Rasa kantuk
merupakan naluri alamiah yang dialami oleh hampir seluruh manusia. Naluri
tersebut bisa datang kapanpun, baik di siang maupun di malam hari. Tidak jarang
juga rasa kantuk datang di saat seseorang tengah asyik menjalankan aktivitas
kesehariannya seperti bersekolah, bekerja, mengajar dan lain sebagainya. Penyebabnya
pun juga beragam, ada yang karena kecapekan sehabis bekerja, karena habis
berolahraga, ataupun di saat sedang membaca buku. Persoalannya agak sedikit nyelimet
ketika rasa kantuk tersebut mendera di saat seseorang akan melaksanakan ibadah
salat. Lantas apa yang seharusnya ia lakukan.?
Imam al-Bukhari
meriwatkan sebuah hadis yang bersumber dari Sayyidah Aisyah di mana beliau mendengar
Rasulullah Saw menyebutkan bahwa seandainya salah seorang di antara kalian
didera oleh rasa kantuk, sementara ia hendak melaksanakan salat, maka sebaiknya
ia tidur terlebih dahulu hingga rasa kantuknya hilang, karena ketika seseorang
salat dalam kondisi mengantuk, bisa jadi ia tidak sadar ketika berdoa, (sehingga
dikhawatirkan) malahan mencela dirinya sendiri. Sementara itu Imam Muslim
meriwatkan hadis senada, akan tetapi bersumber dari Saydina Abu Hurairah di
mana Rasulullah Saw bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian salat
malam, lalu bacaan al-Qur’an-nya menjadi tidak karu-karuan (lantaran
mengantuk), maka hendaklah ia tidur terlebih dahulu!”.
Konteks hadis ini sebenarnya berbicara tentang larangan untuk berlebih-lebihan
dalam beribadah (salat malam), dalam artian setelah salat beberapa rakaat di
tengah malam, berzikir, membaca al-Qur’an, lalu rasa kantuk datang menyerang,
maka seseorang dianjurkan untuk tidur terlebih dahulu sekedar untuk
menghilangkan rasa kantuknya. Namun Imam Nawawi dalam Syarh Muslim-nya
menggarisbawahi bahwa anjuran tersebut bersifat umum, baik untuk salat fardu
maupun sunat di malam ataupun di siang hari, jika sangat mengantuk maka orang
yang bersangkutan dianjurkan untuk tidur terlebih dahulu.
Hal ini dimaksudkan hanya untuk menjaga kualitas salat agar tidak dirusak
oleh hal-hal yang membuat pelaksanaannya menjadi kurang khidmat dan khusyuk,
karena substansi salat pada dasarnya adalah munculnya rasa tenang, fokus, dan
khusyuk di dalam hati. Poin ini akan sulit diperoleh oleh seseorang manakala
ia salat dalam kondisi mengantuk. Hal senada juga diingatkan oleh Rasulullah
dalam hadisnya yang lain sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa
ketika azan sudah berkumandang, sementara makanan sudah terlanjur dihidangkan
maka seseorang dianjurkan untuk makan terlebih dahulu, agar hasrat untuk makan
tidak menganggu konsentrasinya dalam melaksanakan salat.
Hal inilah yang kemudian mendorong sikap Saydina Ibn Umar,
sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari Syarh Shahih Bukhari yang
bersumber dari Nafi’, tetap meneruskan makannya tatkala iqamat salat sudah
dikumandangkan serta imam sudah memulai bacaan salat. Begitu juga sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Ibn Hibban bahwa Imam Nafi’ pernah suatu kali menemui Saydina Ibn Umar
ketika beliau hendak menjalankan salat Magrib. Kebetulan pada saat itu Imam
Nafi’ membawakan hidangan berbuka puasa untuk beliau. Namun tiba-tiba iqamat
salat pun berkumandang, akan tetapi Saydina Umar tetap melanjutkan makannya
sampai selesai dan setelah itu baru melaksanakan salat.
Menariknya
terkait persoalan khusyuk yang menjadi substansi ibadah salat ini dipahami
secara “radikal” oleh Imam al-Ghazali. Beliau menyebutkan bahwa apabila khusyuk
sulit diperoleh oleh seseorang dalam salat berjamaah, maka salat sendirian
(tapi khusyuk) lebih baik ketimbang salat berjamaah, meskipun pendapat ini
harus dipahami secara khusus dan dari sudut pandang yang berbeda (sebut tasawuf).
Pendapat al-Ghazali ini dikritik oleh beberapa ulama lain yang memahami bahwa
mendahulukan salat jamaah jauh lebih baik ketimbang mengejar derajat khusyuk
yang notabenenya bersifat anjuran dan abstrak, sementara perintah untuk salat
jamaah ditemukan hampir di banyak riwayat dalam hadis-hadis Nabi.
Perlu digarisbawahi juga terkait kebolehan mendahulukan tidur di
saat sangat mengantuk atau makan di saat sedang sangat lapar daripada ibadah
salat hanya diperbolehkan manakala pelaksanaan salat tersebut tidak keluar dari
waktunya. Dengan demikian, ketika waktu salat sudah sempit (hampir habis),
sementara rasa kantuk mendera serta rasa lapar menghadang misalnya, maka tetap
saja seseorang dianjurkan untuk salat terlebih dahulu untuk menghormati waktu
salat, meskipun dengan kondisi yang sangat berat dan dilematis. Kesimpulan
tulisan ini adalah memang agama Islam merupakan agama yang sangat toleran,
namun ia tidak untuk dipermudah-mudah ataupun bahkan disepelekan sama sekali. Allahu
A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon kritik dan sarannya.!