Nama Buku : Wacana Ideologi Negara Islam.
Pengarang : Al-Chaidar.
Harga Buku : 10.000 Rupiah.
Buku dengan judul Wacana Ideologi Negara Islam karangan Al-Chaidar[1] ini pada dasarkan sangat menarik untuk dibaca. Pengarangnya mencoba untuk mengilustrasikan wacana pembentukan negara Islam yang pada saat ini masih menjadi bahan sorotan serta menjadi ajang perdebatan antara mereka yang pro dengan wacana tersebut dengan mereka yang kontra. Perdebatan itu bergerak ibarat bola salju yang semakin lama semakin membesar tanpa adanya titik temu yang jelas antara keduanya. Bagi pihak yang mendukung mereka beralasan bahwa penegakan Negara Islam Indonesia merupakan suatu hal yang sangat mungkin sekali, bahkan sangat mudah mengingat mayoritas warga Negara Indonesia adalah beragama Islam.
Disamping itu mereka juga mengajukan alasan bahwa perealisasian hukum-hukum islam dalam sebuah Negara itu wajib hukumnya berdasarkan dalil-dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan Sunnah sendiri, sehingga mengingkari hal itu menurut mereka adalah suatu pengingkaran terhadap agama yang bisa mengakibatkan kefasikan pelakunya. Faham seperti ini biasanya muncul dari kalangan muslim konservatif yang terkadang sebagian mereka beraliran radikal yang cendrung menyebarkan ideologinya dengan jalan kekerasan. Sehingga golongan islam yang beraliran kiri atau modern sering mencela kelompok ini sebagai kelompok perusak cintra Islam di mata internasional dan barat.
Sementara itu bagi mereka yang menolak berasumsi bahwa penegakan syariat Islam di Negara Indonesia pada hari ini adalah suatu hal yang imposible alias mustahil, ibarat kata pepatah “jauh panggang dari api”. Sebagaimana diketahui bahwa Negara Indonesia terdiri dari berbagai macam corak keagamaan, bermacam-macam suku, beraneka ragam ras, kasta serta adat istiadat yang sulit untuk disatukan. Dalam bahasa lain bisa disebut bahwa Negara Indonesia itu adalah Negara yang bersifat kompleks, majemuk, dan multicultural yang sulit untuk disatukan dengan satu ideology tertentu. Kemudian disisi lain pemaksaan penegakan hukum Islam itu tidak juga akan membuahkan kedamaian sebagaimana yang diidam-idamkan, bahkan sebaliknya malahan akan menimbulkan mafsadat (kehancuran) yang lebih besar dibandingkan dengan manfaatnya.
Sebagai contoh kecil seandainya di Negara ini diterapkan hukum Islam secara menyeluruh, maka hal ini akan menimbulkan pertikaian dan pemberontakan dari kalangan agama lain yang merasa haknya ditindas sebagai warga Negara. Kemudian disisi lain seandainya Islam dijadikan sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh kalangan konservatif yaitu mewujudkan sistem khilafah islamiyah di bumi Indonesia maka pertanyaannya kelompok islam manakah yang akan diangkat sebagai khalifah yang bisa dan mampu menaungi seluruh kepentingan warganya tanpa terpengaruh dengan ideology pribadinya. Karena sebagaimana dimaklumi pada saat ini Islam mempunyai aliran yang sangat banyak sekali, sehingga seandainya salah satu golongan menduduki jabatan sebagai khalifah, maka sudah barang tentu dia akan menjalankan pemerintahannya secara otoriter yaitu dengan melarang seluruh aliran lain yang tidak sama dengan madzhab/ideologinya dan ini adalah suatu jalan terbesar menuju kehancuran persatuan sebagaimana yang dikhawatirkan kalangan kiri Islam. Kemudian pertanyaan selanjutnya mungkinkah kesetaraan dan keadilan akan diperoleh dengan system yang seperti itu.
Disamping itu perlu juga direnungkan perjuangan kaum nasionalis muslim pada saat pembentukan dasar Negara Indonesia, yaitu perdebatan sengit dan melelahkan yang terjadi antara mereka yang diwakili oleh Muhammad Natsir dengan para perumus dasar Negara yang lain seperti Suekarno yang beraliran nasionalis sekuler. Para tokoh nasionalis muslim menyuarakan suara aspirasi Islam sebagai dasar Negara bagi Indonesia merdeka. Mereka beralasan lantaran mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam pada saat itu. Namun usulan tersebut ditentang oleh kalangan nasionalis sekuler yang mengajukan konsep Negara sekuler. Mereka beralasan dengan kemajemukan Negara Indonesia dan perasaan senasib melawan penjajah akan menghalangi sulitnya menerapkan hukum islam dinegara ini, bahkan kalau dipaksakan mungkin saja akan menimbulkan pemberontakan dari pihak-pihak yang tidak setuju dengan hal itu. Kekhawatiran itu berupa bisa saja mereka mewujudkannya dengan cara mendirikan Negara sendiri dengan memisahkan diri dari NKRI.
Setelah perdebatan panjang itu, para nasionalis muslim akhirnya bersedia untuk tidak memaksakan kehendak mereka menjadikan Islam sebagai dasar Negara. Hal itu mereka lakukan semata-mata hanya untuk menjaga persatuan dan kesatuan dalam rangka meraih kemerdekaan bangsa. Akan tetapi dengan catatan Negara menjamin dijalankannya syariat Islam bagi pemeluk Islam Indonesia. Peristiwa lazim dikenal dengan nama The Gentlemen Agreement yang tertuang dalam piagam Jakarta/ Jakarta Charter[2]. Sebagai kesimpulan dari sekelumit kisah diatas adalah penerapan syariah Islam di Negara majemuk seperti Indonesia ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Sedangkan pada awal pembentukan Negara saja sudah terjadi kesulitan dengan alasan kemajemukan penduduk Indonesia, padahal pada waktu itu perbedaan belumlah sebanyak sekarang, apalagi dizaman sekarang yang pada setiap satu persoalan saja begitu banyak madzhab atau pendapat-pendapat yang berbeda dalam menanggapinya.
Diakhir resume ini penulis akan mengutipkan sebuah pendapat yang pernah diungkapkan oleh Amien Rais ketika diwawancarai dalam buku Tidak ada Negara Islam. Beliau mengatakan “yang paling penting adalah menjalankan etos agama dan tindakan amal dalam kehidupan sehari-hari, menegakkan keadilan social, dan memperjuangkan masyarakat egaliter dalam suatu tatanan social yang selaras dengan kede moral dan nilai-nilai Islam. Begitu juga dengan konsep sebuah Negara, tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist. Terlebih kensep sebuah Negara Islam harus dilihat dari tatanan masyarakatnya, apakah menyatu antara tindakan dengan pernyataan. Sebagai contoh Negara Arab Saudi sekalipun masih diragukan sebagai Negara yang merepresentasikan Negara Islam didunia, karena pada dasarnya system kerajaan itu bukanlah system khilafah Islamiyah sebagaimana yang terdapat pada masa Rasul”.[3]
Akhirnya, penulis hanya bisa menghimbau kepada segenap saudara sebangsa dan setanah air. Negara Indonesia yang kita dapati sekarang adalah negara yang sudah utuh dengan kemajemukan budaya serta idiologinya. Dan sebagaimana yang kita ketahui Pancasila telah menyatukan semua perbedaan itu. Jadi alangkah baiknya kita meneruskan budaya yang telah mapan ini, dengan meredam ego masing-masing demi persatuan dan kesatuan bangsa. Tidak ada hal yang lebih indah melainkan persatuan dan dengan persatuan itulah rido tuhan dapat kita peroleh demi kebahagian yang abadi baik di dunia ataupun akhirat. Semoga bermanfaat.
[1] Al-Chaidar, Wacana Ideologi Negara Islam, Jakarta.
[2] A. Ubaidillah dan Abdul Rozak, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, Cetakan ke-3, 2008, hal 98.
[3] Agus Edi Santoso, Surat-surat politik Nurcholish Madjid – Muhammad Roem masalah Tidak Ada Negara Islam, Jakarta, Katalog Dalam Terbitan, Cetakan ke-3 2004, hal xxiii.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon kritik dan sarannya.!