nabi SAW
dalam menunjukkan kepeduliannya terhadap keanekaragaman masyarakat manusia,
karena sejatinya beliau diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta.
Ketiga, Maksud
Gradualisme dan Manajemen Perubahan
Selain dua maksud di atas, ada juga beberapa teks yang secara
lahiriahnya berkontradiksi, namun pada hakikatnya tidak sama sekali. Hal itu
seperti kontradiksi antar dalil mengenai pelarangan khamar dan berjudi,
pelaksanaan salat dan puasa secara bertahap. Teks-teks tersebut tidak mesti
dipertentangkan, namun harus dipahami sebagai representasi dari prinsip
gradualisme dalam penerapan syariat. Hal ini bertujuan untuk memperhalus jalan
perubahan yang dibawa oleh Syariat pada sendi-sendi masyarakat dan kebiasaan-kebiasaan
yang telah mengakar. Sehingga pelaksanaan manajemen perubahan dalam membumikan
gagasan-gagasan ideal pada masyarakat pun dapat diwujudkan. Urgensi prinsip ini
sangat cocok diterapkan bagi mereka yang baru memeluk agama Islam, di mana
mereka perlu menumbuhkankembangkan keislaman mereka secara perlahan-lahan.
Keempat, Maksud
Pencocokan Maslahat dengan Keanekaragaman Kondisi
Selanjutnya, terdapat sejumlah teks yang secara lahir bertolak
belakang dengan teks lainnya karena menyampaikan pernyataan hukum yang
berbeda-beda terhadap kasus yang mempunyai tipikal yang sama. Namun kontradiksi
lahiri ini dapat dipecahkan dengan mempertimbangkan maksud dan tujuan Nabi SAW
untuk memenuhi kemaslahatan manusia yang memiliki potensi dan kondisi yang berbeda-beda
dengan cara yang terbaik. Contoh kasus dalam hal ini adalah persoalan masih
berhak atau tidaknya seorang ibu/janda untuk mengasuh anaknya jika ia telah
menikah lagi. Menurut satu riwayat menerangkan hilangnya hak asuh dari si
perempuan yang bersangkutan. Riwayat ini diunggulkan oleh mayoritas ulama fikih
dengan alasan bahwa kelompok hadis ini lebih autentik karena diriwayatkan oleh
al-Bukhari dan Ahmad ibn Hambal.
Di lain pihak, Ibn Hazm menguatkan riwayat kedua yang menjelaskan
bahwa sang ibu masih mempunyai hak asuh atas anaknya walaupun sudah menikah
dengan suami yang baru. Hal ini didasarkan kepada kecurigaannya terhadap kedhobitan
salah seorang perawi dalam silsilah narasi kelompok pertama. Di samping
itu, riwayat ini juga diperkuat oleh fakta Ummu Salamah yang tetap tetap
mempertahankan hak asuh anaknya setelah ia menikah dengan Nabi SAW. Namun
perselisihan ini dikompromikan oleh al-Shan’ani dengan memutuskan bahwa sang
anak harusnya tinggal bersama salah satu orangtuanya yang mampu memenuhi
maslahat anak itu dengan cara terbaik, boleh jadi itu adalah bapak atau ibunya.
Dengan demikian, keadilan adalah standar yang menentukan pihak yang memiliki
hak asuh dan syariat tidak mungkin berlaku tidak adil terhadap manusia.
Ketiga, al-Maqashid untuk Membedakan antara Tujuan dan Sarana
Muhammad al-Ghazali dalam upayanya memperbaharui hukum Islam,
menegaskan pentingnya pembedaan antara al-wasail (sarana-sarana) dengan al-ahdaf
(tujuan-tujuan). Ia membolehkan terjadinya intiha (kesudahan) dari
sebuah sarana, hal yang tidak dapat terjadi dengan tujuan. Ia membuat contoh
dengan sistem pembagian rampasan perang sebagai sarana yang bisa berubah-ubah
dan dapat mengalami kesudahan meskipun persoalan ini telah disebutkan secara jelas
dalam al-Qur’an. Begitu juga dengan Yusuf al-Qaradhawi dan Faisal Maulawi,
keduanya menerapkan konsep yang sama tentang sarana dan tujuan pada rukyat
Ramadhan. Sehingga berkesimpulan bahwa rukyat hanyalah sekedar sarana untuk
menentukan awal bulan puasa ketimbang sebuah tujuan dalam dirinya sendiri.
Sebagai catatan bahwa fatwa keduanya dapat memecahkan banyak masalah bagi
minoritas Muslim yang hidup ditengah-tengah masyarakat non muslim.
Di samping itu, al-Qaradhowi juga menganggap pemakaian jilbab oleh
wanita muslimah dipandang sebagai sekedar sarana untuk mencapai tujuan
kesopanan. Begitu juga dengan Thaha Jabir al-Ulwani, ia menyarankan sebuah
proyek reformasi dalam karyanya Ishlah al-Fikr al-Islami di mana ia
menjelaskan pendapatnya tentang metode pembedaan antara sarana dan tujuan, khususnya
dalam isu-isu gender. Dengan melibatkan perempuan dalam persaksian dapat
dianggap sebagai sarana yang mengantarkan kepada suatu tujuan atau dengan kata
lain sebuah proses demi penetapan gagasan mengenai kesetaraan gender. Sementara
itu Ayatullah Mahdi Syamsuddin mengusulkan kepada para ahli hukum Islam untuk
mengambil posisi dinamis dalam mendekati teks-teks suci, tidak memandang teks
secara terpisah sebagai hukum yang mutlak dan universal, namun mengaitkannya
dengan faktor tempat, waktu, situasi, dan person.
Di samping mereka, masih banyak para pemikir muslim kontemporer
yang mengulas secara panjang lebar persoalan relasi antara sarana dengan tujuan
ini, seperti Fathi Uaman yang mengulas sisi-sisi praktis yang menjadikan
persaksian wanita kurang dari laki-laki. Hasan Turabi yang menyoroti banyaknya
aturan hukum buat wanita dan tata busananya. Roger Garaudy yang menyarankan
pengklasifikasian ayat al-Qur’an ke dalam 2 bagian, yaitu bagian yang dianggap
historis dan bagian yang merupakan nilai-nilai abadi. Abdul Karim Soroush yang
mengusulkan pembagian teks ke dalam 2 unsur, yaitu unsur yang esensial
(prinsipil) dan yang aksidental (kondisional). Muhammad Shahrur yang
memperdebatkan bahwa sebagian tradisi kenabian yang berkaitan dengan
perdagangan tidak dapat dianggap sebagai hukum Islam, melainkan hukum perdata
yang harus disesuaikan dengan situasi sosial di mana dia diterapkan.
Penting juga untuk disebut di sini bahwa sementara peneliti ada
yang memperluas cakupan antara sarana dengan tujuan ini menjadi apa yang
disebut dengan historisasi teks-teks suci Islam, di mana hal itu dapat dianggap
sebagai penghapusan terhadap wewenang teks tersebut secara total. Pendekatan
ini menyarankan bahwa setiap ide tentang teks, budaya, dan kejadian-kejadian
adalah, secara total, bergantung pada posisinya dalam konteks historisnya yang
asli dan perkembangan-perkembangan historis berikutnya. Akibat dari pemahaman
seperti ini adalah dianggapnya al-Qur’an sebagai produk budaya dari sebuah
budaya yang melahirkannya. Sehingga pada akhirnya al-Qur’an hanya menjadi
dokumen sejarah yang hanya bisa membantu dalam belajar tentang sejarah
komunitas tertentu yang pernah ada pada zaman Nabi Muhammad SAW.
Keempat, al-Maqashid untuk Interpretasi Tematik al-Qur’an dan Hadis
Dalam hal ini, al-maqashid diorientasikan sebagai alat untuk
mengajukan penafsiran yang lebih bermakna bagi teks al-Qur’an. Hal inilah yang
diusahakan oleh madzhab penafsiran tematik. Metode memahami ayat-ayat al-Qur’an
dalam bentuk tema-tema, prinsip-prinsip, dan nilai-nilai dominan. Metode ini
didasari pada sebuah persepsi tentang al-Qur’an sebagai suatu kesatuan yang
berintegrasi. Surah-surah dan ayat-ayat al-Qur’an mengenai kisah-kisah
kenabian, akhirat dan alam semesta, kesemuanya ini dianggap sebagai
bagian-bagian yang secara bersama-sama membentuk sebuah ketunggalan yang
holistik, sehingga berpotensi memainkan peran dalam membentuk aturan-aturan
hukum Islami yang manusiawi dan tidak bertentangan antara satu dengan yang lainnya.
Penafsiran tematik seperti ini juga bisa diterapkan dalam membaca
hadis-hadis Nabi SAW. Yaitu dengan menimbang kehidupan Nabi secara keseluruhan
yang dibagi menjadi tema-tema yang diperintahkan oleh prinsip-prinsip dan
diatur pula oleh nilai-nilai moral yang luhur. Dengan demikian, kesahihan
sebuah hadis dapat dipertanyakan jika isinya tidak sesuai dengan nilai-nilai
dan prinsip-prinsip Islam yang nyata. Demikian pula, jika para ulama fikih
belum berhasil memecahkan sebuah kontradiksi lahiri antar dua redaksi hadis
secara kebahasaan, maka kesahihan salah satunya akan didasari pada sejauh mana
hadis itu memenuhi dan sesuai dengan dengan prinsip-prinsip al-Qur’an. Di
samping itu juga disyaratkan adanya koherensi yang sistemik dari isi (matan)
hadis tersebut dengan prinsip-prinsip yang nilai-nilai keislaman.
Akhirnya dalam rangka pemanfaatan al-maqashid dalam
pembaharuan interpretasi Hadis, pendekatan al-maqashid dapat memenuhi
gap yang serius pada narasi hadis, yaitu gap konteks narasi/redaksi. Sebagian
besar narasi hadis hanya berupa potongan-potongan yang menjelaskan persoalan
yang bersifat parsial tanpa menjelaskan konteks historis, politik, sosial,
ekonomi, atau suasana saat narasi itu berlangsung. Akan tetapi, biasanya
konteks beserta implikasinya terhadap pemahaman dan penerapan isi hadis,
dibiarkan dan diserahkan kepada penalaran spekulatif perawi atau ulama yang
membacakannya. Sehingga dalam rangka meminimalisir cara baca
“sepotong-sepotong” seperti ini, keberadaan sebuah gambaran yang holistik yang
dihasilkan oleh penerapan pendekatan al-maqashid yang didasari pada
pemahaman akan tujuan-tujuan umum hukum Islam, dapat membantu dalam melampaui
gap akibat kekurangan informasi tentang konteks narasi tersebut.
Kelima, al-Maqashid untuk Memahami Perbuatan Nabi SAW
Imam al-Qarrafi dalam hal ini, telah mengklasifikasikan perbuatan
Nabi, sekurang-kurangnya, menjadi tiga unsur, yaitu sebagai pengantar pesan
ilahi, hakim, dan pemimpin. Ia juga menjelaskan bahwa masing-masing maksud
memiliki implikasi yang berbeda terhadap aturan yang diterapkan berdasarkan
narasi hadis yang mengusung maksud itu. Sementara itu Ibn Asyur mengembangkan
teori al-Qarrafi di atas menjadi 11 atau 12 posisi sebagai berikut :
1. Maksud
Legislasi (Pembuatan Undang-Undang) seperti pesan Nabi terkait ritual-ritual
haji. Tingkah laku seperti ini harus diikuti seperti apa adanya.
2. Maksud berfatwa
seperti sejumlah fatwa yang dikeluarkan Nabi SAW pada saat pelaksanaan ibadah
haji. Hadis-hadis seperti ini juga harus diikuti persis sebagaimana Nabi
melakukannya.
3. Maksud berlaku
sebagai hakim seperti kebijakan Nabi dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi
di antara dua orang pada saat hidup beliau. Jenis ini bukanlah legislasi yang
mutlak, tapi dikembalikan kepada keputusan hakim yang mempertimbangkan setiap
kasus sesuai dengan kondisinya.
4.
Maksud berlaku
sebagai pemimpin seperti instruksi Nabi terkait kebolehan bagi seseorang yang
menanami tanah kosong untuk memilikinya, kebolehan mengambil harta musuh dalam
perperangan bagi siapa yang membunuhnya dan lain-lain. Secara umum tindakan
Nabi yang berkaitan dengan ranah sosial-politik dan sosial-ekonomi, perlu
dipahami dalam rangka yang lebih luas, yaitu berkaitan dengan tujuan-tujuan
utama syariat dan kemaslahatan umum.
5. Maksud berlaku
sebagai pendamping seperti anjuran Nabi terhadap Abu Zarr untuk menghargai para
pembantunya dan memperlakukan mereka secara baik.
6. Maksud berlaku
sebagai pendamai seperti anjuran Nabi terhadap Barirah untuk ruju’ dengan
suaminya dan anjuran Nabi terhadap beberapa sahabat untuk mengikhlaskan hutang
para sahabat lain yang tidak mampu membayar hutangnya.
7. Maksud berlaku
sebagai penasehat bagi yang meminta nasehat/musyawarah.
8. Maksud berlaku
sebagai penasehat tanpa dimintai nasehat.
9.
Maksud
mengajarkan norma yang ideal seperti arahan-arahan Nabi SAW kepada para
sahabatnya agar menyempurnakan karakter mereka tampa bermaksud mewajibkan
hal-hal itu bagi umatnya.
10. Maksud
penertiban masyarakat seperti ucapan Nabi yang berbunyi “Tidak beriman
seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya”.
11.
Maksud non
intruksi seperti hadis-hadis yang menggambarkan cara Nabi SAW makan, memakai
baju, berbaring, berjalan, dan lain sebagainya.
Keenam, al-Maqashid untuk Fath al-Zarai’ dan Sadd
al-Zarai’
Sadd al-Zarai’ (menutup sarana yang bisa
mengantarkan kepada yang dilarang syariat), dalam hukum Islam bermakna melarang
sebuah aksi yang legal karena ditakutkan akan mengakibatkan aksi yang tidak
legal. Para ulama sepakat bahwa pelarangan itu hanya dapat diberlakukan jika
kemungkinan terjadinya aksi ilegal itu melebihi kemungkinan tidak terjadinya,
walaupun mereka berselisih dalam mengklasifikasikan tingkat
kemungkinan-kemungkinan tersebut. Secara umum para ulama mengelompokkan
kemungkinan tersebut ke dalam 4 kategori, yaitu kategori yang pasti,
kemungkinan besar, mungkin, dan jarang.
Pada zaman sekarang, sadd al-zarai’ adalah tema yang sering
terulang pada pendekatan hukum aliran neo-literalis yang dimanfaatkan oleh
sebagian rezim politik demi kepentingan sendiri, khususnya para ranah hukum
yang menyangkut perempuan seperti larangan terhadap perempuan untuk mengendarai
mobil, bepergian sendirian, bekerja di radio atau televisi, mengabdi sebagai
wakil rakyat dan lain-lain. Namun sejumlah ulama dari mazhab Maliki menyarankan
pembukaan sarana (fath al-zarai’) sebagai perluasan dari metode klasik sadd
al-zarai’. Pendapat ini juga didukung oleh al-Qarrafi, ia membagi aturan
syariat ke dalam sarana-sarana (wasail) dan tujuan-tujuan (maqashid)
dan menyarankan agar diblokirnya sarana-sarana yang mengakibatkan terjadinya
tujuan yang ilegal dan agar dibukanya sarana-sarana yang mengantarkan kepada
tercapainya tujuan-tujuan yang legal.
Di samping itu, al-Qarrafi mengaitkan tingkatan sarana dengan
jenjang tujuan, di mana ia menyarankan 3 jenjang tujuan, yaitu tujuan yang
paling jelek (aqbah), maka sarananya harus diblokir. Kemudian tujuan
yang paling baik (afdal), maka sarananya harus dibuka. Dan tujuan yang
di tengah-tengah (mutawassith), maka sarana yang mengantarkan ke arah
sana diperbolehkan. Selain al-Qarrafi, Ibn Farhun (769 H) juga menerapkan
konsep al-Qarrafi terkait fath al-zarai’ ke dalam sejumlah aturan
syariat. Dengan demikian, tampak bahwa pengikut mazhab Maliki mencoba untuk
memperluas metode berpikir ini kepada sisinya yang positif yang berimplikasi
terhadap pembukaan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan yang baik, sekalipun
tujuan-tujuan tersebut tidak disebutkan dalam teks-teks suci.
Ketujuh, al-Maqashid untuk Syariat yang Mendunia
Al-‘Uruf secara harfiyah berarti adat yang disepakati bersama dalam sebuah
masyarakat. Hubungan antara hukum Islam dengan ‘uruf sangat kompleks,
khususnya ‘uruf Arab yang memiliki pengaruh besar terhadap karya-karya
para ulama pada masa awal, di mana karya-karya itu mempengaruhi semua karya
ulama berikutnya. Ibn Asyur menyarankan sebuah pandangan baru mengenai peran
fundamental al-‘uruf berdasarkan konsep al-maqashid. Dalam
karyanya Maqashid al-Syari’ah, ia mendudukkan pembahasan tentang ‘uruf
dalam rangka pencapaian tujuan atau maksud universalitas hukum Islam (hukum
Islam sebagai aturan agama yang mendunia atau memiliki solusi bagi segala
masalah dalam segala konteks). Di samping itu, Ibn Asyur juga membahas pengaruh
al-‘uruf terhadap teks-teks suci al-Qur’an dan Hadis.
Berdasarkan maksud universalitas hukum Islam, Ibn Asyur menyarankan
adanya interpretasi ulang terhadap riwayat yang mempertimbangkan konteks kebudayaan
Arab ketimbang menjadikannya sebagai aturan yang mutlak dan final. Manakala
hukum Islam dikehendaki menjadi universal, maka ia harus cocok dengan hikmah
dan nalar yang dapat diterima oleh semua kalangan manusia yang tidak
berubah-ubah seiring berjalannya waktu dan tempat. Selain itu Ibn Asyur
berupaya untuk memilah mana yang merupakan hukum Islam yang berlaku pada setiap
waktu dan tempat dan mana yang merupakan hukum Islami yang terpengaruh oleh ‘uruf
Arab. Kemudian ia menerapkan gagasan tersebut terhadap sejumlah narasi
hadis untuk memilah hukum Islam yang lokal dari hukum Islam yang universal.
Ia menyoroti bahwa hadis-hadis yang menerangkan jenis pakaian,
perumahan, kendaraan, larangan perempuan menyambung rambut, memisahkan antara
gigi depan, bertato, anjuran berhijab dan lain-lain sebagai aturan-aturan Islam
yang terkait dengan budaya lokal Arab yang dalam prakteknya tidak perlu dikuti
dan dianggap sebagai bagian dari hukum Islam. Bahkan kebiasaan atau adat suatu
masyarakat tidak boleh juga dipaksakan kepada anggotanya yang belum siap
menerimanya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Ibn Asyur memahami
riwayat-riwayat di atas dalam rangka tujuan-tujuan moral dasar ketimbang norma
yang diterapkan untuk dirinya sendiri. Pendekatan seperti ini memungkinkan
fleksibilitas dalam penerapan hukum Islam pada budaya-budaya lokal, khususnya
pada lingkungan non-Arab.
Kedelapan, al-Maqashid sebagai Landasan Bersama Antar Mazhab Islami
Perpecahan umat Islam yang disebabkan oleh perbedaan di bidang
interpretasi hukum Islam telah terjadi dari dulu hingga sekarang. Yang paling
parah adalah perpecahan yang terjadi antara Sunni dengan kelompok Syiah yang
sering dilihat sebagai perpecahan politik yang berakhir dalam permazhaban.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang mencolok di antara keduanya,
baik pada masa lalu maupun sekarang, bukanlah pada ranah akidah, melainkan pada
ranah politik. Bahkan perpecahan tersebut telah menjalar ke ranah peradilan,
peribadatan dalam masjid, dan interaksi sosial keseharian. Sehingga perpecahan
itu berkembang dan pada akhirnya menjadi konflik berdarah di sejumlah negara.
Di lain hal, Jaser Audah telah melakukan sebuah survei terhadap
studi-studi al-maqashid yang ditulis oleh sejumlah tokoh dari kalangan
Sunni maupun Syiah dan berkesimpulan bahwa terdapat kesamaan antara pendekatan
Sunni dan Syiah terhadap al-Maqashid. Justru sebagian besar perbedaan
antara fikih Sunni dan Syiah dapat dikembalikan kepada perbedaan pandangan
mengenai narasi dan aturan praktis yang jumlah relatif sedikit. Sementara itu
pendekatan al-Maqashid terhadap kajian fikih adalah bersifat holistik
yang tidak membatasi diri dengan narasi atau pendapat tertentu, melainkan
selalu merujuk kepada prinsip-prinsip umum dan dasar-dasar bersama.
Dalam hal ini Jaser Audah menegaskan bahwa menerapkan tujuan-tujuan
utama persatuan dan rekonsiliasi umat Islam lebih berprioritas ketimbang
penerapan detail-detail fikih. Senada dengan itu, Ayatullah Mahdi Syamsuddin
juga melarang provokasi antara Sunni dan Syiah berdasarkan tujuan tertinggi,
terutama rekonsiliasi, persatuan, dan keadilan. Akhirnya, sebuah pendekatan al-maqashid
menarik isu-isu fikih kepada tingkatan filosofis yang lebih tinggi,
sehingga dapat menjembatani perbedaan-perbedaan mengenai sejarah politik Islam
dan mendukung terciptanya budaya konsiliasi dan hidup berdampingan secara damai
dan sejahtera.
Kesembilan, al-Maqashid sebagai Landasan Dialog Antar Kepercayaan
Teologi Sistematik (Systematic Theology) merupakan sebuah
pendekatan terhadap kajian agama atau sistem kepercayaan tertentu yang berusaha
untuk memotret gambaran yang menyeluruh tentang agama atau sistem tersebut.
Pendekatan ini mengkaji semua aspek yang berkaitan dengan agama atau kepercayaan,
sejarah, filsafat, ilmu pengetahuan dan akhlak demi mencapai sebuah pandangan
filosofis yang holistik tentang agama atau kepercayaan. Pendekatan itu semakin
populer khususnya dalam kajian teologi Kristen dengan segala variasi
golongannya. Teologi Sistematik menggunakan sebuah metode induksi yang
berimplikasi terhadap pengelompokan, klasifikasi, dan integrasi dari
fakta-fakta yang kelihatannya tidak berkaitan menuju kesimpulan keterkaitan
antar fakta tersebut dengan ide-ide utama dan intisari-intisari logis tentang
ajaran agama tersebut.
Teologi Sistematik ini memiliki banyak kesamaan praktis dengan
pendekatan al-maqashid dalam ilmu keislaman. Keduanya menerapkan konsep
interpretasi ulang untuk membangun asas-asas dinamisme dan fleksibilitas dalam
menyikapi perubahan zaman dan pandangan hidup yang dialami orang-orang beriman
tanpa harus berkompromi dengan komitmen dasar mereka terhadap kitab suci yang
mereka imani. Salah satu contoh titik kesamaan antara keduanya adalah dari segi
rumusan perlindungan ataupun pelestarian yang diusahakan oleh masing-masingnya,
yaitu terhadap agama, nyawa, harta, akal, dan keturunan dalam pendekatan al-maqashid
dan perlindungan terhadap kehidupan, kesehatan, dan nyawa dengan melarang kebiasaan
mabuk-mabukan dalam pendekatan Teologi Sistematik.
Keberadaan al-maqashid dalam hal ini dapat dipahami sebagai
pandangan teologi holistik yang memungkinkan para teolog untuk menempatkan
ajaran-ajaran dan arahan-arahan agama dalam satu kesatuan yang terdiri dari
prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan utama yang mendasari ajaran dan arahan
tersebut. Sehinggga fokus keberagaman akan tertuju kepada prinsip dan tujuan
utama ketimbang pemahaman terhadap satu persatu teks secara terpisah dan atau
aplikasi harfiah teks-teks tersebut. Pengkajian agama yang terarah oleh
tujuan-tujuan utama agama tersebut (al-maqashid) dapat mendukung dialog
antar iman melalui fokusnya pada kesamaan ketimbang perbedaan. Pada akhirnya
nilai-nilai moral yang mendasari bermacam-macam ajaran dan arahan agama yang
berbeda tidak akan tampak berbeda jauh sehingga, sekali lagi, dapat memainkan
peran yang signifikan pada dialog dan saling memahami antar sistem kepercayaan.
Penutup
Sebagai penutup dari resume ini, penulis ingin menggarisbawahi
bahwa pemikiran al-maqashid Jaser Audah ini memiliki keistimewaan
dibanding karya-karya serupa dalam tema yang sama dari segi kesatuan tema dan
sistematisasi alur pembahasan. Hanya saja apa yang tertera dalam buku ini baru
sejauh teori yang mungkin saja membutuhkan usaha nyata untuk mewujudkannya. Di
samping itu, kami secara pribadi melihat ada beberapa tema kontroversial yang
sempat dibahas oleh Jaser Audah dalam buku ini yang berpeluang besar untuk disalahpahami
oleh sebagian kalangan, khususnya dalam konsep al-maqashid sebagai landasan
bersama antar mazhab dan antar umat beragama. Kendati demikian, apa yang
ditulis dalam buku ini masih membuka peluang untuk didiskusikan lebih lanjut,
seperti apa standar dan batasan-batasan maslahah dalam teori al-maqashid
perspektif Jaser Audah sehingga dapat dibedakan dengan teori-teori al-maqashid
lain yang cendrung liberal dan sembrono dalam penerapannya. Allahu A’lam
[1].Materi diskusi
yang disampaikan dalam Islamic Studies Forum di SPS UIN Jakarta pada
Hari Selasa, 28 Oktober 2014.
[2].Ia adalah
seorang pemikir muslim asal Mesir yang aktif menyuarakan kajian Maqashid
al-Syariah sebagai solusi atas persoalan metodologi hukum Islam. Ia
menjabat sebagai direktur pendiri al-Maqashid Research Center Filsafat
Hukum Islam (Markaz Dirasat Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah) yang
berpusat di London, suatu lembaga yang bergerak di bidang hukum Islam pada
umumnya dan Maqashid Syariah pada khususnya. Di samping itu ia juga
menjadi profesor tamu di Alexandria University, Mesir. Salah satu karya
monumentalnya berjudul Maqashid al-Syariah as Philosophy of Islamic Law; a
System approach yang menunjukkan bahwa pendekatan multidisiplin harus
diterapkan dalam penelitian studi Islam kontemporer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon kritik dan sarannya.!