Fatwa dan Fleksibelitas Hukum Islam



Setelah penaklukan Irak dan Syam pada masa kekhalifahan Saydina Umar ibn Khattab, para sahabat dihadapkan dengan persoalan apakah yang harus mereka lakukan terhadap tanah hasil rampasan perang tersebut. Jika merujuk kepada apa yang pernah dipraktekkan oleh Rasulullah Saw di masa hidupnya, maka empat perlima dari tanah tersebut harus dibagikan kepada mereka yang ikut berperang dan seperlimanya digunakan untuk kemaslahatan umum. Namun Saydina Umar mempunyai pandangan yang berbeda, ia tidak lagi membagikan harta rampasan perang tersebut seperti aturan yang pernah berlaku. Malahan ia memutuskan untuk membiarkan tanah tersebut tetap berada di tangan pemiliknya, hanya saja mereka dikenakan pajak dan hasilnya diberdayakan untuk kepentingan umat Islam dan pemerintahan.

Sepintas apa yang dilakukan oleh Umar pada kasus di atas adalah suatu hal yang menyalahi aturan baku yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah Swt menyebutkan dalam surat al-Anfal, ayat ke-41, bahwa seperlima harta rampasan perang dialokasikan buat kepentingan kaum muslimin dan sisanya dibagi-bagikan kepada prajurit muslim yang ikut serta dalam berperang. Sehingga pertanyaannya sekarang adalah kenapa ijtihad (sebut fatwa) dari Saydina Umar terkait kasus di atas bisa berbeda? Apa dasar hukum serta alasan beliau mengubah hukum tersebut? Tidak khawatirkah beliau kalau nantinya dianggap sebagai orang yang berani menentang ataupun bahkan merubah hukum Allah dan Rasul-Nya?

Hukum Membangunkan Orang di Saat Waktu Salat Tiba



Dalam pergaulan sehari-hari bersama keluarga atau teman kos misalnya, mungkin saja seseorang menemukan sebagian dari mereka (keluarga atau teman tersebut) yang sulit bangun di pagi hari. Mereka baru bangun setelah matahari menyingsing menyinari segala yang ada di permukaan bumi, sehingga waktu subuh pun berakhir sementara mereka belum melaksanakan ibadah salat sama sekali. Bagi orang yang kebetulan tinggal bersama anggota keluarga atau teman seperti ini tentunya akan bimbang antara pilihan membangunkan mereka saat itu juga atau membiarkan saja sampai mereka bangun dengan sendirinya.

Bagi mereka yang bisa bangun sendiri nampaknya hal ini tidak menjadi persoalan, karena mereka masih punya kesempatan untuk melaksanakan ibadah salat di dalam waktunya. Akan tetapi bagaimana dengan mereka yang tidak bisa, apakah orang yang sudah bangun berkewajiban membangunkan mereka atau bagaimana? Apakah ketika yang bersangkutan baru bangun setelah waktu salat habis dan tidak sempat melaksanakan salat, dosanya ditanggung oleh orang yang sudah bangun duluan atau bagaimana? Beberapa pertanyaan tersebut akan dibahas dalam tulisan yang sederhana ini, insyaAllah.

Tertidur dalam Salat, Apakah Salat Jadi Batal.?



Sebagaimana yang sudah dijelaskan pada tulisan sebelumnya bahwa ketika seseorang sangat mengantuk di saat akan melaksanakan salat, maka ia dianjurkan untuk tidur terlebih dahulu sekedar untuk menghilangkan rasa kantuk yang dapat menciderai kualitas salatnya. Hal ini berdasarkan hadis-hadis sahih riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Sayyidah Aisyah dan Saydina Abi Hurairah. Hal itu diperbolehkan hanya untuk menjaga kualitas salat dengan syarat salat tersebut tetap dikerjakan di dalam waktunya dan rasa kantuk yang muncul benar-benar datang secara alamiah tanpa disengaja atau dibuat-buat sebelumnya.

Akan tetapi, meskipun Rasulullah Saw menganjurkan hal seperti itu, tetap saja ada di antara umat Islam yang mengantuk ataupun bahkan yang tertidur tatkala melakukan ibadah salat -terlepas apakah itu merupakan bagian dari tipu daya setan atau murni kondisi kesehatan seseorang-. Parahnya lagi ketika yang bersangkutan menjadi imam yang diikuti oleh beberapa orang makmum di belakangnya. Bisa dibayangkan betapa riuhnya situasi ketika sang imam tertidur dalam salatnya sedangkan para makmumnya tetap menunggu sekalipun dengan perasaan yang penuh kebimbangan antara meneruskan atau memutuskan jamaah/salatnya.

Mengantuk Di Waktu Salat, Apakah Salat Boleh Dita’khirkan.?



Rasa kantuk merupakan naluri alamiah yang dialami oleh hampir seluruh manusia. Naluri tersebut bisa datang kapanpun, baik di siang maupun di malam hari. Tidak jarang juga rasa kantuk datang di saat seseorang tengah asyik menjalankan aktivitas kesehariannya seperti bersekolah, bekerja, mengajar dan lain sebagainya. Penyebabnya pun juga beragam, ada yang karena kecapekan sehabis bekerja, karena habis berolahraga, ataupun di saat sedang membaca buku. Persoalannya agak sedikit nyelimet ketika rasa kantuk tersebut mendera di saat seseorang akan melaksanakan ibadah salat. Lantas apa yang seharusnya ia lakukan.?

Imam al-Bukhari meriwatkan sebuah hadis yang bersumber dari Sayyidah Aisyah di mana beliau mendengar Rasulullah Saw menyebutkan bahwa seandainya salah seorang di antara kalian didera oleh rasa kantuk, sementara ia hendak melaksanakan salat, maka sebaiknya ia tidur terlebih dahulu hingga rasa kantuknya hilang, karena ketika seseorang salat dalam kondisi mengantuk, bisa jadi ia tidak sadar ketika berdoa, (sehingga dikhawatirkan) malahan mencela dirinya sendiri. Sementara itu Imam Muslim meriwatkan hadis senada, akan tetapi bersumber dari Saydina Abu Hurairah di mana Rasulullah Saw bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian salat malam, lalu bacaan al-Qur’an-nya menjadi tidak karu-karuan (lantaran mengantuk), maka hendaklah ia tidur terlebih dahulu!”.

Celana Cingkrang dan Tradisi Kenabian



Salah satu di antara persoalan yang menyulut kontroversi di kalangan umat Islam saat ini adalah persoalan isbal atau menjulurkan pakaian hingga melebihi mata kaki. Sebagian kalangan dari umat ini menyuarakan keharaman pakaian tersebut. Mereka berdalih bahwa orang yang isbal telah melanggar aturan agama atau tepatnya telah menyalahi sunah Rasulullah Saw. Menurut mereka, Rasulullah Saw sangat melarang umatnya untuk berpakaian melebihi mata kakinya. Sementara itu, bagi umat Islam yang sudah terbiasa dengan pakaian di bawah mata kaki merasa kaget dan tidak menyangka sama sekali kalau model berpakaian mereka ternyata masuk dalam wilayah agama. Padahal tidak sedikit dari mereka yang berpakaian seperti itu hanya berniat untuk kenyamanan semata-mata.

Memang benar, sangat banyak hadis-hadis Nabi yang berbicara terkait dengan persoalan tersebut. Misalnya saja sebuah riwayat yang terekam baik oleh Imam al-Bukhari dan al-Nasa’i dalam kitab-kitab mereka yang bersumber dari Saydina Abu Hurairah di mana ia pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Pakaian yang melebihi dua mata kaki tempatnya adalah di neraka”. Begitu juga dengan hadis sahih riwayat Ahmad yang juga berasal dari Abu Hurairah di mana beliau mendengar Rasulullah berkata bahwa, “Allah tidak akan melihat pada hari kiamat kepada orang yang menjulurkan pakaiannya (hingga di bawah mata kaki)”. Kedua hadis di atas (tanpa membandingkannya dengan hadis lain) menjadi dalil kuat atas keharaman isbal menurut kalangan yang mengharamkannya.

Tradisi “Mendarahi Rumah” dan Doa Simbolik

Salah satu tradisi yang berkembang secara turun-temurun dari dulu hingga sekarang di daerah Minangkabau, Sumatera Barat adalah budaya “mendarahi rumah”. Biasanya tradisi ini dilakukan setelah pembangunan rumah sampai ke tahap penyelesaian akhir (finishing), yaitu pada saat tiang tuo (inti) dan kudo-kudo (kerangka) atap rumah selesai didirikan. Setelah itu, sang pemilik rumah menyembelih seekor ayam jago lalu darahnya diedarkan ke seluruh tiang-tiang dan kerangka atap rumah tersebut. Kemudian ayam tadi dimasak dan dimakan bersama-sama sambil memanjatkan doa-doa kebaikan agar rumah yang sedang dibangun diberi kenyamanan dan keberkahan oleh Allah Swt.
          
Selain itu, pada tiang tuo (inti) rumah, digantungkan beberapa jenis tumbuhan seperti tunas kelapa, pisang raja, buah pinang, dan juga daun sirih. Tumbuh-tumbuhan tersebut digantung selama beberapa hari dan baru akan diturunkan ketika pemasangan kerangka atap selesai semua atau pada saat tukang akan memasang atap rumah. Begitu juga pada saat rumah selesai dibangun, diadakan doa bersama dalam rangka syukuran atas karunia Allah kepada si pemilik rumah. Tidak jarang sebelum doa dibacakan oleh sang ustadz, tuan rumah membakar kemenyan terlebih dahulu. Kemudian setelah semua disiapkan, sang ustadz pun mulai berdoa sesuai dengan permintaan tuan rumah. Lalu acara diakhiri dengan makan bersama.

صاحب الكتابة

Foto saya
Bukittinggi, Agam, Indonesia
Seorang pelajar yang tengah berkontemplasi dalam pencarian jatidiri dan ilmu pengetahuan, walau hingga saat ini ilmu yang dia harapkan terasa masih dangkal dan jauh dari kesempurnaan. Dia lahir pada hari Kamis pagi, tanggal 22 Februari 1990 atau bertepatan dengan 26 Rajab 1410 Hijriah. Diberi nama dengan Yunal Isra bin Syamsul Bahri dan biasa dipanggil dengan sebutan Yunal/Isra/Inal. Pendidikan pertama yang pernah dijalaninya adalah Pendidikan TK pada tahun 1996, kemudian dilanjutkan ke SD 01 Baso dan tamat pada tahun 2002. Setelah itu memutuskan untuk fokus mendalami ilmu-ilmu keislaman di MTI Canduang dan tamat pada tahun 2009. Setahun kemudian ia meneruskan petualangan intelektualnya di program S1 Fakultas Dirasah Islamiyyah UIN Syarif Hidayatullah dan Darus-Sunnah International Institute For Hadith Sciences Jakarta. Berharap semoga bisa menjadi orang yang bermanfaat untuk manusia lain dan diredoi orang tua dan tuhannya, amien.! Fokus kajiannya sekarang "al-Muhaafazhah A'la al-Qadiimi al-Shaalih, wa al-Akhdzu bi al-Jadiidi al-Ashlah".

Terima kasih atas kunjungannya.........!!!!!!

نحمدك اللهم منزل الآيات تبصرة لأولى الألباب ورافع الدلالات عبرة لتزيل بها عن القلوب الحجاب ونشكرك شرعت الحلال والحرام وأنزلت الكتاب وجعلته هدى لكل خير يرام ونصلى ونسلم على سيدنا محمد المؤيد من الله بأجلى النيرات والساطع نوره في أفق الهداية بما يزيح الريب والمدلهمات وعلى آله خير آل وأصحابه ومن لهم مقتف أوموال