Mendamaikan Kembali Hubungan Negara dengan Agama

Perdebatan panjang mengenai hubungan negara dengan agama sampai saat ini masih belum berakhir, bahkan menurut Azyumardi Azra seorang cendikiawan muslim terkemuka menuturkan bahwa perdebatan itu telah berlangsung hampir selama satu abad lebih. Tema ini terus saja diulang dan diulang sehingga menjadikannya sebagai isu klasik yang sangat populer akhir-akhir ini, terlebih semakin banyaknya organisasi-organisasi kemasyaratan yang berfaham radikal konservatif menyebarkan fahamnya dengan berbagai cara demi mendapatkan pengikut yang banyak. Contoh kongkrit dari hal itu adalah kasus yang terjadi baru-baru ini yaitu kasus “pencucian otak” yang dilakoni oleh beberapa oknum NII terhadap para korbannya, yaitu dengan cara mendoktrin mereka dengan ide-ide ataupun mempengaruhi pemahaman keagamaan mereka, sehingga pada akhirnya secara perlahan dan sukarela merekapun mau saja ikut dan bergabung dengan organisasi tersebut.

Hal ini sebagaimana disinyalir oleh beberapa media cetak dan elektronik nasional melibatkan beberapa orang alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selama ini dikenal dengan faham moderatnya. Oleh sebab itu penulis mencoba untuk meneropong persoalan ini dari segi sosio-historisnya dengan harapan kajian ini bisa menjadi respon positif dan rekonstrukstif dalam rangka menyegarkan kembali pemahaman hubungan negara dengan agama di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat kita cintai ini.

Istilah “mendamaikan” yang penulis gunakan sebagai tema dari tulisan ini mengindikasikan adanya ketidakharmonisan hubungan antara Negara dengan agama di negeri ini. Dalam arti kata hubungan Negara dengan agama masih mengalami “miscommunication” yang lumayan parah dan akut, terlebih semenjak beredarnya isu-isu provokatif yang membawa penganutnya terjebak pada tindakan-tindakan radikal dan cendrung anarkis. Hal inilah yang mendorong para peneliti untuk membahas dan mengkaji ulang tema ini, meneliti apakah memang ada pewajiban dari syariat untuk menjadikan Islam sebagai konstitusi legal formal buat sebuah lembaga kenegaraan ataukah yang harus diutamakan itu penerapan substansi atau ruh-ruh dari ajaran Islam itu sendiri.

Hal ini terbukti dengan banyaknya para pemikir muslim baik klasik maupun kontemporer yang membahas persoalan ini secara mendalam seperti Ibnu Abi Rabi’, Abu Nasir al-Farabi, Abu Hasan Ali bin Habib Al-Mawardi, Ibnu Taimiyah, Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Rasyid Ridho. Tidak ketinggalan para cendikiawan muslim Indonesiapun banyak yang telah menelorkan karyanya khusus mengkaji persoalan ini seperti Prof. Dr. Azyumardi Azra, Dr. Abdul Aziz, MA, H. Munawwir Syadzali, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Dr. Amien Rais dan lain-lain.

Secara umum ada tiga paradigma yang muncul terkait relasi antara Negara dengan agama, hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Dr. M Bambang Pranowo dalam pengantarnya terhadap buku Dr. Abdul Aziz yang berjudul “Chiefdom Madinah Salah Paham Negara Islam”. Ketiga pandangan itu dianut serta direalisasikan oleh masing-masing pihak dan merasa yakin terhadap kebenaran teori tersebut. Pandangan pertama mengatakan bahwa penegakan syariat Islam atau yang sering diistilahkan dengan khilafah Islamiyah dalam lembaga kenegaraan adalah suatu perintah agama yang wajib dan tidak dapat tidak harus dimanifestasikan sehingga membentuk suatu system global yang menaungi kepentingan seluruh daerah-daerah kekuasaan Islam dibawah satu kekuatan politik Islam yang bersifat absolut sebagaimana dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai president tunggal Negara Islam Madinah pada saat itu. Tokoh yang terkenal sebagai icon pandangan ini seperti Syekh Hasan al-Banna, Sayyid Qutub, Syekh Muhammad Rasyid Ridho, dan yang paling vocal diantara mereka adalah Abul A’la Maududi.

Kemudian sebagai konsekwensi dari tidak terealisasinya system Islam dalam politik kenegaraan itu menurut mereka akan menyebabkan dosa kolektif yang diembankan kepada setiap warga Negara dengan sebab tidak menjalankan hukum-hukum Allah dipermukaan bumi, padahal syariat telah memerintahkan hal itu secara gamblang dengan menetapkan siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka termasuk kedalam golongan orang-orang kafir, zalim, dan fasik sebagaimana disebut dalam al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 44, 45, 47 dan bahkan sebagian aktivis garis keras golongan ini mencap kafir bagi mereka yang menerima pancasila sebagai dasar Negara, karena Pancasila menurut asumsi mereka tidak sesuai dengan doktrin-doktrin Islam yang diajarkan oleh dua pedoman utamanya yaitu Al-Qur’an dan Hadist. Dalil lain yang biasanya dipakai oleh golongan ini untuk menjustifikasi keyakinan tersebut adalah keberadaan piagam Madinah yang mereka anggap sebagai konstitusi resmi terbentuknya Negara Islam Madinah yang dipimpin oleh Nabi SAW pada waktu itu.

Sementara itu pandangan kedua mengatakan bahwa Negara harus dipisahkan dari campur tangan agama. Konsep ini meyakini kebaikan Negara sekuler yang memisahkan keduanya, karena tidak mungkin orientasi agama dengan Negara itu bisa diselaraskan secara akur dan optimal. Pandangan ini didasarkan pada doktrin yang menjadi konsep awal munculnya sekulerisme yaitu “berikan apa-apa yang menjadi hak kaisar dan berikan kepada gereja apa yang menjadi haknya”. Doktrin ini akhirnya diinterpretasikan dengan anggapan bahwa agama hanya mengkaji persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ketuhanan semata dan tidak punya otoritas sama sekali dalam kancah perpolitikan Negara. Adapun tokoh terkenal dari pandangan ini adalah Ali Abdur al-Raziq dan Dr. Thaha Husein sebagaimana yang dikutip oleh M. Munawwir Syazali dalam bukunya Islam dan Tata Negara.

Adapun pandangan ketiga mencoba untuk mensinergikan kedua pendapat yang kontradiktif diatas dengan asumsi bahwa Negara dengan agama ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan antar satu sama lain, tidak akan berdiri Negara tanpa agama dan seperti itu juga sebaliknya agama tidak akan memiliki lahan prakteknya tanpa adanya agama. Namun demikian Islam tidak serta merta mesti dijadikan atribut formal Negara, tapi lebih dari itu Islam justru seharusnya dijadikan ruh bagi kehidupan bernegara. Tokoh yang terkenal dengan pandangan ini diantaranya Dr. Muhammad Husein Haikal, seorang pemikir Islam yang cukup terkenal dan penulis buku Hayatu Muhammad dan Fi Manzil al-Wahyi. Dalam kerangka ini Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan Negara, maka agama tidak akan bisa berdiri tegak.

Jadi dapat dipahami, pendapat Ibnu Taimiyah tersebut seakan-akan melegitimasi bahwa antara agama dengan Negara merupakan dua entitas yang berbeda, akan tetapi unsure yang satu dengan yang lain saling membutuhkan. Kang Said Agil Siraj dalam sebuah pidatonya di Pompes Raudhatut Thullab mengatakan bahwa Indonesia pada dasarnya bukanlah Negara agama, bukan Negara Islam, bukan Negara Kristen, Negara hindu, Negara budha dan lain-lain, akan tetapi Indonesia adalah Darussalam yang satu dalam perbedaan dan berbeda dalam persatuan. Mengenai status dan kedudukan Rasulullah di Madinah sebagai kepala Negara, beliau mengatakan bahwa hal itu tidak benar sama sekali, eksistensi Rasulullah sebagai nabi buat seluruh umat lebih penting dan lebih agung ketimbang dianggap hanya sebagai kepala Negara Madinah, begitupun Madinah lebih besar dan lebih mulia dari sekedar dianggap sebagai sebuah Negara. Serta Islam itu lebih mulia dan lebih agung dari sekedar dianggap sebagai sebuah system politik yang hanya mengatur masalah siyasah kenegaraan semata, bahkan lebih dari itu Islam adalah agama yang universal yang melingkupi seluruh bagian kehidupan manusia, mulai dari hal yang sekecil-kecilnya sampai kepersoalan yang sebesar-besarnya. Dalam muqaddimah kitabnya Ilmu Ushul Fiqh, Syekh Abdul Wahhab Khalaf mengatakan bahwa “sudah menjadi suatu kesepakatan dikalangan ulama bahwa segala apapun yang timbul dari manusia, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan, baik yang berupa Ibadat ataupun muamalah, baik yang membahas hukum komunal ataupun perorangan, baik dari bentuk-bentuk kesepakatan ataupun lain-lainnya, melainkan semuanya itu diatur oleh syariat Islam”.

Disamping itu Amien Rais dalam Panji Masyarakat mengatakan “Negara Islam atau “Islamic state” saya kira tidak ada dalam Al-Qur’an maupun dalam sunnah, oleh karena itu tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan Negara Islam. Yang lebih penting itu adalah selama suatu Negara menjalankan etos Islam, kemudian menegakkan keadilan social dan menciptakan suatu masyarakat yang egalitarian yang jauh dari eksploitasi manusia atas manusia maupun ekspoitasi golongan atas golongan lain”. Sehingga dalam mendevenisikan khilafah beliau lebih cendrung menganggapnya sebagai suatu misi kaum muslimin yang harus ditegakkan dimuka bumi ini untuk memakmurkan kehidupan seluruh manusia sesuai dengan petunjuk dan peraturan Allah maupun rasulNya, adapun cara pelaksanaannya Al-Qur’an tidak menunjukkannya secara terperinci, akan tetapi dalam bentuk global saja.

Beliau juga meragukan apakah kerajaan Arab Saudi yang ada sekarang apakah bisa dijadikan sebagai sebuah representative Negara Islam atau tidak, karena nabi Muhammad SAW tidak pernah mengajarkan system monarki absolut sebagaimana yang diterapkan dinegara tersebut, melainkan Islam mengajarkan system demokratis lewat pemilihan yang dilakukan dengan jalan musyawarah, hal itu sebagaimana terefleksi dalam pemilihan khalifah rasyidin pasca wafatnya Rasulullah SAW pada tahun ke-11 Hijriah.

Pemikiran senada juga dianut oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif yang menjelaskan bahwa istilah daulah yang berarti Negara tidak dijumpai dalam Al-Qur’an, istilah daulah memang ada dalam Al-Qur’an pada surat al-Hasyr ayat 7, akan tetapi ia tidak berma’na Negara, istilah tersebut dipakai secara figuratif untuk melukiskan peredaran atau pergantian tangan dari kekuasaan. Seperti itu juga Azyumardi Azra, bahkan beliau telah menulis dan menerbitkan lebih dari 40 tulisan yang berkenaan dengan masalah hubungan agama dengan Negara. Diantara tulisan beliau yang dijadikan buku adalah Reposisi Hubungan Agama Dan Negara, Merajut Kerukunan Antar Umat dan Islam Substantif agar umat tidak jadi buih.

Sementara itu Ashgar Ali Engineer seorang pemikir dan aktivis dari India dalam bukunya “Islam and Relevance to Our Age” ketika menjelaskan hubungan Negara dengan Agama bertutur “Untuk memahami masalah ini secara tepat, kita mesti mempertimbangkan beberapa kondisi politik yang ada di Makkah sebelum Islam dan juga bagaimana masyarakat Islam secara bertahap mulai terwujud. Pada awalnya suku Quraisy mendominasi kekuasaan di Makkah dan mereka terdiri dari klam-klam yang beraneka-ragam. Adapun suku-suku yang lain posisi mereka subordinatif dan pinggiran. Perlu diketahui bahwa Makkah tidak mempunyai struktur pemerintahan sendiri, lembaga kerajaan tidak dikenal, tidak pula perangkat Negara yang dapat dibandingkan dengan Negara manapun, tidak ada penguasa turun temurun dan juga tidak ada pemerintahan yang dipilih secara formal.

Yang ada hanyalah suatu dewan suku yang dikenal dengan mala’ (semacam senat) yang terdiri dari perwakilan klan yang ada. Kemudian pada saat Nabi hijrah ke Madinah, barulah beliau mulai menatanya dengan menciptakan suatu system yang dapat diterima oleh seluruh pihak yang ada disana seperti campuran ras Yahudi, Arab Pengelana, dan lain-lain. Dan hal ini dibahasakan oleh Ashgar sebagai konsep bermasyarakat, bukan konsep pemerintahan sebagaimana yang diklaim oleh para pendukung “Negara teokratik”, dengan asumsi bahwa Al-Qur’an lebih bersifat simbolik daripada deskriptif dan karena itu validitas dan vitalitasnya terletak pada interpretasi simbol-simbol ini, sesuai dengan perubahan-perubahan situasi ruang dan waktu.

Setelah melihat berbagai pandangan diatas penulis mencoba untuk mengelaborasi dan memberikan beberapa kesimpulan sekaligus opini yang mudah-mudahan bisa jadi jalan tengah persoalan ini. Pertama Sebagaimana diketahui bahwa Negara Indonesia terdiri dari berbagai macam corak keagamaan, bermacam-macam suku, beraneka ragam ras, kasta serta adat istiadat yang berbeda-beda. Dalam bahasa lain bisa disebut bahwa Negara Indonesia itu adalah Negara yang bersifat kompleks, majemuk, dan multicultural yang sulit untuk disatukan dengan satu ideology tertentu.

Satu-satunya ideology yang sampai saat ini masih bisa menampung perbedaan-perbedaan yang ada diranah Indonesia ini adalah lambang Negara Pancasila yang kita anut yaitunya semboyan Bhineka Tunggal Ika yang mempunyai ma’na walaupun berbeda-beda tapi tetap satu, satu dalam perbedaan. Kedua pemaksaan penegakan hukum Islam itu tidak juga akan membuahkan kedamaian sebagaimana yang diidam-idamkan, bahkan sebaliknya malahan akan menimbulkan mafsadat (kehancuran) yang lebih besar dibandingkan dengan manfaatnya. Sebagai contoh kecil seandainya di Negara ini diterapkan hukum Islam secara menyeluruh, maka hal ini akan menimbulkan pertikaian dan pemberontakan dari kalangan agama lain yang merasa haknya ditindas sebagai warga Negara.

Kemudian disisi lain seandainya Islam dijadikan sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh kalangan konservatif yaitu mewujudkan sistem khilafah islamiyah dibumi Indonesia maka pertanyaannya kelompok islam manakah yang akan diangkat sebagai khalifah yang bisa dan mampu menaungi seluruh kepentingan warganya tanpa terpengaruh dengan ideology pribadinya, karena sebagaimana dimaklumi pada saat ini Islam mempunyai aliran yang sangat banyak sekali, sehingga seandainya salah satu golongan menduduki jabatan sebagai khalifah maka sudah barang tentu dia akan melaksanakan pemerintahannya dengan system tirani/ otoriter yaitu dengan melarang keberadaan aliran-aliran lain yang tidak sama dengan madzhab/ ideology yang dia yakini dan ini adalah suatu jalan terbesar menuju kehancuran persatuan sebagaimana yang dikhawatirkan oleh mereka yang berpandangan kebalikannya. Kemudian pertanyaan selanjutnya mungkinkah kesetaraan dan keadilan akan diperoleh dengan system yang seperti itu..?

Ketiga, kita juga harus merenungkan perjuangan kaum nasionalis muslim pada saat pembentukan dasar Negara Indonesia, yaitu perdebatan sengit dan melelahkan yang terjadi antara kaum nasionalis muslim yang diwakili oleh Muhammad Natsir, H.Agus Salim, K.H. Mas Mansur, dan K.H. Wachid Hasyim dengan para perumus dasar Negara yang lain seperti Soekarno yang beraliran nasionalis sekuler pada tahun 1920an. Para tokoh nasionalis muslim menyuarakan suara aspirasi Islam sebagai dasar Negara bagi Indonesia merdeka dengan alasan mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam pada saat itu. Namun usulan tersebut ditentang oleh kalangan nasionalis sekuler yang mengajukan konsep Negara sekuler. Mereka beralasan dengan kemajemukan Negara Indonesia dan perasaan senasib melawan penjajah akan menghalangi sulitnya menerapkan hukum islam dinegara ini, bahkan kalau dipaksakan mungkin saja akan menimbulkan pemberontakan dari pihak-pihak yang tidak setuju dengan hal itu.

Kekhawatiran itu berupa bisa saja mereka mewujudkannya dengan cara mendirikan Negara sendiri dengan memisahkan diri dari NKRI. Nah setelah perdebatan panjang itu, para nasionalis muslim akhirnya bersedia untuk tidak memaksakan kehendak mereka menjadikan Islam sebagai dasar Negara dan begitupun kaum nasionalis sekuler juga tidak memaksakan kehendaknya untuk menjadikan system sekuler sebagai dasar negara. Hal itu mereka lakukan semata-mata hanya untuk menjaga persatuan dan kesatuan dalam rangka meraih kemerdekaan bangsa. Akan tetapi dengan catatan Negara menjamin dijalankannya syariat Islam bagi pemeluk Islam Indonesia. Peristiwa tersebut lazim dikenal dengan nama The Gentlemen Agreement yang tertuang dalam piagam Jakarta/ Jakarta Charter.

Jadi dari musyawarah tersebut dapat kita ambil pelajaran betapa besarnya jiwa para pembesar-pembesar muslim Indonesia pada waktu itu, walaupun mereka sebenarnya berkeinginan sekali menjadikan Negara Indonesia ini menjadi sebuah Negara Agama yang berlandaskan Islam, namun maksud tersebut mereka urungkan demi kemashlahatan masyarakat Indonesia yang multikultural, apakah ini bukan termasuk ciri dan substansi dari agama Islam itu sendiri yang mengutamakan persatuan diatas segala-galanya. Bukannya islam itu menghendaki perdamaian diantara manusia dan kalau sudah seperti itu maka sebenarnya syariat Islam telah diterapkan dalam percaturan pembentukan Negara Indonesia yang mengutamakan mashlahah bagi umatnya sejak awal terbentuknya, namun hal ini tidak disadari oleh mereka yang hanya berfikiran islam itu mesti dengan khilafah, kalau seandainya mereka mau berdialog sedikit dan memahami dengan seksama sejarah pembentukan Negara niscaya mereka akan faham betapa indahnya persatuan itu.

Keempat, merupakan suatu ungkapan yang sangat keliru kalau ada yang mengatakan bahwa Negara Indonesia ini adalah Negara yang sekuler, sebab kalau seandainya NKRI adalah Negara sekuler maka tidak akan mungkin adanya sila yang pertama dalam pancasila “ketuhanan yang maha esa” yang merupakan perwujudan dari prinsip fundamental dalam Islam yaitu tauhidullah (mengesakan Allah sebagai tuhan) sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam surah al-Ikhlas ayat 1 sampai dengan ayat 4 dan juga surah al-Baqarah ayat 163. Dan begitu juga dengan sila “kemanusiaan yang adil dan beradab” yang merupakan realisasi dari prinsip keadilan yang menjadi ciri utama ajaran Islam sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam banyak ayat dalam Al-Qur’an seperti surat al-Nisa’ ayat 135 dan al-Maidah ayat 8.

Kemudian lagi sila “persatuan Indonesia” yang melambangkan ajaran Islam yang melarang kita bercerai berai, sebagaimana firman Allah dalam surah Ali I’mran ayat 105. Kemudian sila “kemanusian yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan” yang merealisasikan ajaran islam yang menganjurkan kita untuk bermusyawarah dalam menyelesaikan segala urusan yang ada, sebagaimana firman Allah dalam surah Ali I’mran ayat 159. Dan yang terakhir sila “keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia” yang merupakan representasi dari ajaran kesetaraan manusia dimata hukum Islam, sila ini juga merupakan realisasi dari sabda Rasulullah SAW “wahai sekalian manusia, sesungguhnya hal yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah sikap mereka ketika ada seseorang yang mencuri dari orang mulia, maka mereka tidak menghukumnya, sementara itu kalau yang melakukannya orang yang tidak mempunyai kedudukan apa-apa (orang awwam) maka mereka menegakkan hukum terhadapnya. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, sungguh akan aku potong tangannya”. Demikianlah prinsip keadilan dalam Islam yang tidak membeda-bedakan objek hukum dari golongan siapa dan dari mananya, landasan utamanya adalah penerapan keadilan terhadap siapapun berdasarkan kesalahan yang dia perbuat.

Terakhir, penulis ingin mengutip perkataan Robert N. Bellah sosiolog agama kenamaan “masyarakat yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW disebut sebagai masyarakat untuk zaman dan tempat yang modern, bahkan lantaran terlalu modernnya hingga setelah nabi wafat konsep tersebut tidak bertahan lama. Timur tengah dan umat manusia pada saat itu belum siap dengan prasarana social yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan social yang modern seperti yang dirintis oleh Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan ungkapan yang simple dan inspiratif itu dapatlah dipahami bahwa penerapan Negara Islam di Negara majemuk seperti Indonesia ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, perlu proses panjang dan perjuangan untuk bisa memahami dan kemudian menerapkan system ketatanegaraan sebagaimana yang diasumsikan dan dipraktekkan oleh Rasulullah.

Sebagai penutup dari tulisan yang sederhana ini penulis simpulkan bahwa wacana khilafah pada dasarnya adalah suatu cita-cita yang bagus, karena didalamnya dibarengi dengan upaya dan niat yang suci untuk mengamalkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagaimana yang beliau contohkan, namun dalam penerapannya mempunyai kesulitan-kesulitan yang mungkin saja akan menggusur kepentingan mayoritas warga Negara dunia yaitu persatuan, sehingga dalam hal ini kita hendaknya menerapkan salah satu kaedah fiqh yang berbunyi “dar’u al-mafaasidi muqaddamun a’la jalbi al-mashaalihi” yang berarti menolak kemudaratan itu lebih didahulukan ketimbang meraih kemanfaatan. Disamping itu masih banyak masalah-masalah umat Islam yang selayaknya mendapatkan perhatian lebih dari umat Islam yang mengaku cinta terhadap Islam, seperti kasus kemiskinan yang melanda sebagian besar umat Islam dunia saat ini, padahal sebagaimana yang diketahui juga bahwa kemiskinan itu sangat dekat kaitannya dengan kekafiran.

Selain itu peningkatan pendidikan dibidang aqidah buat generasi muda Islam harus lebih ditingkatkan lagi, karena sebagaimana yang diperingatkan Allah SWT dalam Surat al-Nisa ayat 9 bahwa para orang tua mempunyai tanggung jawab buat masa depan anak-anak keturunan mereka, baik dari segi dunianya terlebih lagi dari segi keimanannya. Serta persoalan-persoalan umat lainnya, sehingga dengan itu Islam bisa mengembalikan kejayaan yang pernah dicapainya pada masa lalu.
Sekian..!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon kritik dan sarannya.!

صاحب الكتابة

Foto saya
Bukittinggi, Agam, Indonesia
Seorang pelajar yang tengah berkontemplasi dalam pencarian jatidiri dan ilmu pengetahuan, walau hingga saat ini ilmu yang dia harapkan terasa masih dangkal dan jauh dari kesempurnaan. Dia lahir pada hari Kamis pagi, tanggal 22 Februari 1990 atau bertepatan dengan 26 Rajab 1410 Hijriah. Diberi nama dengan Yunal Isra bin Syamsul Bahri dan biasa dipanggil dengan sebutan Yunal/Isra/Inal. Pendidikan pertama yang pernah dijalaninya adalah Pendidikan TK pada tahun 1996, kemudian dilanjutkan ke SD 01 Baso dan tamat pada tahun 2002. Setelah itu memutuskan untuk fokus mendalami ilmu-ilmu keislaman di MTI Canduang dan tamat pada tahun 2009. Setahun kemudian ia meneruskan petualangan intelektualnya di program S1 Fakultas Dirasah Islamiyyah UIN Syarif Hidayatullah dan Darus-Sunnah International Institute For Hadith Sciences Jakarta. Berharap semoga bisa menjadi orang yang bermanfaat untuk manusia lain dan diredoi orang tua dan tuhannya, amien.! Fokus kajiannya sekarang "al-Muhaafazhah A'la al-Qadiimi al-Shaalih, wa al-Akhdzu bi al-Jadiidi al-Ashlah".

Terima kasih atas kunjungannya.........!!!!!!

نحمدك اللهم منزل الآيات تبصرة لأولى الألباب ورافع الدلالات عبرة لتزيل بها عن القلوب الحجاب ونشكرك شرعت الحلال والحرام وأنزلت الكتاب وجعلته هدى لكل خير يرام ونصلى ونسلم على سيدنا محمد المؤيد من الله بأجلى النيرات والساطع نوره في أفق الهداية بما يزيح الريب والمدلهمات وعلى آله خير آل وأصحابه ومن لهم مقتف أوموال