Sudah menjadi pengetahuan
dharūri di kalangan kita warga Tarbiyah Islamiyah ketika membaca
literatur fikih, khususnya dalam persoalan imāmah al-shalāh, bahwa orang
yang sah menjadi imam salat hanyalah laki-laki. Sejak dari kitab fikih terkecil
seperti Matan Abī Suja’, Fath al-Qarīb, Fath al-Mu’in, I’ānah al-Thālibīn, sampai
kepada kitab fikih yang agak besar seperti Hāsyiyah al-Qalyūbi wa ‘Umayrah
li Minhaj al-Thālibin dan lain sebagainya juga mengajarkan bahwa hanya laki-laki
yang boleh menjadi imam.
Bahkan dalam
kitab al-Umm karya Imam Syāfi’i sendiri disebutkan bahwa seandainya ada
seorang perempuan mengimami segolongan kaum yang terdiri dari laki-laki,
perempuan, dan anak laki-laki, maka salat para makmum perempuan adalah sah, sedangkan
salat para makmum laki-laki dan anak laki-laki tidak sah. Hal itu menurut Imam
Syāfi’i karena Allah Swt menjadikan laki-laki sebagai pemimpin untuk perempuan.
Selain itu, Allah Swt juga tidak menjadikan perempuan sebagai wali dan
lain-lain. Serta perempuan dalam keadaan bagaimanapun tidak boleh menjadi imam
salat untuk makmum laki-laki.
Salah satu dalil yang
digunakan oleh Imam Syāfi’i dalam hal ini adalah firman Allah Swt dalam Surah al-Nisā ayat ke-34.
Ayat tersebut secara tersurat menegaskan bahwa kaum laki-laki merupakan pelindung,
pemimpin, dan pengayom bagi perempuan. Dengan demikian, karena imam merupakan
pemimpin dalam salat maka secara otomatis ia harus laki-laki, tidak boleh
perempuan. Lebih jauh ayat ini diinterpretasikan oleh K.H. Ali Mustafa Ya’qub
sebagai ayat yang menegaskan ketidakbolehan perempuan untuk menjadi pemimpin.
Beliau
menegaskan, meskipun ayat ini berbicara tentang kepemimpinan laki-laki dalam
rumah tangga, namun perlu digarisbawahi bahwa urusan rumah tangga merupakan komunitas
terkecil yang ada dalam kehidupan manusia, lebih kecil dari urusan salat
jamaah, apalagi masalah masyarakat ataupun bahkan kenegaraan. Sehingga kalau
dalam hal yang kecil saja seorang perempuan tidak diperbolehkan untuk menjadi
pemimpin, maka dalam persoalan yang lebih besar seperti kemasyarakatan dan
kenegaraan tentu perempuan lebih tidak diperbolehkan lagi untuk menjadi
pemimpin.
Selain itu
Kyai Ali juga memahami bahwa kendati ayat tersebut secara tegas tidak
menyebutkan larangan bagi perempuan untuk menjadi pemimpin -karena ayat
tersebut berbentuk kalimat berita (khabr), bukan larangan (insya’)-,
namun sejatinya ia adalah kalimat perintah/insya’, yaitu perintah untuk
kaum laki-laki untuk menjadi pemimpin, pelindung, dan pengayom bagi perempuan sekaligus
larangan terhadap perempuan untuk menjadi pemimpin bagi kaum laki-laki.
Demikian menurut salah satu kaedah dalam Ilmu Usul Fikih.
Selain ayat di
atas sebenarnya ada dalil lain yang digunakan oleh sekelompok ulama untuk
melarang perempuan menjadi imam bagi laki-laki, yaitu sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Ibn Mājah yang artinya, “ingatlah, jangan sekali-kali
ada wanita menjadi imam salat untuk laki-laki”. Namun sayang, Imam Busyairi
dalam kitabnya Zawāid Ibn Mājah ‘ālā al-Kutub al-Khamsah menyebutkan
bahwa hadis di atas bernilai dha’if (lemah), karena di dalam sanadnya
terdapat dua orang perawi yang lemah periwayatannya, yaitu Ali ibn Zaid ibn
Ju’dan dan Abdullāh ibn Muhammad al-‘Adawi.
Secara
teoritis hadis tersebut tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk melarang
perempuan menjadi imam bagi laki-laki, akan tetapi karena makna dari hadis ini
diterima dan diamalkan oleh mayoritas ulama dari masa ke-masa –semenjak masa
Rasulullah sendiri hingga sekarang- maka hadis tersebut tetap bisa dijadikan
sebagai acuan pelarangan di atas. Hal inilah yang disebut dalam Ilmu Hadis
sebagai Khabr al-Ahad al-Maqbūl al-Muhtaffi bi al-Qarāin (hadis yang
diterima karena faktor-faktor eksternal).
Syekh Ismāil
al-Anshāri pernah menyebutkan bahwa hadis yang substansinya telah diterima dan
diamalkan oleh para ulama, tidak perlu diteliti lagi sanadnya. Dalam arti kata
hadis tersebut dhā’if secara lafadz namun sahih secara makna. Hadis yang
seperti ini juga sering dikutip oleh Imam al-Tirmidzī dalam kitab Sunan-nya,
sebagaimana yang dijelaskan oleh Sayyid Muhammad dalam bukunya Tahqīq
al-Āmāl fī Mā Yanfa’u al-Mayyit min al-A’māl. Alasan inilah yang kemudian mendorong
Imam Ibn Qudāmah tetap mencantumkan hadis di atas sebagai salah satu dalil yang
melarang perempuan menjadi imam salat dalam kitabnya al-Mughnī.
Sementara itu
Imam al-Syāfi’i tidak menggunakan hadis tersebut dalam al-‘Umm-nya disebabkan
semata-mata hanya karena status hadis itu yang bernilai dhā’if, meskipun
sebenarnya beliau setuju dan menerima maknanya. Beliau pernah
menyebutkan bahwa idzā shahha al-hadīs fa huwa madzhabī (apabila sebuah
hadis itu sahih maka itu adalah mazhabku). Itulah beberapa alasan ulama dari
berbagai mazhab yang ada, konsisten dengan pendapat
terlarangnya perempuan menjadi imam salat untuk laki-laki. Walaupun sebagian
aktifis gender kontemporer ada yang mengkritik dan menyebutnya sebagai hadis
yang berbau misoginis.
Kritikan
mereka bukan berarti tanpa alasan, sebagian mereka mengajukan sebuah riwayat
yang disebut-sebut bisa menjadi antitesis dari pendapat ulama yang telah penulis
sebutkan di atas. Riwayat yang dimaksud adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah
ahli hadis seperti Imam Ahmad ibn Hambal dalam Musnad-nya, Abū Dāūd
dalam Sunan-nya, Ibn Khuzaimah dalam Shahīh-nya, al-Thabrāni
dalam al-Mu’jam al-Kabīr-nya, al-Dāruquthnī dalam Sunan-nya, Ibn
Jarud dalam al-Muntaqa-nya, al-Hākim dalam al-Mustadrak-nya, dan
al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Shaghir-nya dengan total sebelas jalur
sanad.
Hadis ini
populer melalui riwayat Imam Abū Dāūd. Dalam riwayat tersebut diceritakan bahwa
Ummu Waraqah binti Naufal berkata kepada Nabi pada saat beliau akan berangkat
menuju Badar (Perang Badar), “Wahai Rasulullah, izinkanlah saya untuk ikut
berperang bersama Anda! Saya akan merawat orang-orang yang luka dari
prajurit-prajurit Anda. Mudah-mudahan Allah Swt menganugerahi saya mati sebagai
syahid.” Nabi Saw menjawab, “Kamu di rumah saja, karena Allah Swt akan
memberi kamu pahala sebagai syahid”.
Abd al-Rahmān
al-Khallād, perawi hadis ini, menyebutkan, “Ummu Waraqah akhirnya akrab
dengan panggilan Syahidah. Ia juga membaca (hafal) al-Qur’an. Ia meminta izin
kepada Nabi untuk mengangkat seorang muazzin di rumahnya. Nabi Saw pun
mengizinkannya.” Ia melanjutkan, “Ummu Waraqah berjanji untuk
memerdekakan seorang budak laki-laki dan perempuan miliknya sesudah ia meninggal
dunia. Namun pada suatu malam, (pada masa kekhalifahan Umar) keduanya bangun
dan menghampiri Ummu Waraqah, kemudian menyumpalnya dengan kain sampai
meninggal, lalu keduanya melarikan diri.
Keesokan
harinya di hadapan masyarakat banyak, Umar ibn al-Khatthāb mengumumkan : Siapa
yang mengetahui keberadaan dua orang hamba sahaya pembunuh Ummu Waraqah
tersebut, hendaklah ia melapor dan membawa keduanya ke hadapan kami. Lalu Umar
memerintahkan supaya menyalib kedua hamba tadi, keduanya adalah orang pertama
yang disalib di Madinah.”
Dalam riwayat
lain dengan jalur (sanad) yang berbeda, Imam Abū Dāūd menyebutkan bahwa Abd
al-Rahmān al-Khallād berkata, “Rasulullah sering mengunjungi Ummu Waraqah di
rumahnya dan menunjuk seorang muazzin untuk berazan. Rasulullah juga
menyuruhnya untuk mengimami salat jamaah bagi penghuni rumahnya”. Abd
al-Rahmān al-Khallād juga mengatakan bahwa tukang azannya adalah seorang
laki-laki tua. Berdasarkan ungkapan al-Khallād ini sebagian ulama seperti Imam
Abū Tsaur, al-Muzani, dan al-Thabari membolehkan perempuan menjadi imam bagi
laki-laki. Hal ini sebagaimana dikutip oleh Ibn Qudāmah, Ibn Rusyd dan
al-Syaukāni dalam karya-karya mereka.
Namun dalam
riwayat-riwayat lain selain Abū Dāūd tidak disebutkan bahwa Ummu Waraqah
mengimani makmum campuran antara laki-laki dengan perempuan. Bahkan dalam
riwayat al-Dāruquthnī dijelaskan bahwa Ummu Waraqah hanya mengimami kaum
perempuan yang ada di rumahnya. Dengan demikian para ulama yang menjadikan
hadis ini sebagai dalil kebolehan perempuan menjadi imam bagi laki-laki hanya
berdalil dari hal yang tersirat (mafhum) dari hadis tersebut, bukan
dengan apa-apa yang tersurat (manthuq).
Ada beberapa
catatan terkait hadis tersebut, hal ini sebagaimana juga dijelaskan secara
panjang lebar oleh Kyai Ali Mustafa Ya’qub dalam bukunya Imam Perempuan.
Pertama, hadis ini disampaikan oleh seorang yang bernama Abd al-Rahmān
al-Khallād, seorang perawi kontroversial yang dianggap tsiqah (kredibel)
oleh Ibn Hibbān, namun majhūl al-hāl (tidak diketahui identitasnya) oleh
Ibn al-Qatthan. Perawi yang majhūl al-hāl menurut mayoritas ulama hadis
–sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Hajr- adalah dhā’if (lemah).
Kedua, meskipun Imam Abū Dāūd tidak
mengomentari hadis tersebut –sebagai pertanda bahwa hadis tersebut tidak
bermasalah, karena Imam Abū Dāūd dalam sebuah suratnya kepada warga Kota Mekah
pernah mengatakan bahwa setiap hadis yang tidak beliau komentari dalam kitabnya
berarti hadis tersebut sahih/tidak bermasalah bahkan lebih sahih dari hadis
lain-, namun setelah diteliti lebih lanjut ternyata tidak demikian. Perawi yang
menjadi madar sanad (titik sentral) hadis di atas adalah seorang rawi yang
kontroversial (bermasalah).
Ia bernama
al-Walīd ibn al-Juma’i. Seorang perawi yang dianggap kredibel oleh Yahya ibn
Ma’in, al-‘Ijlī, dan Abū Zur’ah. Sementara itu Imam Ahmad menyebutnya dengan
istilah la ba’tsa bih yang menandakan bahwa ia adalah seorang perawi
yang tidak bermasalah namun kemampuan daya ingatnya diragukan. Sedangkan Abū
Hātim menilainya lebih rendah dengan ungkapan shālih al-hadīs (hadisnya
baik). Bahkan Ibn Hibbān menggolongkannya sebagai salah satu perawi yang dhā’if
dalam kitabnya al-Dhu’afa.
Parahnya lagi,
Ibn Hibbān menyebutkan bahwa periwayatan al-Walīd tidak pernah diiringi oleh
perawi-perawi lain yang kredibel. Imam Hākim juga menyayangkan sikap Imam
Muslim yang menjadikan al-Walīd ibn al-Juma’i sebagai salah seorang rijal-nya.
Dengan demikian, berdasarkan kaedah jarh ta’dīl yang berlaku dalam Ilmu
Hadis, yaitu jika ungkapan jarh dan ta’dīl berlawanan pada
seorang perawi, maka yang diunggulkan adalah ungkapan yang menjarh, sekalipun
jumlah mereka yang menta’dil lebih banyak dari mereka yang menjarh.
Ketiga, terdapat kerancuan dalam memaknai
hadis tersebut. Para ulama yang menjadikan hadis itu sebagai dalil kebolehan
perempuan mengimami laki-laki kurang arif dalam mengambil kesimpulan.
Sebagaimana yang diketahui bahwa hadis riwayat Abū Dāūd mempunyai makna yang
lebih umum, karena di sana tidak dijelaskan apakah Ummu Waraqah mengimami
jamaah yang terdiri dari laki-laki dan perempuan atau hanya perempuan saja.
Sedangkan riwayat al-Dāraquthni menyajikan informasi yang lebih rinci, yaitu
Ummu Waraqah hanya mengimami kaum perempuan yang ada di rumahnya saja, bukan
bersama-sama dengan laki-laki.
Oleh sebab
itu, keumuman makna yang terdapat pada riwayat Abū Dāūd harus ditakhshis dengan
hadis yang diriwayatkan oleh al-Dāraquthni. Demikian kata sebuah kaedah dalam
Ilmu Usul Fikih. Selain itu, kita tidak bisa memahami sebuah hadis secara
mandiri tanpa mengkompromikannya dengan hadis lain karena kaedah al-hadīs
yufassiru ba’dhuhu ba’dhan (hadis sebagiannya menjelaskan sebagian yang
lain) sebagaimana halnya al-Qur’an yang sebagian ayatnya juga menjelaskan ayat yang
lain. Keempat, seandainya hadis ini bernilai sahih pun, maka ia hanya dikhususkan
untuk Ummu Waraqah semata, karena tidak satu pun riwayat sahih lainnya yang
mendukung dan menyebutkan adanya perempuan yang menjadi imam untuk laki-laki,
kecuali hanya untuk perempuan saja.
Meskipun hadis
di atas dinilai lebih berpihak kepada laki-laki (sebut bias gender), namun
bukan berarti dalam hal ini Islam menganggap rendah perempuan. Akan tetapi dalam Islam, terdapat syariat yang hanya bisa dilakukan
oleh kaum laki-laki dan ada syariat yang hanya bisa dilakukan oleh kaum perempuan
serta ada juga yang bisa dilaksanakan oleh kedua-duanya secara bersamaan.
Klasifikasi seperti ini juga diakui oleh Nasarudin Umar (pakar gender UIN
Jakarta). Ia mengatakan tidak semua perkara agama bisa didekati dengan sudut
pandang gender. Sebagiannya ada yang bersifat konstan dan ada juga yang
fleksibel.
Sebagai kesimpulan
dari tulisan ini, penulis cendrung mengatakan bahwa persoalan imāmah
al-shalāh adalah salah satu di antara perkara agama yang dibebankan kepada
laki-laki. Asumsi ini diperkuat oleh beberapa dalil dan pendapat dari sebagian
besar ulama dari masa ke masa. Perempuan boleh menjadi imam, akan tetapi hanya dalam
komunitas mereka saja, dengan catatan di tempat tersebut tidak ada seorang
laki-laki yang memenuhi syarat untuk menjadi imam salat. Demikian ulasan pendek terkait
hadis di atas, semoga bermanfaat. Wallahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon kritik dan sarannya.!