Tradisi “Mendarahi Rumah” dan Doa Simbolik

Salah satu tradisi yang berkembang secara turun-temurun dari dulu hingga sekarang di daerah Minangkabau, Sumatera Barat adalah budaya “mendarahi rumah”. Biasanya tradisi ini dilakukan setelah pembangunan rumah sampai ke tahap penyelesaian akhir (finishing), yaitu pada saat tiang tuo (inti) dan kudo-kudo (kerangka) atap rumah selesai didirikan. Setelah itu, sang pemilik rumah menyembelih seekor ayam jago lalu darahnya diedarkan ke seluruh tiang-tiang dan kerangka atap rumah tersebut. Kemudian ayam tadi dimasak dan dimakan bersama-sama sambil memanjatkan doa-doa kebaikan agar rumah yang sedang dibangun diberi kenyamanan dan keberkahan oleh Allah Swt.
          
Selain itu, pada tiang tuo (inti) rumah, digantungkan beberapa jenis tumbuhan seperti tunas kelapa, pisang raja, buah pinang, dan juga daun sirih. Tumbuh-tumbuhan tersebut digantung selama beberapa hari dan baru akan diturunkan ketika pemasangan kerangka atap selesai semua atau pada saat tukang akan memasang atap rumah. Begitu juga pada saat rumah selesai dibangun, diadakan doa bersama dalam rangka syukuran atas karunia Allah kepada si pemilik rumah. Tidak jarang sebelum doa dibacakan oleh sang ustadz, tuan rumah membakar kemenyan terlebih dahulu. Kemudian setelah semua disiapkan, sang ustadz pun mulai berdoa sesuai dengan permintaan tuan rumah. Lalu acara diakhiri dengan makan bersama.
           
Ketika penulis membaca respon beberapa agamawan terkait tradisi tersebut, tidak sedikit di antara mereka yang menganggapnya sebagai sebuah tradisi yang menyalahi aturan agama. Mayoritas mereka mengklaim bahwa tradisi tersebut tidak ada dasarnya baik dari al-Qur’an maupun hadis-hadis Rasulullah Saw. Sehingga mereka bersikeras untuk melarang bahkan mencap para pelakunya sebagai golongan primitif yang bergulimang dosa kesyirikan dan tuduhan-tuduhan keji lainnya tanpa mau meneliti filosofi ataupun orientasi masyarakat dibalik pelaksanaan tradisi tersebut. Tulisan sederhana ini akan mencoba mengupas persoalan tersebut dari sudut pandang agama, khususnya al-Qur’an dan Hadis Nabi.
           
Namun sebelum merespon persoalan di atas, ada beberapa hal yang harus diketahui terlebih dahulu. Pertama, sudah menjadi kesepakatan di kalangan ulama mazhab, khususnya mazhab yang empat (meskipun dengan porsi yang berbeda-beda), menjadikan al-Qur’an, Sunah, Ijmak, dan Qiyas (dengan berbagai macam derivasinya) sebagai sumber hukum Islam. Sehingga apapun peristiwa dan kasus baru yang berkaitan dengan agama dan terjadi di berbagai belahan dunia bisa dijawab dengan salah satu piranti yang empat tersebut. Hal ini sesuai dengan spirit yang tertera dalam Surah al-Nisa ayat ke-59 dan wasiat Rasulullah kepada Muadz Ibn Jabal ketika mengutusnya untuk berdakwah ke negeri Yaman kala itu.

Kedua, Islam merupakan agama universal yang diturunkan Allah Swt kepada semua umat manusia sebagai pedoman dan spirit kehidupan di manapun mereka berada. Islam tidak hanya identik dengan satu tradisi semata, yaitu tradisi Arab misalnya yang menjadi batu loncatan awal perkembangannya. Akan tetapi Islam juga bergumul dan berinteraksi dengan setiap tradisi apapun di mana ajarannya dikembangkan, tidak terkecuali dengan Indonesia pada umumnya ataupun Ranah Minang pada khususnya. Sehingga menilai benar atau salahnya sebuah tradisi dengan menggunakan sudut pandang Arab an sich serta menilai bahwa setiap yang datang dari Arab adalah satu-satunya ajaran Islam merupakan sebuah kekeliruan (kalau tidak akan dibilang kesesatan) dalam berpikir.

Ketiga, permasalahan di atas pada dasarnya berkaitan dengan tradisi dan adat istiadat yang berlaku di daerah Minang. Sehingga sebagai kaum agamawan, kita tidak boleh menilainya hanya dengan melihat sisi luarnya saja tanpa meneliti filosofi dan makna yang terkandung dibalik tradisi tersebut. Berdasarkan penelitian kecil-kecilan yang penulis lakukan kepada beberapa orang responden di daerah menyebutkan bahwa tradisi mendarahi rumah dengan darah ayam jago tersebut hanya sebatas tafaulan (harapan/doa/sikap optimis) semata-mata yang dimohonkan kepada Allah Swt. Yaitu harapan supaya rumah dan semua tiang-tiangnya kokoh dan kuat sebagaimana kokoh dan kuatnya ayam jago tersebut.

Begitu juga dengan filosofi penggantungan tumbuh-tumbuhan seperti tunas kelapa, pisang raja, buah pinang dan sirih di atas tiang rumah tersebut adalah ibarat sebuah harapan dan doa kepada Allah agar kehidupan orang yang berada di dalam rumah tersebut tumbuh, berkembang, dan unggul sebagaimana tumbuh dan berkembangnya tumbuh-tumbuhan tersebut yang notabenenya mengandung banyak manfaat untuk manusia. Kelapa misalnya merupakan pohon yang hampir setiap bagiannya mempunyai manfaat, baik daun, buah, santan, maupun batangnya. Sehingga hal tersebut menjadi doa simbolik agar semua penghuni rumah, baik tingkah laku maupun aktifitasnya bermanfaat untuk orang lain.

Di beberapa daerah lain di Indonesia, seperti di Pulau Jawa misalnya sebagaimana yang dikutip oleh Kyai Ali Mustafa Yaqub dalam beberapa bukunya, juga terdapat beberapa tradisi yang disinyalir sebagai praktik doa dengan simbol. Misalnya saja tradisi menusuk cabe merah dengan lidi pada saat membakar batu merah di Jawa Timur. Menurut keterangan dari masyarakat setempat tujuan tradisi tersebut hanya sebatas doa dan pengharapan kepada Allah agar batu yang tengah mereka bakar menjadi merah sebagaimana merahnya cabe yang ditusuk oleh lidi tersebut. Mereka tidak meminta kepada lidi ataupun cabe, namun tetap kepada Allah Swt, hanya saja disertai dengan simbol atau isyarat.

Halnya akan berbeda ketika masyarakat tersebut meyakini bahwa benda-benda itulah yang akan mewujudkan harapan-harapan mereka. Misalnya ketika masyarakat Minang meyakini bahwa darah ayam itulah yang akan menyelamatkan mereka dari marabahaya, atau tunas kelapa itulah yang akan mendatangkan rizki kepada mereka, ataupun masyarakat Jawa meyakini bahwa cabe merah itulah yang akan memerahkan batu yang tengah mereka bakar. Seandainya mereka berkeyakinan seperti ini, maka jelas bahwa hal itu termasuk perbuatan syirik yang harus dijauhi. Namun manakala orientasi mereka tidak untuk menyekutukan Allah dalam artian hanya sebatas simbol doa semata-mata maka hal tersebut dibolehkan dalam Islam.

Terkait dengan tradisi berdoa secara simbolik ini atau yang disebut juga dengan al-du’a bi al-isyarah (doa dengan isyarat) meminjam istilah al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Atsqalani dan Abu al-Hasan al-Mubarakfuri atau al-du’a bi al-rumuz (berdoa dengan simbol) meminjam istilah Kyai Ali Mustafa Yaqub ternyata mempunyai landasan yang sangat kuat dalam Islam. Salah satu di antaranya adalah sebuah riwayat sahih dari Imam al-Bukhari yang bersumber dari Abdullah ibn Zaid al-Anshari di mana ia menceritakan :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى يُصَلِّي وَأَنَّهُ لَمَّا دَعَا أَوْ أَرَادَ أَنْ يَدْعُوَ، اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ.

Artinya : Suatu kali, Nabi Saw keluar untuk melaksanakan salat (istisqa). Ketika beliau hendak berdoa (meminta hujan), beliau menghadap ke arah kiblat sambil memutar selendangnya. (H.R. Al-Bukhari).

Hadis tersebut mempunyai redaksi yang beragam namun memiliki semangat yang sama. Intinya adalah bahwa orientasi Nabi Saw ketika memutar bagian atas selendangnya ke arah bawah dan bagian bawah ke arah atas, begitu juga dengan selendang bagian kiri ke kanan dan bagian kanan ke kiri hanyalah sebagai simbol atau isyarat semata agar keadaan berubah dari musim kemarau menjadi musim hujan. Tidak ada maksud lain dari Nabi kecuali hanya berdoa kepada Allah semata, hanya saja cara berdoa beliau dengan menggunakan perantara isyarat/simbol berupa pembolak-balikan selendang sebagaimana halnya doa orang yang mendarahi rumah dengan menggunakan simbol berupa ayam jago di atas.

Begitu juga dengan sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hambal yang bersumber dari Khallad ibn al-Saib al-Anshari di mana ia menyebutkan :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلى الله عَليه وسَلم كَانَ إِذَا سَأَلَ جَعَلَ بَاطِنَ كَفَّيْهِ إِلَيْهِ، وَإِذَا اسْتَعَاذَ جَعَلَ ظَاهِرَهُمَا إِلَيْهِ.

Artinya : Nabi Muhammad Saw ketika berdoa meminta kebaikan, beliau berdoa dengan telapak tangannya. Namun jika berdoa supaya terhindar dari keburukan, beliau berdoa dengan punggung tangannya. (H.R. Ahmad ibn Hambal).

Sebagaimana hadis sebelumnya, hadis ini juga mengandung spirit berdoa dengan simbol/isyarat. Dalam hadis ini ditegaskan bahwa ketika berdoa meminta kebaikan, Nabi menggunakan telapak tangannya. Namun ketika berdoa meminta perlindungan dari keburukan beliau menggunakan punggung tangannya. Tampak bahwa mengangkat tangan dalam berdoa hanyalah sebatas simbol semata, dengan tujuan memohon agar apa yang diucapkan oleh mulut juga disimbolkan oleh anggota tubuh. Tidak mustahil dengan simbol tersebut, doa yang dipanjatkan akan lebih kelihatan khusuk dan lebih cepat diterima oleh Allah Swt.

Sedangkan dalil ketiga adalah sebuah riwayat yang juga bersumber dari Imam al-Bukhari di mana beliau menceritakan kisah Abu Hurairah yang mengadukan kelemahan hafalannya kepada Nabi Saw, lalu Nabi mendoakannya dengan perantaraan simbol sebagai berikut :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَسْمَعُ مِنْكَ حَدِيثًا كَثِيرًا أَنْسَاهُ قَالَ ابْسُطْ رِدَاءَكَ فَبَسَطْتُهُ قَالَ فَغَرَفَ بِيَدَيْهِ ثُمَّ قَالَ ضُمَّهُ فَضَمَمْتُهُ فَمَا نَسِيتُ شَيْئًا بَعْدَهُ.

Artinya : Abu Hurairah bercerita,”Saya berkata kepada Rasulullah : Wahai Rasulallah, saya sering mendengarkan hadismu, tapi sayang banyak yang saya lupa”. Lalu Rasul menjawab, “Bentangkan sorbanmu!”. Saya pun membentangkannya. Lalu Rasul menggulungnya dengan kedua tangan beliau. Kemudian beliau berkata lagi, “Kumpulkan!”, saya pun mengumpulkannya. Setelah peristiwa tersebut saya tidak pernah lupa (terhadap apa yang beliau sampaikan). (H.R. Al-Bukhari)

Hadis yang terakhir ini menjadi bukti kongkrit akan kebolehan doa simbolik sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas. Dalam hadis ini terlihat bahwa Nabi tidak mengucapkan doa apapun kecuali hanya simbol atau isyarat semata, yaitu dengan membentangkan sorban yang akhirnya digulung menjadi doa simbolik agar hafalan Abu Hurairah menjadi kuat dan tidak mudah lupa. Hal ini sama persis dengan tujuan mendarahi rumah ataupun menggantungkan tunas kelapa pada saat pembangunan rumah tadi. Selama praktek tersebut diniatkan hanya untuk berdoa kepada Allah sembari meyakini bahwa hanya Allah-lah satu-satunya zat yang dapat mendatangkan kebaikan dan menolak keburukan, maka hal itu dibolehkan.

Akan tetapi, perlu penulis garisbawahi juga bahwa tidak semua tradisi bisa dianggap sebagai doa simbolik. Sekurang-kurangnya ada dua syarat mutlak yang harus dipenuhi agar sebuah tradisi dapat dianggap sebagai doa simbolik. Pertama, tradisi atau perbuatan tersebut mengandung spirit doa dan harapan kebaikan kepada Allah Swt. Kedua, tidak ada unsur-unsur yang bertentangan dengan kaedah-kaedah dasar syariat Islam seperti menyekutukan Allah, meyakini bahwa ada benda atau zat-zat tertentu yang bisa mendatangkan manfaat kepada diri, menyembelih dengan menyebut nama selain Allah dan lain-lain. Selama kedua unsur tersebut terpenuhi, maka ia pantas dianggap sebagai doa simbolik. Allahu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon kritik dan sarannya.!

صاحب الكتابة

Foto saya
Bukittinggi, Agam, Indonesia
Seorang pelajar yang tengah berkontemplasi dalam pencarian jatidiri dan ilmu pengetahuan, walau hingga saat ini ilmu yang dia harapkan terasa masih dangkal dan jauh dari kesempurnaan. Dia lahir pada hari Kamis pagi, tanggal 22 Februari 1990 atau bertepatan dengan 26 Rajab 1410 Hijriah. Diberi nama dengan Yunal Isra bin Syamsul Bahri dan biasa dipanggil dengan sebutan Yunal/Isra/Inal. Pendidikan pertama yang pernah dijalaninya adalah Pendidikan TK pada tahun 1996, kemudian dilanjutkan ke SD 01 Baso dan tamat pada tahun 2002. Setelah itu memutuskan untuk fokus mendalami ilmu-ilmu keislaman di MTI Canduang dan tamat pada tahun 2009. Setahun kemudian ia meneruskan petualangan intelektualnya di program S1 Fakultas Dirasah Islamiyyah UIN Syarif Hidayatullah dan Darus-Sunnah International Institute For Hadith Sciences Jakarta. Berharap semoga bisa menjadi orang yang bermanfaat untuk manusia lain dan diredoi orang tua dan tuhannya, amien.! Fokus kajiannya sekarang "al-Muhaafazhah A'la al-Qadiimi al-Shaalih, wa al-Akhdzu bi al-Jadiidi al-Ashlah".

Terima kasih atas kunjungannya.........!!!!!!

نحمدك اللهم منزل الآيات تبصرة لأولى الألباب ورافع الدلالات عبرة لتزيل بها عن القلوب الحجاب ونشكرك شرعت الحلال والحرام وأنزلت الكتاب وجعلته هدى لكل خير يرام ونصلى ونسلم على سيدنا محمد المؤيد من الله بأجلى النيرات والساطع نوره في أفق الهداية بما يزيح الريب والمدلهمات وعلى آله خير آل وأصحابه ومن لهم مقتف أوموال