Berawal dari rasa penasaran.
Setelah membaca beberapa halaman buku “fiqih sosial” buah pikiran Kiai Sahal Mahfudz (seorang ulama yang berasal dari daerah Kajen, Kec. Margoyoso, Kab. Pati Jateng), penulis merasakan suatu nuansa yang berbeda dari biasanya. Yaitu adanya semangat baru untuk bisa meningkatkan dan merubah image pesantren yang selama ini dinilai oleh segelintir orang sebagai tempat orang-orang yang ortodok, tradisional, berfikiran sempit serta berwawasan dan pengetahuan sosial yang kurang memadai menjadi suatu tempat “produksi” para penggagas pembaharuan dan pemberi sumbangsih serta manfaat terhadap kemanusian sebagaimana yang telah dibuktikan oleh para ulama/kiai pada masa lalu. Sehingga pesantren sekarang tidak hanya dipahami sebagai suatu lembaga yang hanya berbicara mengenai kehidupan akhirat saja, tanpa mau tau dengan kondisi sosial masyarakat dan perubahan zaman yang ada disekelilingnya.
Buku yang ditulis oleh murid langsung Mbah Sahal itu (Mbah merupakan panggilan penghormatan bagi ulama-ulama sepuh Jawa, tapi terkadang dipakaikan juga untuk orang tua biasa) setidaknya telah membuktikan bahwa tidak semua orang yang berlatarbelakang pesantren itu adalah orang yang ortodok dan berfikiran sempit sebagaimana yang diasumsikan diatas. Bahkan sebaliknya sangat banyak dinegeri ini kita temui para revolusioner dan para pemikir ulung yang sanggup merubah dunia dengan pikiran ala pesantren yang ia miliki. Nah salah satu diantara mereka adalah seorang Kiai kenamaan yang bernama Kiai Ahmad Sahal Mahfudz. Seorang ulama sekaligus ilmuan yang sangat tabahhur ilmunya dan sangat luas wawasannya.
Beliau sekarang menjabat sebagai raisul al-amm PBNU dan juga pernah menjadi ketua umum MUI pusat beberapa tahun yang lalu. Disamping itu dalam kesehariannya beliau juga menjadi khadim ma’had Islami Maslaku al-Huda dan Pimpinan Madrasah Islami Mathaali’ul Falah yang bertempat didaerah kelahiran beliau sendiri yaitu Desa Kajen, Margoyoso, Jateng. Hal ini sebagaimana diutarakan langsung oleh murid-murid beliau yang salah satunya penulis buku kumpulan pikiran fiqih sosial beliau yang bernama Jamal Makmur Asmani dan juga terdapat diawal kitab karya beliau yang berjudul “al-Bayaanu al-Mulamma’ a’n Alfaadzi al-Luma” ta’liqat dari kitab al-Luma’ karya Abu Ishaq al-Syairadzi (sebuah hasyiyah lengkap yang ditulis oleh Mbah Sahal pada saat beliau masih berstatus sebagai santri dan mempunyai silsilah sanad yang bersambung sampai kepengarang kitab melalui jalur guru beliau yang bernama Syekh Muhammad Yasin bin I’sa al-Fadani).
Kalau dilihat dari silsilah keturunan, Mbah Sahal termasuk keturunan ulama. Karena nasab beliau sampai dan bersambung kepada Syekh Mutamakkin (seorang alim besar dan juga keramat), penyebar Islam pertama kali di daerah Kajen tersebut. Ayah beliau bernama Syekh Mahfudz bin Abdus Salam yang juga seorang ulama pengarang matan Faraaid al-I’rab, akan tetapi wafat pada masa penjajahan Jepang yang pada saat itu sampai kedaerah tersebut, yakni pada tahun 1944. Konon kabarnya menurut kesaksian salah seorang alumni Mathaliul Falah yang penulis dengar sendiri, maqam Syekh Mahfudz sampai sekarang tidak diketahui kecuali oleh beberapa orang saja yang juga tidak boleh disebutkan, lantaran adanya wasiat dari al-marhum supaya kuburan beliau tidak dikultuskan oleh mereka yang tidak faham dengan agama.
Setelah itu Kiai Sahal diasuh oleh dua orang paman beliau yang bernama Syekh Ali Mukhtar dan Syekh al-Haamil A’bdullah Salam yang wafat pada tahun 2001 yang lalu. Kemudian setelah menguasai ilmu-ilmu dasar keislaman (bahkan beliau hafal al-Qur’an sebelum berumur 7 tahun sebagaimana diungkapkan oleh Nidzaamuddin Zaini, penulis profil beliau diawal kitab al-Bayaanul Mulamma’), beliau melanjutkan pendidikannya di Madrasah Islam Mathaali’ul Falah (yang dirintis oleh kakek beliau yang bernama Syekh al-Haamil Abdus Salam bin Abdullah) pada tingkat MI yaitu tahun 1943 dan melanjutkan tingkat Tsanawiyyah di almamater yang sama, sehingga beliau tamat dari madrasah itu dengan baik pada tahun 1953.
Mbah Sahal adalah seorang pribadi yang tidak mudah puas dengan satu macam ilmu. Sehingga beliau termasuk orang yang tidak mendiskriminasi ilmu yang akan beliau pelajari. Beliau melahap seluruh ilmu-ilmu keislaman seperti yang biasa diajarkan di pesantren seperti ilmu fiqh, Ushul Fiqh, Balaghah, Mantiq, Hadist, dan ilmu-ilmu yang lain, serta beliau juga tidak mau kalah dengan ilmu-ilmu umum dan sosial seperti bahasa Inggris, ilmu Politik dan Perdagangan, serta ilmu sosial dan kemasyarakatan lainnya. Karena menurut beliau semua ilmu itu tidak ada yang sia-sia, bahkan akan membantu dalam memahami ilmu-ilmu keagamaan dan sangat berperan penting dalam menyelaraskan ajaran islam dengan daerah/tempat Islam itu hadir dan dikembangkan. Setelah menamatkan pendidikannya di Kajen, beliau mengembara ke berbagai daerah di pulau Jawa untuk memperkaya ilmu-ilmu keagamaan dan wawasan intelektualnya, bahkan beliau sempat bertalaqqi (bertemu) langsung secara face to face dengan Syekh allaamah al-Musnid Muhammad Yasin bin I’sa al-Faadani al-Makki dan mendapatkan ijazah beberapa kitab dari beliau.
Kemudian satu hal yang seringkali membuat penulis salut dan penasaran dengan sosok ulama yang satu ini adalah kecerdasan beliau dalam menuntut ilmu dan kekuatan hafalan dalam petualangan intelektualnya. Beliau adalah seorang ulama yang sangat pandai dalam membagi waktu, sehingga tak sedikitpun waktu yang terbuang sia-sia dalam kehidupan Mbah Sahal. Selain rajin menela’ah kitab-kitab kuning, baik yang besar maupun yang standar, beliau ternyata juga seorang yang sangat produktif dalam menulis. Hal ini terbukti dengan banyaknya buku karangan beliau, baik yang berbahasa Indonesia maupun dalam bahasa Arab. Hal ini mengingatkan penulis kepada sosok ulama Minang yang sangat terkenal didaerahnya dan juga mempunyai belasan karangan, yaitu Maulana Syekh Sulaiman al-Rasuli (seorang pembaharu dan pencetus persatuan Tarbiyyah Islamiyyah serta juga pendiri Madrasah Tarbiyah Islamiyah Canduang, Agam, Sumbar yang mana penulis sempat mondok disana lebih kurang 7 tahun lamanya). Beliau juga telah berhasil mengubah kehidupan dan tatanan sosial daerah Minang pada tahun 1928-an sehingga menjadi daerah yang terkenal dengan adat istiadatnya yang bernilai tinggi dengan petuah “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Syara’ mangato, adaik mamakai”.
Diantara karangan-karangan Mbah Sahal yang beliau tulis selama hidupnya hingga sekarang adalah sebagai berikut :
- Thariqatu al-Hushul a’la Ghaayati al-Wushul dalam bidang Ushul Fiqh.
- al-Bayaanu al-Mulamma’ a’n Alfaadzi al-Luma’, juga dalam bidang Ushul Fiqh.
- Faidhu al-Haja a’la Naili al-Raja’, nazham kitab Safiinah al-Naja dalam bidang Fiqh.
- al-Faraaid al-A’jiibah fii Bayaani al-I’raabi al-Gharbiyyah, dalam bidang Nahu.
- al-Fawaaid al-Najiibah syarah al-Faraaid al-A’jiibah, juga dalam bidang Nahu.
- Lum’ah al-Himmah ila al-Musalsalaati al-Muhimmah, dalam bidang Hadist.
- Al-Tsamaraatu al-Haajiiniyyah fii Ishthilaahaati al-Fuqahaai al-Syafiiyyaati, dalam bidang Fiqh.
- Intifaakh al-Wadijaini fii Ikhtilaafi U’lamaai Kajen Haula al-Bai’I bi al-Dzujaajaini.
- Beliau juga mempunyai satu buku terjemahan yang dikerjakan bersama Kiai Mushtafa Bisri (Wakil ketua umum PBNU hingga sekarang) dengan judul “Ensikplopedi Ijma’ terjemahan dari kitab “al-Mausuah al-Ijma’.
- Nuansa Fiqh Sosial.
- Dialog dengan Kiai Sahal.
- Pesantren Mencari Ma’na.
Begitulah selintas biografi Mbah Sahal yang penulis dapatkan dari beberapa sumber bacaan. Kalau dilihat secara seksama, bagi mereka yang belum pernah melihat dan mengecap ilmu secara langsung dari beliau pasti akan merasa sangat penasaran. Pertanyaan yang mungkin akan timbul dibenak mereka adalah bagaimana bisa seorang yang hanya mengecap pendidikan ala pesantren serta tidak pernah menempuh jenjang universitas, akan tetapi bisa menelorkan percikan pemikiran yang luar biasa bak pemikir-pemikir ulung kelas dunia, terlebih buat kemanusian sebagai sasaran dan objek kajian syariat Islam itu sendiri.
Beliau telah berhasil mengawinkan tradisi fiqih klasik yang selama ini dipahami secara literal dan tekstual oleh kebanyakan ulama tradisional dengan isu-isu kontemporer yang menghendaki adanya ketetapan hukum dengan segera. Beliau menurut penulis telah berhasil mewujudkan prinsip “al-muhaafadzah bi al-qadiimi al-shaalih, wa al-akhdzu bi al-jadiidi al-ashlah” yang selama ini menjadi cita-cita penulis secara pribadi. Fatwa-fatwa beliau terasa hidup, humanis, dan selaras dengan tuntutan kehidupan di era kontemporer sekarang. Sehingga tidak berlebihan kiranya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menganugerahi beliau dengan gelar doctor honoris causa berkat prestasi luar biasa yang telah beliau torehkan itu.
Pada tanggal 7 Ramadhon kemaren sempat beredar kabar yang mengatakan beliau wafat, karena memang sejak tanggal 3 Ramadhon pengajian kitab al-Bayaanu al-Mulamma’ yang beliau bacakan setiap harinya diliburkan, berhubung lantaran beliau kurang sehat dan bahkan menurut kabar yang penulis terima beliau sempat dirawat di rumah sakit. Akan tetapi kabar kewafatan beliau itu telah ditepis langsung oleh Kang Said Aqil ketua umum PBNU dan mengatakan bahwa informasi itu adalah tidak benar dan sakit beliau juga sudah beransur-ansur pulih. Berita tersebut sempat tersebar luas keseluruh daerah Jawa seperti Pekalongan, Ciputat, Tasik, dan bahkan ada yang bilang keseluruh daerah di Indonesia.
Hal serupa juga pernah terjadi beberapa tahun yang lalu, yaitu ketika Kiai Idris Masduqi pimpinan Ponpes Lirboyo Kediri juga dikabarkan meninggal dunia, padahal beliau cuman sekedar sakit biasa dan Mbah Maimun Zubair pengasuh pondok pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, Jateng. Tapi setelah diverifikasi ternyata beliau masih dalam keadaan sehat wal afiyat hingga sekarang. Semoga saja hal itu menjadi pertanda bahwa Allah akan memanjangkan umur mereka, sehingga pada saat mereka benar-benar wafat nantinya, akan muncul benih-benih baru penerus perjuangan mereka dalam kancah keilmuan khususnya ilmu kitab kuning yang menjadi warisan intelektual ulama-ulama Islam sejak berabad-abad lamanya. Semoga saja…amien.!!
Gayung bersambut.
Setelah berada dalam rasa penasaran yang cukup “akut”, akhirnya penulis mendapatkan jalan untuk bisa bertemu langsung dengan sang ulama nusantara itu. Beberapa hari sebelum memasuki bulan suci Ramadhon tahun ini, penulis diajak oleh seorang teman pondok (Darussunnah) untuk ikut ngaji pasaran ke pondok Mbah Sahal di Kajen, Margoyoso, Kab. Pati, Jateng. Mendengar ajakan itu, penulis merasa sangat senang sekali, mungkin ini adalah jawaban dari rasa penasaran yang sudah lama penulis rasakan, namun terkendala dengan teknis dan teman untuk pergi kesana. Karena ajakan itu sesuai dengan hasrat yang ada dihati, maka ajakan itupun langsung penulis perkenankan. Kemudian kamipun bermusyawarah untuk menentukan jadwal keberangkatan, teknis perjalanan, tempat penginapan selama disana, kitab yang mau dipelajari, dan hal-hal lain yang terkait dengan rencana tersebut. Setelah berbincang beberapa saat, akhirnya kami putuskan untuk berangkat kesana pada tanggal 30 Juli 2011 atau 2 hari menjelang Ramadhon 1432 H ini. Sementara itu kitab-kitab yang akan dibaca dalam ngaji posonan kali ini sebagaimana yang diinformasikan oleh salah seorang teman adalah sebagai berikut :
- Kitab al-Bayaanu al-Mulamma’ a’n Alfaadzi al-Luma’ karangan Kiai Sahal dan disampaikan langsung oleh beliau sendiri.
- Kitab Mukhtaar al-Ahaadist an-Nabawiyyah karya al-Marhum Sayyid Ahmad al-Hasyimi Bek dan disampaikan oleh KH. Ahmad Syaifurrahman.
- Kitab Risalah al-Mu’awanah karya Sayyid al-Syarif Abdullah bin A’lawi bin Muhammad al-Haddad al-Husaini dan disampaikan oleh KH. Ahmad Yasir.
- Kitab Tarekh Tasyri’ al-Islami karya al-Marhum Syekh Muhammad Khudhori Bek dan disampaikan oleh KH. Umar Faruq.
- Kitab Faidhu al-Kabir karya Sayyid A’lawi bin Sayyid A’bbas al-Maliki dan disampaikan oleh KH. Ahmad Syafiuddin.
Namun disamping itu sebenarnya penulis mendapat tantangan yang lumayan berarti sebelum berangkat. Sebagaimana yang diketahui bahwa ngaji posonan (ada juga sebagian teman menyebutnya dengan ngaji kilatan karena para kiai yang bertugas dalam pengajian tersebut, membacakan kitab sekaligus terjemahannya dengan cepat tanpa memberikan keterangan secara panjang lebar sebagaimana dalam pengajian sehari-hari dan ngaji pasaran karena waktu pengajian yang hanya diadakan pada Bulan Ramadhon saja/temporal) biasanya dipimpin oleh seorang kiai dengan menggunakan bahasa Jawa sebagai lahan terjemahannya. Padahal penulis bisa dikatakan sangat buta dengan bahasa Jawa dan belum pernah belajar bahasa itu secara intensif sebelumnya.
Apalagi disamping menguasai Jawa, kita juga dituntut tahu dan kenal dengan istilah-istilah khusus yang dalam bahasa Jawa disebut dengan “ma’na gandul” (kalau di pondok penulis MTI Canduang dikenal dengan istilah ma’na I’rab seperti kata sebermula untuk menunjukkan I’rab mubtada, baalah sebermula untuk khabar, yang untuk na’at dan seterusnya. Salah seorang guru penulis yang telah berjasa besar dalam bidang ini bernama Ust Luqman Rahimahullah) yang membantu untuk mengenal I’rab suatu kalimat serta menuliskan ma’na-ma’na mufradat yang dibaca oleh kiai dibagian bawah matan kitab yang dibaca (tapi hal ini tidak biasa dilakukan di pondok penulis, karena dianggap bisa melalaikan santri dalam menghafal mufradat. Akan tetapi hal itu dibolehkan manakala dicatat dalam buku khusus mufradat).
System “ma’na gandul” ini menurut KH. Ridwan Qayyum Said penulis buku Rahasia Sukses Fuqaha mengatakan tidak diketahui siapa pencetus ide tersebut, namun konon kata sebagian pendapat, orang yang pertama kali memunculkan rumusan tersebut adalah Kanjeng Sunan Ampel. Metode inilah yang beliau pakai ketika mengajar santri-santrinya di Pesantren “Ngampel Dento” kemudian metode ini disebarluaskan oleh para murid-murid beliau kesegenap penjuru Jawa, Sumatera, Madura, dan daerah-daerah lainnya. Suatu terobosan luar biasa yang sangat besar manfaatnya dalam ranah pembelajaran kitab kuning. Adapun istilah yang dipakai dipondok penulis hampir sebagian besarnya sama dengan istilah diatas, namun lebih sedikit dan tidak disertai dengan lambang penulisan.
Akan tetapi semua kendala tersebut penulis kesampingkan demi bisa melihat langsung sosok sang kiai yang sangat penulis kagumi itu, walaupun hanya sekedar berjabat tangan dengan beliau. Penulis niatkan perjalanan ini sebagai penyemangat diri untuk lebih menghargai tradisi nusantara dan mudah-mudahan kegiatan ini bisa menjadi pengantar keberhasilan penulis pada masa-masa yang akan datang sebagai penerus beliau, Amien ya rabb. Dan InsyaAllah dalam tulisan sederhana ini nantinya akan penulis lengkapi dengan pembahasan khusus mengenai kelebihan dan kekurangan pesantren-pesantren Jawa dibanding pesantren-pesantren Sumatera, khususnya MTI Canduang. Semuanya penulis tujukan hanya sebagai perbandingan semata-mata dan oleh-oleh penulis buat pesantren tercinta. Dan bukan berarti penulis menganggap seluruh system yang dipakai di Sumatera sana adalah kuno dan ketinggalan zaman dari sudut pandang kepesantrenan, sehingga yang dibutuhkan disini hanyalah take and give kebudayaan serta akulturasi yang bernilai positif demi kemashlahatan pesantren pada masa yang akan datang. Jadi penulis sangat berharap bisa menyumbangkan sedikit ide dengan pengalaman penulis selama mengikuti ngaji pasaran di Pesantren Maslakul Huda Kajen, Kec. Margoyoso, Kab. Pati, Jateng yang diasuh langsung oleh Kiai Ahmad Sahal Mahfudz tersebut.
Bersambung...!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon kritik dan sarannya.!