Pada minggu yang lalu,
kita sudah masuk ke bahasan awal fenomena terjadinya pertentangan antara
putusan seorang hakim dengan fatwa mufti dalam sebuah permasalahan
tertentu. Setidaknya kita sudah mendapatkan sebuah kesimpulan sementara
bahwa pertentangan antara keduanya adalah sesuatu hal yang mungkin
terjadi, meskipun dalam kaedah asal sebuah putusan hakim mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat (ilzam), berbeda dengan fatwa yang hanya
sebatas ikhbar (informasi) semata, sehingga ia tidak bisa dianulir oleh
ijtihad yang lain.
Hal serupa juga pernah terjadi di negara ini beberapa tahun yang lalu ketika MK (Mahkamah Konstitusi) dan MUI (Majelis Ulama Indonesia) berbeda pandangan dalam persoalan bolehnya menisbatkan status anak zina kepada ayahnya. MK dengan segala pertimbangan yang ada memutuskan bahwa anak hasil perzinaan dapat saja dinisbatkan secara legal formal kepada ayah biologisnya. Hal ini dibantah keras oleh MUI yang menyebutkan bahwa penisbatan anak hanya bisa dihubungkan kepada ayah biologisnya manakala ayah dan ibunya sudah menikah secara resmi dan sah.
Hal serupa juga pernah terjadi di negara ini beberapa tahun yang lalu ketika MK (Mahkamah Konstitusi) dan MUI (Majelis Ulama Indonesia) berbeda pandangan dalam persoalan bolehnya menisbatkan status anak zina kepada ayahnya. MK dengan segala pertimbangan yang ada memutuskan bahwa anak hasil perzinaan dapat saja dinisbatkan secara legal formal kepada ayah biologisnya. Hal ini dibantah keras oleh MUI yang menyebutkan bahwa penisbatan anak hanya bisa dihubungkan kepada ayah biologisnya manakala ayah dan ibunya sudah menikah secara resmi dan sah.