Sebagaimana yang diketahui bahwa zakat merupakan salah satu di
antara rukun Islam yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim yang diberi
kelebihan harta oleh Allah SWT. Selain bertujuan untuk menyucikan diri para muzakki
(orang yang berzakat) sebagaimana dijelaskan dalam Surah al-Taubah ayat 103,
zakat juga mempunyai hikmah dan tujuan untuk membantu mereka yang berkekurangan
dari segi ekonomi sehingga mampu menjalankan aturan-aturan agama tanpa harus takut
terhadap bayang-bayang kemiskinan. Begitu kira-kira al-Jurjani menjelaskan
hikmah zakat dalam karyanya Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu.
Untuk itu,
Islam telah mengatur secara rinci siapa saja golongan-golongan yang berhak
menerima zakat dan mereka yang tidak berhak. Dalam Surah al-Taubah ayat 60,
Allah SWT telah menjelaskan setidaknya ada delapan kelompok yang berhak
menerima zakat. Mereka adalah orang-orang yang tergolong sebagai fakir, miskin,
‘amil (petugas zakat), muallaf (orang yang baru masuk Islam), hamba
sahaya (yang ingin dimerdekakan), orang yang sedang dililit hutang, orang yang
sedang dalam perjalanan, dan mereka yang sedang berjuang di jalan Allah.
Namun, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Taqiyuddin al-Hushni
dalam karyanya Kifayah al-Akhyar dan Mustafa al-Bugha dalam bukunya al-Fiqh
al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Syafi’i, masing-masing dari mustahik yang
delapan tersebut juga harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut :
Pertama, para mustahik yang telah disebutkan hendaklah seorang muslim.
Sehingga orang-orang non muslim tidak berhak menerima zakat dari umat Islam.
Rasulullah SAW bersabda :
"تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ
فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ"
“Zakat
itu diambil dari orang-orang kaya (dari kaum muslimin) dan didistribusikan
untuk orang-orang miskin di antara mereka”. (H.R. Bukhari)
Kedua, mereka benar-benar orang yang tidak mampu untuk berusaha, baik karena
cacat fisik maupun faktor-faktor sosial lainnya. Dengan demikian, mereka yang berkecukupan
dan mampu secara fisik untuk berusaha, tidak boleh menerima zakat. Rasulullah
SAW pernah bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, al-Tirmidzi,
Hakim dan al-Baihaqi sebagai berikut :
"وَلاَ حَظَّ فِيهَا لِغَنِيٍّ
وَلاَ لِقَوِيٍّ مُكْتَسِبٍ"
“Orang-orang kaya dan punya fisik yang kuat (untuk
berusaha) tidak berhak mendapat bagian harta zakat”.
Ketiga, para mustahik tersebut bukan termasuk tanggungan yang wajib bagi muzakki.
Sehingga para mustahik yang menjadi tanggungan muzakki seperti
istri, bapak, kakek, nenek, anak, cucu baik yang laki-laki maupun yang
perempuan ketika mereka berstatus sebagai fakir atau miskin, tidak boleh
diberikan harta zakat. Alasannya adalah karena mereka merupakan bagian dari
diri muzakki sendiri dan memberikan zakat kepada diri sendiri hukumnya
adalah tidak boleh. Namun apabila mereka secara bersamaan berstatus sebagai ‘amil,
gharim (orang yang dililit hutang), atau status-status lainnya selain fakir
dan miskin, maka mereka berhak untuk menerimanya.
Namun perlu digarisbawahi di sini bahwa saudara kandung, baik
laki-laki maupun perempuan, paman, bibi, dan anak-anak mereka, bukan termasuk
tanggungan yang wajib bagi seorang muzakki. Sehingga ketika mereka berstatus sebagai
fakir atau pun miskin, maka seorang muzakki boleh memberikan zakat
hartanya kepada mereka. Bahkan hal tersebut, menurut Mustafa al-Bugha lebih
utama ketimbang memberikannya kepada orang lain. Rasulullah SAW, sebagaimana
diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi, al-Nasa’i, dan Ibn Majah pernah bersabda :
"الصَّدَقَةُ عَلَى الْمِسْكِينِ
صَدَقَةٌ وَعَلَى ذِي الْقَرَابَةِ اثْنَتَانِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ"
“Memberikan
sedekah (zakat) kepada orang miskin hanya memperoleh pahala sedekah, sedangkan
memberikannya kepada kaum kerabat akan mendapatkan dua pahala, yaitu pahala
sedekah dan pahala menyambungkan silaturrahm”.
Keempat, mereka bukan termasuk keturunan Nabi SAW, baik dari jalur Bani Hasyim
atau pun Bani Muthallib. Rasulullah SAW secara tegas telah melarang
keluarganya untuk menerima harta zakat, karena harta tersebut dianggap sebagai kotoran
manusia. Hal tersebut dijelaskan secara gamblang dalam sebuah hadis sahih
riwayat Imam Muslim sebagai berikut :
"إِنَّ هَذِهِ الصَّدَقَاتِ
إِنَّمَا هِىَ أَوْسَاخُ النَّاسِ وَإِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلاَ لآلِ مُحَمَّدٍ"
"Sesungguhnya sedekah ini merupakan kotoran manusia dan ia tidak layak
(dimakan) oleh Muhammad dan Keluarganya".
Kelima, mereka bukan tergolong hamba sahaya (budak belian), kerena seorang budak
sejatinya merupakan tanggungan dari majikannya. Sehingga mereka tidak berhak
untuk menerima harta zakat. Demikian
aturan dan ketentuan zakat dalam Islam. Ia boleh diserahkan –baik secara
langsung maupun lewat perantaraan ‘amil zakat- kepada sanak saudara
selama mereka tergolong sebagai mustahik dan tidak tergolong sebagai tanggungan
yang wajib bagi muzakki. Wallahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon kritik dan sarannya.!