Perjalanan menuju ke Kajen.
Setelah perencanaan matang, akhirnya rencana untuk ikut ngaji pasaran terealisasi juga. Penulis berangkat kesana dengan seorang teman yang bernama Ibnu Harist dengan sebuah bus Harianto dengan ongkos sekitar 140.000 rupiah. Dengan diantar oleh mobil pribadi keluarga Harist ke terminal bus Lebak Bulus, penulis awali perjalanan itu dengan menyimpan segudang rasa penasaran di hati. Semoga saja natinya penasaran yang penulis rasakan dapat terobati setelah mengikuti ngaji pasaran tersebut. Amien..!! Perjalanan ke Pati menghabiskan waktu kurang lebih 12 jam yaitu dari jam 5 sore sampai jam 5 subuh dengan melewati berbagai kota-kota besar di sepanjang daerah Jawa Tengah seperti Karawang, Cikampek, Subang, Indramayu, Cerebon, Glosari, Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Semarang, Waleri, Demak, dan Kudus, hingga akhirnya sampai di Kabupaten Pati tempat tujuan penulis.
Perjalanan tersebut cukup menyenangkan, akan tetapi penulis tidak begitu bisa menikmati perjalanan dengan bebas lantaran gelap (karena penulis berangkat pada malam hari) serta hawa dingin yang menusuk kedalam sumsum tulang penulis, akibat AC bus Harianto yang dinyalakan secara berlebihan oleh sopir bus. Malam itu penulis lewati dengan jaket dan balutan selimut bus yang disewakan secara gratis alias cuma-cuma oleh pihak bus. Teman penulis yang bernama Harist tersebut juga merasakan hal yang sama, namun walaupun seperti itu tetap terselib secercah rasa harap diwajah kami untuk ngelmu dengan seorang ulama yang sangat dikagumi itu.
Tepat pada jam 5 kurang sedikit, stokar bus Hariantopun menegur kami dan menyampaikan bahwa kami telah sampai ditempat tujuan yaitu di Desa Kajen Margoyoso. Kamipun turun tepat di depan Rumah Sakit Ngemplak Pati sekitar 200 meter dari Ponpes Maslakul Huda. Setelah bermusyawarah sejenak dan bertanya kepada salah seorang warga tentang alamat pasti PMH, akhirnya kami putuskan untuk langsung menuju ke pondok dan shalat subuh disana, dengan pertimbangan keamanan dan juga kondisi tubuh kami yang sudah menggigil akibat kedinginan. Perjalanan kami lanjutkan dan setelah beberapa saat pondok yang dimaksudpun kami temukan. Segala kepenatan dan kedinginan dijalanpun praktis hilang, dan kamipun melaksanakan shalat Subuh berjama’ah di mushalla PMH tersebut.
Registrasi peserta dan persiapan ngaji.
Setelah melaksanakan shalat Subuh berjamaah, kami mengamati sejenak suasana pagi di pesantren yang diberi nama PMH (Pesantren Maslakul Huda) ini. Udaranya sangat sejuk sekali diiringi oleh tiupan yang lembut dari angin pepohonan yang berada disekitar pesantren. Pesantren ini bisa dikatakan tidak terlalu besar dan bangunannyapun tidak terlalu istimewa yaitu terdiri dari sebuah bangunan yang memanjang 3 lantai untuk asrama santri, kemudian sebuah mushallah yang lumayan besar memisah gedung dengan ruang tamu pondok yang berlantai 2 yang sebagiannya juga dijadikan sebagai tempat tinggal santri. Pas didepan gedung asrama terdapat kediaman sang Khadim Ma’had yaitu Kiai Sahal Mahfudz yang lumayan agak besar dibalut dengan kilauan warna putih bersih nan indah. Matahari pagipun mulai mengintip, tanpa terasa haripun sudah semakin terang. Mulailah kami bangkit dari sudut mushalla tempat kami duduk-duduk untuk mencari informasi seputar pesantren dan program ngaji posonan yang menjadi tujuan utama kedatangan kami kesana.
Pada saat itu pondok keliatan masih sepi, karena menurut kabar yang kami peroleh seluruh santri PMH setiap Bulan Ramadhon sengaja diliburkan dan sebagai gantinya mereka dianjurkan untuk mengikuti program “ngaji posonan” yang diadakan oleh pihak pesantren. Panitianya diambilkan dari santri-santri PMH yang sudah senior, sehingga semua hal-hal yang terkait dengan pengajian seperti regestrasi peserta, penentuan tempat penginapan, pembayaran administrasi, dan lain-lainnya dihendel langsung oleh para santri. Tanpa kami sadari seorang santri lewat didepan kami, lalu kami memanggilnya kemudian bertanya perihal tempat pemondokan peserta ngaji posonan dan tempat pendaftaran serta registrasi peserta. Beberapa saat kemudian santri tersebut menjelaskan seluruh pertanyaan kami dan akhirnya tidak lama berselang kami masuk keruang tamu pesantren dan mengisi formulir pendaftaran, formolir pengambilan sanad, serta biaya pengecasan alat-alat elektronik selama berada di pesantren. Semuanya menghabiskan uang sekitar 95.000, tapi penulis telah menganggarkan dana khusus buat pengajian ini jauh-jauh hari sebelumnya, mudah-mudahan saja apa yang penulis tasharufkan itu bisa dinilai shadaqah oleh Allah SWT. Amien..!!
Disamping itu kami juga membeli beberapa kitab yang akan dibaca dalam posonan kali ini. Sebenarnya ada 5 kitab yang dibaca, namun penulis hanya membeli 4 kitab saja. Diantara kitab-kitab yang diajarkan selama pengajian ini Kitab al-Bayaanu al-Mulamma’ a’n Alfaadzi al-Luma’ karangan Kiai Sahal Mahfudz, Kitab Mukhtaar al-Ahaadist an-Nabawiyyah karya al-Marhum Sayyid Ahmad al-Hasyimi Bek, Kitab Risalah al-Mu’awanah karya Ssyyid al-Syarif Abdullah bin A’lawi bin Muhammad al-Haddad al-Husaini, Kitab Tarekh Tasyri’ al-Islami karya al-Marhum Syekh Muhammad Khudhori Bek, Kitab Faidhu al-Kabir karya Sayyid A’lawi bin Sayyid A’bbas al-Maliki. Diantara ke-5 kitab tersebut hanya 4 yang penulis ikuti yaitu selain kitab Mukhtar al-Hadist al-Nabawiyyah.
Pengajian posonan di pesantren ini dijadwalkan selama 16 sampai 17 hari saja. Yakni dimulai pada tanggal 2 Ramadhon dan diakhiri secara serentak pada malam ke-17 Ramadhon bersamaan dengan khataman al-Qur’an. Perlu diketahui bahwa kebiasaan yang sudah menjadi tradisi di Maslakul Huda adalah pelaksanaan shalat tarawih dengan 2 juz pada setiap malamnya dengan perincian tarawih dilakukan sebanyak 20 rakaat dengan 10 salam, kemudian diiringi dengan shalat witir 3 rakaat dengan 2 salam. Pelaksanaan shalat tarawih diselesaikan dalam jangka waktu yang lumayan cepat yaitu hanya 80 menit saja dengan menggunakan bacaan hadr dan dipimpin oleh 2 orang imam hafidz yang bernama Gus Rozzak dengan Gus Ismail (gus adalah panggilan akrab bagi anak-anak Kiai di Jawa, dan Neng buat anak perempuannya). Itulah sekilas informasi yang penulis dapatkan sebelum pelaksanaan ngaji posonan.
Setelah pendaftaran selesai, kami mulai beranjak menuju ruang asrama yang telah disediakan secara khusus buat seluruh peserta posonan. Kebetulan penulis ditempatkan diruangan 3-B yang terletak persis didepan mushalla pondok bersama teman-teman lainnya yang umumnya berasal dari pulau Jawa. Sepengetahuan penulis, dari sekian banyak peserta posonan yang berjumlah kurang lebih 250 orang, hanya penulislah santri yang berasal dari luar Jawa. Sehingga kekhawatiran penulis sebelum keberangkatan mengenai ketidakmampuan penulis berbahasa Jawa nampaknya akan menjadi kenyataan. Sebagian besar teman-teman kamar penulis berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Jawa, termasuk teman penulis sendiri, Harist juga ikut-ikutan berbahasa Jawa, karena dia juga pernah mondok di Pesantren Babakan Cerebon yang notabenenya juga menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantarnya. Untunglah di negara ini terdapat bahasa pemersatu yang bisa menyelamatkan penulis dari kevakuman berbahasa saat itu.hehe
Secara umum bentuk asrama Maslakul Huda hampir serupa dengan asrama penulis di Darussunnah Jakarta. hanya saja asrama disini dibagi menjadi beberapa kamar, dengan anggota satu kamarnya berjumlah 15 sampai 16 orang dan dilengkapi dengan lemari-lemari pakaian yang berjejer ditepi-tepi dinding. Asrama keliatan lumayan bersih, karena mungkin saja sebelum kedatangan para peserta posonan, para santri disini telah mengamankan barang-barang dan segala hak miliknya masing-masing. Hal itu terbukti dengan adanya selebaran yang ditempel didinding masing-masing kamar yang berisikan instruksi untuk mengosongkan kamar secepat mungkin sebelum kedatangan bulan Ramandhon.
WC dan ruangan mandi santri disinipun lumayan nyaman. Arsitektur asrama dibikin senyaman mungkin dengan fasilitas wc dan bak mandi pada masing-masing tingkatnya. Bak dibuat secara paralel untuk menghindari kemungkinan musta’malnya air, karena lebih dari dua kulah dengan kamar mandi yang berjumlah 5 buah. Adapun pengairan pondok berasal dari air sumur yang disalurkan dengan pipa-pipa besar disekeliling kamar mandi. Airnya juga putih bersih, sehingga membuat penulis dengan teman-teman yang lain merasa nyaman dan betah disana.
Berziarah ke Maqam-maqam ulama setempat.
Salah satu kegiatan yang sempat kami lakukan sebelum pengajian dimulai adalah berziarah ke maqam Mbah Mutamakkin yang tidak begitu jauh dari Ponpes Maslakul Huda. Sebagaimana yang telah penulis uraikan diatas bahwa nasab Kiai Sahal bersambung langsung hingga ke Mbah Mutamakkin, seorang ulama besar dan keramat yang menjadi icon daerah Kajen dan sekitarnya. Beliau merupakan orang yang pertana kali menyebarkan agama Islam di daerah ini, karena kebesaran beliau itu maka kuburan beliaupun tak pelak dikunjungi oleh ratusan peziarah tiap harinya. Tempat ziarah dibagi dua, satu ruangan sebelah utara khusus buat peziarah perempuan dan satu lagi disebelah selatan khusus buat peziarah laki-laki. Tempatnya sangat nyaman sekali sehingga membuat sebagian besar peziarah betah berlama-lama disana, ada yang sekedar tahlilan, ada yang tabarrukan, serta ada juga yang hanya sekedar membaca Al-Qur’an dan menghafalkannya.
Pembangunan kuburan sebesar dan selebar ini sangat jarang penulis temui di daerah Padang dan sekitarnya. Memang ada sebagian kuburan ulama Sumatera Barat yang terkenal berjasa besar terhadap masyarakat seperti kuburan Syekh Sulaiman al-Rasuli yang terletak di halaman ponpes MTI Candung tempat penulis belajar, juga dibangun, akan tetapi bangunannya tidak sebesar dan semegah kuburan-kuburan ulama disini. Hal ini mungkin saja disebabkan oleh pengaruh Wahhabi yang cukup kuat mempengaruhi tata system kehidupan masyarakat Sumatera Barat pada awal-awal abad ke-19 dahulu. Yaitu setelah kembalinya 3 orang haji yang sangat terkenal dalam sejarah perjuangan rakyat di Sumatera Barat seperti Haji Miskin, HajI Sumanik, dan Haji Piobang yang berkolaborasi dengan seorang ulama kampung yang bernama Tuanku Nan Renceh membarantas segala bentuk bid’ah, khurafat, dan tahayyul yang berkembang di Sumbar waktu itu. Salah satu diantara hal yang disitir sebagai perbuatan bid’ah dan mengundang kemusyrikan adalah membangun kuburan yang digunakan untuk ziarahan para kaum muslimin, karena menurut mereka membangun diatas kuburan adalah suatu hal yang dilarang dalam agama dan tidak pernah dicontohkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW.
Tak jauh dari maqam atau tepat dihadapan maqam berada, terdapat kios-kios dan toko-toko pakaian, busana perempuan, dan buku-buku yang terbentang disepanjang bangunan maqam. Hal ini menimbulkan kesan bahwa seolah-olah orang mati bisa memberi penghidupan terhadap mereka yang masih hidup. Selama ini penulis agak ragu dengan ungkapan tersebut, tidak masuk akal sama sekali kalau orang yang mati namun bisa menghidupi orang yang masih hidup. Kesalahan penulis pada waktu itu adalah karena terlalu tekstual dalam memahami ungkapan tersebut. Padahal maksud dari ungkapan tersebut adalah berkat kemulian dan keagungan yang diberikan Allah terhadap seorang ulama, maka dengan sendirinya manusia-manusia lain berkeinginan untuk sekedar berziarah, bertawassulan, serta berdoa di maqam ulama-ulama tersebut. Dengan harapan Allah bisa mempermudah dan mempercepat maqbul doanya dengan perantaraan ulama yang dia ziarahi. Maka secara otomatis hal tersebut mebuka keuntungan bagi para pedagang yang berada disekitar maqam tempat orang shaleh tersebut dikuburkan. Karena barangkali saja sebagian dari pengunjung tertarik dengan barang dagangan yang mereka jual di depan maqam. Kemudian hasil penjualan itu bisa menjadi lahan penghidupan bagi mereka. Inilah sebuah tradisi yang berlaku hampir diseluruh wilayah Jawa dan sekitarnya hingga sekarang.
Selain berziarah ke maqam Mbah Mutamakkin, penulis juga sempat berziarah ke maqam Mbah Dulah (paman dari Kiai Sahal Mahfudz, dan maqam Mbah Ronggo Kusomo yang juga dahulunya (kata salah seorang teman asli Kajen yang saya tanya) merupakan murid dari Mbah Mutamakkin yang sangat tabahhur ilmunya itu. Akan tetapi perbedaan antara kedua ulama besar itu adalah dibidang specialisasi keilmuan dan praktek ibadah. Mbah Mutamakkin selain beliau seorang ulama yang banyak ibadahnya namun juga sangat terkenal dengan kedalaman ilmunya. Sementara itu Mbah Ronggo Kusomo yang maqamnya terletak tidak terlalu jauh dari maqamnya Mbah Mutamakkin lebih terkenal dengan kesufian dan keabidan beliau dalam melakukan taqarrub kepada Allah SWT.
Kemudian para hari Minggu tanggal 7 Agustus karena kekosongan jadwal posonan bersama Mbah Sahal lantaran sakit yang menggerogoti fisik beliau semenjak tanggal 3 Ramadhon yang lalu, kamipun mengadakan perjalanan ke beberapa tempat yang namanya tidak begitu asing ditelinga penulis karena sering disebut oleh teman sesama santri di UIN ataupun di pesantren Darussunnah. Diantaranya adalah beberapa Pesantren yang berada di daerah Lasem, Rembang yang salah satunya ditokohi oleh Mbah Hakim dengan pondoknya yang bernama Ponpes al-Ishlah, Mbah Qayyum dengan pondoknya yang bernama Ponpes an-Nuur dan lain-lain. Kemudian pada malamnya ke beberapa pesantren yang terdapat di daerah Sarang, Rembang yang terdiri dari 3 pesantren yang sangat terkenal seperti pondok al-Anwar yang diasuh oleh Mbah Maimun Zubair dan Mbah Najih (putra Mbah Maimun Zubair), pondok MUS (Ma’had Ulum Syar’iyyah) yang diasuh oleh Mbah Said Abdurrahim, dan pondok MIS (Ma’had Islam Salafiyyah) yang diasuh oleh Gus Raghib. Kemudian terakhir pada hari Seninnya berkunjung ke pondok Raudhatu al-Thaalibin yang diasuh sendiri oleh Gusmus atau yang bernama asli Gus Mustafa Bisri (anak dari Mbah Bisri Mustafa).
Beberapa maqam yang sempat kami ziarahi dalam perjalanan itu adalah maqamnya Syekh Masduqi al-Hasyimi pendiri pondok al-Ishlah Lasem, kemudian Maqam Mbah Ma’shum dan keluarga pendiri pesantren al-Hidayah Lasem, maqam Mbah Baidhowi cucunya Mbah Ma’shum, kemudian maqam Mbah Imam Sarang serta maqamnya Mbah Zubair (orangtua Mbah Maimun Zubair) pendiri pondok al-Anwar, Sarang, dan yang terakhir maqamnya Kiai Bisri Mustafa beserta keluarga. Dalam dua hari itu kami benar-benar menikmati perjalanan, walaupun agak letih karena pengaruh cuaca dan perjalanan yang lumayan jauh, akan tetapi kami sangat senang dan terlebih penulis pribadi setidaknya bisa menyaksikan keseharian dan tradisi pondok-pondok Jawa yang secara kualitas dan management lebih unggul dari pesantren-pesantren lain yang berada diluar pulau Jawa.
Salah satu ciri umum pesantren disini adalah menfokuskan para santrinya untuk mendalami kitab-kitab kuning secara optimal dan mendalam. Hal itu mungkin karena mereka tidak dibebani dengan pelajaran yang terlalu banyak dan bercampur aduk, dalam arti kata system pesantren didaerah ini bersifat independen dan benar-benar mempunyai jadwal khusus yang terpisah dari pelajaran-pelajaran umum lainnya. Pada pagi hari hingga siangnya mereka belajar di sekolah-sekolah formal seperti tsanawiyah ataupun aliyah negeri yang berada disekitar pesantren, kemudian sehabis pulang dari sekolah formal barulah mereka pulang ke pondok mereka masing-masing. Jadi tidak heran kalau dalam satu daerah itu kita akan menemukan satu sekolah formal dengan kurikulum yang sebagiannya berasal dari depag, kemudian disekelilingnya terdapat puluhan dan bahkan ratusan pesantren dengan pengasuh/ kiai yang berbeda-beda antar pondoknya. Sehingga para santri bebas memilih untuk belajar di pesantren yang mereka sukai. Selain itu para santri diharuskan menginap/ tinggal di pesantren, hal itu dimaksudkan untuk mendidik mereka supaya bisa mandiri dan bergaul dengan sesama santri yang memungkinkan mereka untuk berdiskusi antar satu sama lain. Dan yang paling urgen lagi dengan system yang seperti itu akan memudahkan para kiai dalam memantau kegiatan santri-santrinya.
Di beberapa pondok pesantren ada yang malahan melarang santrinya untuk membawa dan menggunakan hp di lingkungan pesantren. Dan bagi mereka yang ketahuan dan didapati membawanya, maka akan dirazia dan bahkan dihancurkan sama sekali sebagaimana yang berlaku di Ponpes Al-Anwar Sarang serta Ponpes Lirboyo Kediri. Peraturan itu diberlakukan hanya untuk mendidik santri agar fokus dalam belajar dan tidak menggunakan kemajuan teknologi tersebut untuk hal-hal yang tidak berguna dan bisa melalaikan mereka dari proses belajar. Hal itu bukan berarti pesantren anti terhadap kemajuan zaman dan teknologi, serta melakukan pendidikan secara keras dan radikal terhadap santrinya, akan tetapi hanya mendidik mereka untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya. Sehingga pada akhirnya mereka akan menjadi santri-santri yang bijak dan tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif yang berasal dari kemajuan teknologi ataupun pergaulan buruk dari luar pesantren.
Hal ini sangat berbeda dengan pesantren tempat penulis belajar selama lebih kurang 7 tahun lamanya. MTI Canduang menerapkan system yang sangat berbeda dengan pondok-pondok Jawa yang telah penulis paparkan diatas. Sekolah ini menggabungkan 2 kurikulum secara sekaligus, yaitu kurikulum pesantren yang dibuat sendiri oleh pihak pondok dan kurikulum depag yang diberlakukan dalam satu waktu, yaitu pada siang hari saja. Jadi tidak heran kalau mata pelajaran kami dalam satu minggu itu berjumlah lebih kurang 34 atau lebih dengan waktu efektif belajar selama 6 hari selain hari Jum’at, karena itu merupakan gabungan dari 2 kurikulum yang berbeda. Selain itu di MTI tidak mewajibkan seluruh santrinya untuk tinggal di asrama pondok, hal itu disebabkan lantaran kebijakan dari kepala pondok sendiri dan juga karena keterbatasan bangunan asrama yang tidak memungkinkan untuk menampung seluruh santri yang berjumlah lebih kurang 750 orang itu. Mereka bebas untuk tinggal diluar sesuai keinginan mereka, akibatnya apa yang mereka lakukan diluar pondok kurang mendapatkan pengawasan dari pihak pondok. Adapun mengenai perbedaan yang mendetail antara pondok jawa dengan pondok sumatera, akan penulis sajikan dalam kolom tersendiri. InsyaAllah.
Ngaji Posonan dimulai.
Pada hari Selasa, 2 Agustus 2011 yang bertepatan dengan 2 Ramadhon 1432 hijriah, pengajian posonan di Ponpes Maslakul Huda Kajen pun dimulai. Para kiai yang telah ditunjuk dan diminta untuk membacakan kitab-kitab tertentupun mulai membaca sekaligus menerjemahkannya kedalam bahasa jawa yang fasih dan jelas. Kebetulan posonan kali ini dipusatkan di mushalla ponpes Maslakul Huda, kecuali pengajian kitab al-Bayaanu al-Mulamma’ yang dibacakan oleh Mbah Sahal Mahfudz bertempat langsung di kediaman beliau yang terletak di depan bangunan asrama pondok. Pengajian ini diikuti oleh kurang lebih 250 orang peserta yang berasal dari beberapa pesantren yang berasal dari pulau jawa dan sekitarnya. Hal itu menurut Gus Rozin (keponakan Mbah Sahal) dimaksudkan untuk memupuk tali silaturahmi antar pondok dan memberikan wawasan serta pengetahun baru bagi para santri dengan interaksi yang terjadi diantara mereka.
Namun kata beliau juga, pada beberapa tahun terakhir ini peserta ngaji posonan cendrung menurun hampir diseluruh pesantren yang ada, terlebih di Ponpes Maslakul Huda sendiri. peserta tahun ini jauh lebih sedikit dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini tak pelak menimbulkan kekhawatiran dari beliau pribadi, karena kalau hal ini terus terjadi dari tahun ketahun, bisa-bisa sedikit demi sedikit kebiasan atau tradisi ngaji posonan yang sudah mentradisi sejak berpuluh-puluh tahun lamanya itu bisa saja hilang dan lenyap sama sekali dari tradisi pesantren jawa. Dan kalau hal ini sampai terjadi, tidak bisa dibayangkan akan seperti apa nasib pesantren pada beberapa tahun yang akan datang. “Semoga saja hal itu tidak terjadi”, kata beliau dalam sebuah kata sambutannya pada saat penutupan ngaji pasaran pada tanggal 17 Ramadhon yang lalu.
Pengajian posonan kali ini mempunyai menu 5 buah kitab dengan 5 orang kiai ahli yang telah diminta khusus untuk membacakannya. Hal ini sebagaimana yang telah penulis jelaskan dalam paparan-paparan sebelumnya. Adapun jadwal pengajiannya adalah sebagai berikut : dari jam 5 subuh sampai jam 6 tepat diawali dengan pengajian Kitab Faidhu al-Kabir oleh KH. Ahmad Syafiuddin, kemudian dari jam 8 sampai jam 11 siang diisi dengan pengajian kitab al-Bayaanu al-Mulamma’ oleh Mbah Sahal Mahfudz, setelah itu dilanjutkan pada jam 1 siang sampai jam 3 sore dengan pengajian kitab Mukhtaaru al-Ahaadist oleh KH. Ahmad Syaifurrahman, lalu jam 4 sampai jam setengah 6 sore diisi dengan pengajian Kitab Risalah al-Mu’awanah oleh Ust Ahmad Yasir, serta terakhir pada jam setengah 9 malam (ba’da tarawih) sampai jam 11 malam dengan kitab Tarekh Tasyri’ Islami oleh KH. Umar Faruq. Akan tetapi dari kelima menu yang ditawarkan tidak seluruh santri mengikuti sekaligus semuanya, ada sebagian mereka yang mengikuti 2 atau 3 saja dari kitab-kitab yang telah disebutkan. Hal itu tergantung dan diserahkan kepada masing-masing santri sesuai dengan pengalaman dan kebutuhan masing-masing.
Kesulitan penulis secara pribadi adalah kekurangan kosakata bahasa Jawa yang mengakibatkan penulis sering “menganggu” teman lain untuk sekedar bertanya tentang arti sebuah kosakata bahasa Jawa. Namun tidak jarang juga musibah “ngantuk” menyerang mata penulis dan mata kawan-kawan peserta lain ditengah-tengah pengajian lantaran tidak faham dengan apa yang disampaikan kiai, sekaligus capek juga karena tidak ada jedah dan keterangan yang diberikan sang kiai mengenai topik ataupun bahasan yang tengah beliau bacakan. Itu adalah wajar, karena ngaji posonan mempunyai target hanya mengkhatamkan kitab-kitab yang dibaca dalam jangka waktu tertentu yang lumayan pendek dengan bacaan yang lumayan cepat alias “ngebut”. Hal ini sangat jauh berbeda dengan ngaji sorogan (pengajian normal yang dilakukan secara face to face antara kiai dengan santri) yang mengutamakan pemahaman selain juga khataman tentunya. Pengajian seperti ini berlangsung hingga tanggal 16 Ramadhon sebagai rutinitas tahunan Ponpes Maslakul Huda yang dikhadimi Mbah Sahal tersebut. Sebuah pengalaman yang sangat berharga, dan mudah-mudahan mengandung berkah dan rahasia tersendiri untuk penulis pada masa-masa yang akan datang. Semoga..!!
Penutupan Pengajian.
Tepat pada malam 17 Ramadhon pengajianpun berakhir dan ditutup langsung oleh Gus Rozin dengan beberapa ceremonial khas yang lumayan berkesan. Seperti penyampaian sepatah dua patah kata dari perwakilan panitia posonan dengan bahasa khas santri yang membuat para audient tertawa dibuatnya, kemudian sepatah kata dari perwakilan peserta posonan yang dalam hal ini disampaikan oleh seorang teman penulis yang bernama Ato (seorang peserta asal Indramayu) yang juga lumayan kocak, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan sanat kitab kitab al-Bayaanu al-Mulamma’ serta tausiah Nuzulul Qur’an yang disampaikan oleh Gus Rozin (yang biasanya disampaikan langsung oleh KiaI Sahal Mahfudz, namun pada tahun ini dibadali oleh keponakan beliau, karena kondisi fisik beliau yang tidak kurang sehat). Dan akhirnya baru penutupan secara resmi yang diiringi oleh tradisi makan bersama. Dengan ditutupnya acara posonan tersebut, maka berakhir pulalah kegiatan penulis selama beberapa hari di Pati, sebuah kenangan yang tidak akan terlupakan selama hidup penulis.
The End..!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon kritik dan sarannya.!