Pada
dasarnya, semua perkara agama yang berkaitan dengan keseharian manusia telah
diatur secara jelas dan terperinci oleh Allah SWT dalam al-Qur’an dan
Rasulullah SAW dalam hadis-hadisnya. Dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Muslim disebutkan :
"إِنَّ
الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ
كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ"
“Sesungguhnya
yang halal itu telah jelas dan yang haram pun telah jelas. Sedangkan di
antaranya ada masalah yang samar-samar (syubhat) yang kebanyakan manusia tidak
mengetahui hukumnya”.
Terkait
dengan fenomena batu Akik di atas, menurut hemat kami persoalan tersebut berada
dalam ranah kebolehan semata. Hal itu berdasarkan sebuah kaedah umum dalam
disiplin Ilmu Qawaid Fiqh yang menyebutkan bahwa hukum asal segala
sesuatu adalah boleh, selama tidak ditemukan dalil khusus yang menunjukkan
keharamannya. Kalau diperhatikan secara seksama maka tidak ditemukan dalil
khusus yang mengharamkan atau pun yang menganjurkan seseorang untuk menggunakan
batu cincin yang terbuat dari Akik tersebut.
Syekh Syamsuddin Muhammad ibn Umar ibn Ahmad al-Sufayri dalam
karyanya Syarh Shahih al-Bukhari menjelaskan bahwa Rasulullah SAW selama
hidupnya mempunyai lebih kurang lima koleksian cincin. Pertama, cincin dari emas yang sempat beliau gunakan
sebelum turunnya larangan memakai emas bagi kaum laki-laki. Ketika mengetahui
beberapa orang sahabat mengikutinya, Rasulullah pun segera membuang serta mengharamkan cincin
tersebut untuk umatnya yang laki-laki. Kedua, cincin dari perak yang
matanya juga terbuat dari perak. Ketiga, cincin dari perak yang matanya
terbuat dari merjan (sejenis Akik).
Keempat, cincin dari besi yang dilapisi perak. Kelima, cincin dari perak yang
matanya terbuat dari batu Akik. Hal ini sebagaimana yang pernah diriwayatkan
oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya :
“كَانَ خَاتَمُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ وَرِقٍ
وَكَانَ فَصُّهُ حَبَشِيًّا”
“Cincin
Rasulullah SAW terbuat dari perak, sedangkan mata cincinnya
terbuat dari batu Habasyi
(Akik)”
Para ulama
seperti Imam al-Nawawi, Ibn Hajar dan al-Sufayri mengatakan bahwa
memakai cincin yang bermatakan Akik hukumnya adalah boleh-boleh saja. Begitu
pula dengan batu Yaqut (sejenis batu mulia) juga dibolehkan, baik buat
laki-laki maupun perempuan. Memang ada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa
Rasulullah SAW menganjurkan para sahabat untuk menggunakan cincin Akik dan Yaqut,
karena benda tersebut dinilai bisa mendatangkan keberkahan dan dapat mengusir kegundahan
serta kemiskinan. Namun setelah diteliti ternyata riwayat tersebut tidak valid
bersumber dari Nabi SAW.
Berikut
bunyi riwayat tersebut :
"تَخَتَّمُّوْا
بِالْعَقِيْقِ فَإِنَّهُ مُبَارَكٌ، تَخَتَّمُّوْا بِخَوَاتِمِ الْعَقِيْقِ فَإِنَّهُ
لَا يُصِيْبُ أَحَدَكُمْ غَمٌّ مَا دَامَ ذَلِكَ عَلَيْهِ، تَخَتَّمُّوْا بِالْيَاقُوْتِ
فَإِنَّهُ يَنْفِيْ الْفَقْرَ".
Rasulullah SAW bersabda “hendaklah kamu memakai cincin dari Akik,
karena sesungguhnya ia mengandung keberkahan. Pakailah cincin tersebut, niscaya
kamu tidak akan dihinggapi oleh rasa gundah selama cincin itu bersamamu. Dan pakailah
cincin dari Yaqut karena ia bisa menghilangkan kemiskinan”.
(H.R. al-‘Uqayli, al-Khathib, dan Ibn ‘Asakir)
Imam
al-‘Uqayli dalam karyanya al-Dhu’afa al-Kabir mengatakan bahwa riwayat
ini bermasalah dari segi sanadnya, karena diriwayatkan oleh seorang pembohong
besar yang bernama Ya’qub ibn al-Walid al-Madini. Imam Ibn al-Jauzi
mengategorikannya sebagai Hadis Maudhu’ (palsu) dalam kitabnya al-Maudhu’at.
Begitu pula al-Mahamili, Ibn ‘Adi, al-Khathib al-Baghdadi, dan bahkan
al-Dzahabi menganggap Ya’qub ibn al-Walid sebagai seorang pemalsu hadis yang
hadisnya tidak bisa diterima sama sekali. Sementara itu Hamzah al-Ashbahani sebagaimana
yang dikutip oleh al-Suyuthi dalam Jami’ al-Ahadits-nya menilai bahwa
hadis ini tergolong Mushahhaf (redaksinya tertukar) dengan hadis :
"تَخَيَّمُوا بِالْعَقِيقِ
فَإِنَّهُ مُبَارَكٌ"
Rasulullah SAW bersabda “berkemahlah kalian di ‘Aqiq (sebuah lembah
di Madinah), karena sesungguhnya di sana terdapat keberkahan!”. (H.R.
Bukhari)
Dengan
demikian, hadis anjuran untuk memakai cincin dari Akik di atas tergolong hadis
yang bermasalah. Ia tidak bisa dijadikan sebagai dalil kesunahan untuk
menggunakannya. Sulayman al-Asyqar dalam karyanya Af’al al-Rasul mengategorikan
perbuatan seperti di atas sebagai perbuatan Nabi yang tidak mengandung nilai tasyri’
sama sekali sehingga tidak mesti diikuti. Hukumnya adalah boleh selama
tidak ada unsur lain yang membawanya kepada hal-hal yang dilarang oleh agama
seperti israf (berlebih-lebihan) -sebagaimana yang diisyaratkan oleh
ayat ke-31 Surah al-A’raf-, tabzir (mubazir) –sebagaimana yang
disebutkan dalam Surah al-Isra ayat ke-26-27, serta keyakinan bahwa batu
tersebut bisa mendatangkan keberuntungan-keberuntungan tertentu, karena hal
tersebut berpotensi merusak akidah seorang muslim. Wallahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon kritik dan sarannya.!