Hikayat-hikayat Tentang Imam Sibawaihi



Kitab Tentang Sibawaihi
Siapa yang tidak kenal dengan sang ilmuwan Nahu yang satu ini. Namanya begitu harum dikalangan para ahli bahasa dan sangat familiar sebagai seorang yang ahli dalam ilmu tatabahasa Arab khususnya dalam Fan Ilmu Nahwu. Beliau mempunyai sejarah hidup yang sangat menakjubkan, terlebih dalam perjalanan intelektualnya menggeluti bidang gramatika arab itu. Beliau mempunyai guru yang bernama Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi, seorang yang sangat alim dalam bidang Nahu sekaligus pencipta ilmu A’ruud (ilmu timbangan syiir) yang populer itu. Imam Khalil juga dikenal sebagai pengarang kitab al-A’in, kitab/ kamus bahasa Arab pertama yang muncul di permukaan bumi. Sibawaihi berguru kepada Imam Khalil selama beberapa tahun lamanya bersama seorang teman seperguruannya yang bernama Asmu’i. Sibawaihi adalah seorang yang sangat jenius, terbukti dalam beberapa kesempatan beliau pernah berdebat sengit dengan gurunya dan tak jarang Imam Khalil dibuat kewalahan oleh muridnya yang satu itu.

Dalam sebuah hikayat diceritakan bahwa karena saking jeniusnya, Sibawaihi telah melebihi keilmuan gurunya. Sehingga banyak dari murid-murid Imam Khalil yang berpindah dan lebih memilih berguru kepada Imam Sibawaihi ketimbang dirinya. Hal itu terjadi setelah Imam Sibawaihi pamit kepada Imam Khalil pasca beberapa lama berguru kepada beliau. Hal itu membuat sang guru yang ikhlas itu agak bersedih dan sedikit putus asa. Puncak dari kesedihan tersebut, beliau melarikan diri dari kediamannya lalu mengembara dengan tujuan yang tak jelas. Namun beliau berharap dalam pengembaraan itu, Allah memberikan suatu ilmu baru kepadanya sebagai tambahan ilmu dari ilmu murid yang telah mengalahkannya, yaitu Imam Sibawaihi.

Dalam perjalanan itu, beliau menemukan berbagai pengalaman baru. Banyak peristiwa-peristiwa alam yang terjadi disekitar beliau berupa aneka bebunyian yang beraneka ragam. Seperti bunyi desiran ombak di pantai, bunyi kicauan burung yang bersaut-sautan di udara, bunyi angin yang berhembus dengan lembutnya di telinga orang yang dirundung sedih dan pilu. Dari berbagai bunyian alam itu akhirnya Allah menganugerahkan sebuah ilmu baru kepada Imam Khalil, yaitu ilmu timbangan syair yang diberi nama dengan ilmu A’rudh dan Qawafi. Ilmu itu mempunyai fungsi dan manfaat yang sangat besar, terkhusus dalam dunia sastra Arab yang kebanyakan penduduknya sangat hobi dengan syair. Nah untuk menguji kebenaran syair yang mereka buat agar terasa elegan didengar telinga, maka dibutuhanlah suatu ilmu untuk mengatur dan menyelaraskannya. Ilmu itu tak lain dan tak bukan adalah Ilmu Arudh dan Qawafi, dimana beliau dianggap sebagai orang yang pertama kali menciptakan ilmu tersebut dan tidak dimiliki oleh muridnya. Dengan ini hilanglah segala keputusasaan Imam Khalil yang selama ini menggerogoti hatinya.

Itulah salah satu hikayat kehebatan Imam Sibawaihi. Jarang-jarang seorang murid bisa mengalahkan gurunya dan bahkan sampai “merampas” murid-murid gurunya sebagaimana yang pernah dilakoni oleh Imam Sibawaihi. Akan tetapi jangan disalahpahami bahwa merampas disini tidak seperti yang kita bayangkan. Akan tetapi dalam artian adanya kecendrungan dari murid-murid Imam Khalil untuk berguru kepada Imam Sibawaihi, setelah beberapa lama belajar dengan Imam Khalil. Itu sebenarnya adalah wajar, karena menurut satu pepatah “guru yang hebat itu adalah guru yang muridnya bisa melebihi ilmu dan kemampuannya”. Selain itu masih banyak hikayat-hikayat lain yang menunjukkan kehebatan Imam Sibawaihi dari gurunya tersebut. Setidaknya ada beberapa hikayat yang penulis dapatkan, sebagiannya ada yang diperoleh dari cerita guru-guru penulis saat masih mondok dahulu, sebagiannya dari teman diskusi di UIN ataupun di Pondok Darussunnah dan yang lain dari buku bacaan yang sempat penulis baca.

Akan tetapi hikayat-hikayat tersebut penulis dapatkan tanpa transmisi sanad yang jelas. Baik guru, teman, dan buku yang penulis baca tidak menerangkan secara gamblang reverensi cerita-cerita tersebut. Bahkan sampai catatan ini diposting, penulis belum juga mendapatkan rujukan yang pasti tentang hikayat tersebut. Akan tetapi tulisan hikayat-hikayat Imam Sibawaihi ini tetap penulis posting dengan niat yang pertama untuk ditashhih oleh mereka yang tahu dimana rujukannya secara pasti, kemudian yang kedua untuk motivasi semata. Mudah-mudahan nilai positif yang terselip didalam cerita yang insyaAllah akan penulis lampirkan dibawah ini, dapat menstimulan kita agar bisa sungguh-sungguh dalam menekuni bidang keilmuan apapun. Tidak hanya nahu, akan tetapi seluruh ilmu yang ada dan bermanfaat. Sehingga pepatah likulli rajulin fannun itu dapat kita capai, tentunya dengan tidak mengabaikan keilmuan-keilmuan lainnya.

Diantaranya hikayat tersebut adalah ketika kedua orang guru dan murid tersebut berdebat mengenai a’rifu al-maa’rif atau diantara 6 isim ma’rifah, isim ma’rifah mana yang dianggap paling ma’rifah. Cerita lengkapnya seperti dibawah ini : Sebagaimana biasa, pada tiap harinya Imam Sibawaihi selalu belajar dengan gurunya Imam Khalil bin Ahmad Al-Farahidi. Kebetulan pada hari itu objek kajian mereka berkenaan dengan isim-isim ma’rifah. Setelah mendengar keterangan dari gurunya yang menjelaskan bahwa isim ma’rifah yang paling ma’rifah itu adalah isim dhomir, muncullah suatu keraguan dihati Imam Sibawaihi. Dia bertanya-tanya dalam hati sembari merenungkan kalimat demi kalimat yang disampaikan oleh gurunya itu. Pas pada waktu gurunya diam, Sibawaihipun angkat bicara seraya berkata “setelah mendengarkan keterangan guru, saya agak ragu apakah benar isim yang paling ma’rifah itu adalah isim dhomir..?”, mendengar pertanyaan skeptis dari muridnya itu Imam Khalil mengeluarkan seluruh dalil-dalil dan keterangan-keterangan untuk menjelaskan dan menguatkan pendapatnya.

Namun setelah dijelaskan beberapa kali, tetap saja Imam Sibawaihi meragukannya dan malahan menyanggah apa yang disampaikan oleh gurunya itu. Dengan tanpa mengurangi rasa hormatnya terhadap sang guru, Sibawaihi mencoba menyampaikan pendapatnya dengan tenang dan argumentatif. Sibawaihi lebih setuju kalau isim yang paling ma’rifah diantara asmaaul ma’rifah itu adalah isim alam. Akan tetapi gurunya tidak terima dengan pendapat yang barusan dia utarakan dan bersikokoh dengan pendapatnya. Tapi Sibawaihi adalah seorang yang sangat jenius, dia membuktikan sendiri kebenaran pendapatnya itu dengan pendekatan empiris. Suatu malam, dia sengaja berkunjung ke rumah gurunya itu. Setelah berada didepan pintu rumah gurunya, Sibawaihi tidak langsung masuk dan menemui Imam Khalil sebagaimana biasanya. Akan tetapi dia mengetok-ngetok pintu rumah gurunya itu beberapa kali dengan harapan beliau akan bertanya siapa sebenarnya yang datang. Setelah beberapa kali diketuk, ternyata gurunya itu belum juga muncul dan bertanya.

Kemudian untuk kesekian kalinya kembali ia mengetuk pintu sampai terdengar dari dalam rumah suara Imam Khalil yang bertanya “siapa..?”. mendengar suaru tersebut, bukan main senangnya hari Imam Sibawaihi, karena memang pertanyaan itulah yang ia harapkan terlontar dari mulut Imam Khalil. Dengan segera dia menjawab “ana”. Karena merasa belum jelas, Imam Khalil kembali bertanya “ana siapa.?”, kemudian dijawab lagi oleh Imam Sibawaih “ana”. Mendengar jawaban tersebut Imam Khalil merasa penasaran siapa sebenarnya orang yang menjawab saya itu. Saking penasarannya, beliau langsung berjalan kedepan pintu dan langsung membukanya. Pada saat pintu terbuka, ternyata orang yang menjawab ana itu tak lain dan tak bukan adalah Sibawaihi murid kesayangan beliau sendiri.

Pada saat yang bersamaan Sibawaihpun tersenyum melihat gurunya yang tengah berdiri didepan pintu sembari berkata “bagaimana guru, apakah engkau hingga saat ini masih bersekukuh mengatakan Isim dhomir sebagai isim yang paling ma’rifah..?, bukannya ketika saya datang kemudian anda bertanya siapa kepada saya, terus saya jawab “ana” (isim dhomir) belum memberikan pengertian yang jelas terhadap anda..?, belum cukupkah bukti itu menunjukkan bahwa Isim A’lam lebih ma’rifah daripada isim dhomir..?. Mendengar pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan dari muridnya itu, Imam Khalil diam membisu dan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia telah dikalahkan oleh muridnya sendiri, yaitu Sibawaihi.

Kemudian kisah yang kedua, berkenaan dengan peristiwa pasca wafatnya sang tokoh ilmuwan. Cerita ini sepintas terlihat konyol dan tidak rasional, namun bagaimanapun cerita ini pernah diceritakan oleh salah seorang guru penulis sewaktu mondok di Pesantren MTI Canduang beberapa tahun yang lalu. Penulis tidak tahu apakah cerita itu memang ada sumber rujukannya atau hanya cerita fiktif belaka yang bertujuan untuk memotivasi kami dalam belajar, wallahu a’lam. Begini ceritanya : Sebagai seorang yang manusia yang mempunyai jatah umur yang terbatas, Sibawaihi akhirnya menghembuskan nafas yang terakhir pada tahun 180 Hijriah saat berumur 32 tahun. Usia yang relatif sangat muda untuk standar seorang ulama. Sebelum wafatnya beliau sempat mengasingkan diri disebuah tempat yang jauh dari keramaian (dalam buku Rahasia Sukses Fuqoha karya M.Ridwan Qayyum Said dikatakan beliau hijrah ke Persia) pasca perdebatan panjang dengan ulama-ulama Kufah yang dipimpin oleh Imam al-Kisa’i bersama sahabat-sahabatnya seperti Imam Al-Farra’ dengan Imam Khalaf. Perdebatan itu terjadi di Propinsi Baramiqah yang difasilitasi oleh gubernur Yahya bin Khalid.

Perdebatan itu melibatkan dua blok besar yang sangat terkenal dalam ilmu lughah, yaitu blok Kufah yang dipimpin oleh Imam al-Kisai dan blok Basrah yang dikomandoi oleh Imam Sibawaih. Perdebatan itu berawal dari perseteruan mereka mengenai pribahasa Arab yang berbunyi :
قد كنت أظن أن العقرب أشد لسعة من الزنبور فإذا هو هي – فإذا هو إياها
Artinya : Saya mengira bahwa kalajengking itu lebih pedih sengatannya ketimbang kumbang, ketika itu ternyata kumbang itu adalah kalajengking.

Imam Sibawaih lebih cendrung berpendapat bahwa bacaan yang benar dan yang diamalkan oleh orang Arab hanyalah bacaan rafa’ saja, akan tetapi Imam al-Kisai bersama teman-temannya memilih bahwa kedua bacaan adalah sama-sama betul dan diamalkan oleh orang Arab. Jadi bacaan yang benar itu boleh rafa’ dan boleh juga Nasab. Pada hari yang telah ditentukan, perdebatan itupun akan segera dimulai. Mula-mula blok Kufah datang lebih dahulu, kemudian beberapa saat setelah itu blok Basrah dengan dipimpin oleh Imam Sibawaihpun tiba di arena perdebatan. Setelah dibuka secara resmi oleh gubernur Yahya bin Khalid perdebatan itu dimulai.

Sesi pertama maju dari blok Basrah Imam Sibawaihi dan dari blok Kufah imam al-Farra’. Pertama imam Farra’ menghujani Imam Sibawaih dengan puluhan pertanyaan yang beruntun, dan setiap pertanyaan yang diajukan itu dibabat habis oleh Imam Sibawaih dengan jawaban yang sangat memuaskan. Tapi sayangnya sikap Imam Farra’ kurang jantan dan terkesan kurang objektif dalam berdebat. Betapa tidak setiap jawaban yang disampaikan oleh Imam Sibawaihi dengan lantangnya selalu dikatakan salah oleh Imam Farra’. Anehnya beliau tidak memberikan jawaban yang benar versi beliau secara langsung setelah menyalahkan jawaban Imam Sibawaih. Lama-kelamaan karena bosan merasa lawannya kurang sportif dalam berdebat, Imam Sibawaihpun protes untuk menghentikan perdebatan dengannya. Dan meminta supaya utusan Kufah diganti sama yang lain saja. Akhirnya permintaan beliau diperkenankan oleh panitia, dan langsung Imam Khalaf maju untuk melanjutkan perdebatan.

Tidak berbeda dengan pendahulunya Imam Khalaf juga menghujani Imam Sibawaih dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit dan nylimet, namun semuanya juga dengan gamblang dijawab tuntas oleh Imam Sibawaih. Namun kekurangsportifan utusan Kufah itu kembali muncul. Kali ini triknya adalah setiap kali Imam Sibawaih menjawab pertanyaan, selalu diminta ulangi oleh Imam Khalaf. Setiap jawaban diulang beberapa kali oleh Imam Sibawaih. Akhirnya lantaran merasa dipermainkan, beliau kembali protes terhadap panitia penyelenggara sambil menunjukkan nada yang sedikit jengkel. Dan beliau memintak agar utusan kali ini juga diganti saja dengan yang lain. Permintaan Sibawaihpun diperkenankan oleh panitia. Kali ini yang tampil langsung Imam Kisa’I sendiri, imamnya orang-orang Kufah.

Setelah berada di arena pertandingan, kedua orang imam besar itu berdialog sejenak mengenai siapa diantara mereka yang akan bertanya lebih dahulu. Imam Sibawaih dengan lantangnya mempersilahkan kepada Imam Kisa’i untuk bertanya duluan dan beliau yang menjawab. Imam Kisaipun menyetujuinya. Lalu dimulailah perdebatan yang menegangkan itu. Acara itu ternyata mendapat antusias yang besar dari anggota masyarakat yang terdiri dari orang-orang Arab sendiri yang berada disekitar arena perdebatan. Pertanyaanpun langsung dilontarkan oleh Imam Kisa’I sembari berkata “Wahai Sibawaih, menurutmu kalimat قد كنت أظن أن العقرب أشد لسعة من الزنبور فإذا هو هي – فإذا هو إياها yang benar itu apakah bacaan rafa’ saja atau boleh dua-duanya.?”, setelah diam sejenak Imam Sibawaih dengan tenang menjawab “satu-satunya bacaan yang benar pada kalimat tersebut adalah bacaan rafa’ saja, dan saya tidak pernah sekalipun mendengar orang Arab membacanya dengan bacaan nasab”.

Setelah Imam Sibawaih berhenti, secara langsung Imam Kisai membantah apa yang disampaikan oleh Imam Sibawaih itu. Beliau lebih memilih bahwa kedua bacaan (yaitu bacaan rafa’ dan nasab) adalah benar dan juga dipakai oleh orang Arab dalam keseharian mereka. Berbagai keterangan pembelaan terhadap pendapatnya masing-masing terus bergulir hingga membuat gubernur Baramiqah bingung dan akhirnya mengusulkan adanya voting dan penelitian secara langsung mengenai masalah tersebut kepada orang-orang Arab sendiri, dengan pertimbangan bahwa bahasa itu adalah bahasa mereka dan sudah semestinya mereka lebih tahu dengan bahasa mereka sendiri. usulan itupun disepakati oleh kedua belah pihak. Panitia yang ditugaskan untuk menelitipun mulai bertugas menanyai setiap orang Arab yang ada disana mengenai bacaan mana yang mereka gunakan dari kedua lafazh yang diperdebatkan tadi.

Setelah penelitian selesai dan hasilnya diumumkan dihadapan ratusan penonton, akhirnya keberuntungan berpihak kepada Imam Khalil. Mayoritas orang Arab yang ada disana mengatakan bolehnya 2 wajah yaitu bacaan nasab dan rafa’ untuk kalimat فإذا هو هي – فإذا هو إياها. Tak pelak jawaban itu membuat Imam Sibawaih terkejut dan merasa heran sekaligus tersudutkan. Karena penelitian yang beliau dapatkan selama ini berkesimpulan bahwa rafa’lah satu-satunya bacaan yang betul terhadap kalimat diatas. Tapi tak ada gunanya lagi, keputusan hakim telah tetap yaitu memenangkan pendapat Imam Kisai dan menganggap salah pendapat Imam Sibawaih. Peristiwa itu membuat hati Imam Sibawaih sempat terpukul, kenapa hasil penelitian tersebut bisa berbeda dengan kenyataan yang beliau dapati pada saat perdebatan berlangsung.

Usut punya usut, setelah beberapa hari berselang, diketahuilah suatu kebohongan publik yang direkayasa oleh blok Kufah. Kebetulan pada saat itu Imam Kisai yang notabenenya adalah imam orang-orang Kufah dibidang Nahu merupakan orang dalamnya Khalifah Harun al-Rasyid yang tengah berkuasa pada saat itu. Sementara itu seluruh warga arab yang berkumpul di arena perdebatan pada saat itu tahu dengan hal tersebut dan tidak berani berbeda pendapat dengan orang dekat khalifah tersebut (Imam Kisa’i), sehingga mereka mau saja menyetujui apa yang disampaikan olehnya walaupun sebenarnya mereka membenarkan pendapat Imam Sibawaih yang mengatakan rafa’lah satu-satunya bacaan yang betul terhadap kalimat tersebut.

Pada saat mengetahui kebohongan itu, Imam Sibawaih merasa sangat kecewa. Kenapa kebenaran itu bisa dikalahkan oleh politik yang sebenarnya tidak pantas untuk ditakuti. Akhirnya karena tidak tahan menahan hati, akhirnya beliau memutuskan untuk keluar dari Bashrah dan mengembara ke daerah Persia. Konon kabarnya perjalanan tersebut menyebabkan beliau sakit-sakitan dan akhirnya wafat beberapa bulan setelah itu. Kepergian beliau begitu cepat dan tidak disangka oleh kebanyakan masyarakat Bashrah yang ada pada saat itu. Jenazah beliaupun diurus dan diselenggarakan oleh murid-murid serta masyarakat Bashrah dengan penuh dukacita.

Setelah seluruh prosesi penyelenggaraan jenazah beliau selesai, mulai dari memandikan, mengapani, menyalatkan, serta menguburkan. Didapatlah cerita entah dari siapa (tidak ada keterangan yang jelas mengenai hal ini) adanya perdebatan yang “sengit” antara Imam Siwabawaih dengan Malaikat Mungkar Nakir sang penanya kuburan yang menjadi pengeksekusi yang sangat ditakuti itu. Setelah kedatangan Malaikat, sebagaimana biasa setiap mayat baik muslim ataupun kafir, baik laki-laki ataupun perempuan, semuanya tidak akan ada yang luput dari interogasi sang “pengacara ulung” itu. Setiap orang yang baru saja dikuburkan pasti akan keder manakala berhadapan dengan 2 orang malaikat tersebut, tapi tidak begitu halnya dengan Imam Sibawaih. Beliau kelihatan nyantai dan tidak merasa risih sedikitpun, bahkan terlihat agak menantang kedua Malaikat tersebut. Setelah beberapa saat kedatangannya, Malaikatpun bertanya kepada Imam Sibawaih dengan pertanyaan yang biasa ditanyakan kepada setiap orang “ma rabbuka..?

Mendengar pertanyaan tersebut Imam Sibawaih tidak lantas langsung menjawab pertanyaan tersebut, malahan dengan beraninya beliau balik bertanya kepada Malaikat Mungkar dan Nakir dengan pertanyaan yang sangat mengejutkan keduanya. Pertanyaan itu adalah “maa shighatu “ma”..? wa maa makaanuhu fi tarkiibi al-kalam..? wa kadzaalika maa I’raabu “rabbu” wa maa I’raabu “ka”. Mendengar pertanyaannya tidak dijawab oleh Imam Sibawaih dan bahkan malah balik bertanya, kedua malaikat itu bingung tak karuan. Baru kali ini ada orang yang ketika ditanya, bukannya langsung menjawab, tapi malahan balik bertanya tentang I’rab lafazh pertanyaan yang diajukan kepadanya. Akhirnya karena bingung mau berbuat apa, kedua malaikat itu memutuskan untuk kembali menghadap Allah untuk menceritakan kejadian aneh yang barusan mereka alami secara detail kepadaNya. Dan bahkan sempat keduanya melapor kepada Allah bahwa “gawat wahai rabb kami, ternyata pertanyaan kubur yang akan kami tanyakan kepada hambaMu yang bernama Imam Sibawaih telah bocor duluan, sehingga pas kami tanya tentang siapa tuhannya, dia malah membalasnya dengan memberikan pertanyaan kepada kami, sehingga kami memutuskan untuk tidak melanjutkan pertanyaan selanjutnya kepadanya.

Sampai disini cerita itu penulis riwayatkan dari Al-Ust Luqman pada saat penulis berada di kelas 3 MTI waktu itu, dan tidak ada keterangan dari beliau mengenai rujukan pengambilan hikayat tersebut. Kepada para pembaca dipersilahkan untuk mengkritisinya, dan kalau memang ada diantara pembaca yang tau rujukan dari cerita-cerita diatas silahkan menyampaikan langsung lewat komentar dibawah ini..tafaddhol..!!!
Semoga bermanfaat..!!

8 komentar:

  1. Blogger: إحياء الدراسة والكتابة - Poskan Komentar
    longchamp

    BalasHapus
  2. ceritanya sangat bagus sebenarnya,,, setelah saya membacanya kyaknya banyak yang kurang detail gitu,,, bisa lebih perinci lagi lbih bagus,,

    BalasHapus
  3. sebenarnya ceritanya sangat bagus, maaf sebelumnya ya,,,, tapi kyaknya masih kurang detail,,,, :D

    BalasHapus
  4. Itu mungkin hasil dari mimpi ulama wallahu aklam. Jika tidak, manakan kita mampu tahu kan.. Ermm boleh jadi, sebab Imam Sibawayh semacam beroleh sa'adah tidak syaqawah, boleh jadi kerana beliau membela pendapatnya sendiri, seperti cerita yang pertama, yang mengatakan a'roful maarif adlh isim 'alam. Bukan dhomir. Jadi seolah beliau membela kalimah "Allah" sbg isim yg paling a'rof dalam segala nama-nama yang ada dlm dunia seluruh nya.

    Allahu aklam.

    BalasHapus
  5. Itu mungkin hasil dari mimpi ulama wallahu aklam. Jika tidak, manakan kita mampu tahu kan.. Ermm boleh jadi, sebab Imam Sibawayh semacam beroleh sa'adah tidak syaqawah, boleh jadi kerana beliau membela pendapatnya sendiri, seperti cerita yang pertama, yang mengatakan a'roful maarif adlh isim 'alam. Bukan dhomir. Jadi seolah beliau membela kalimah "Allah" sbg isim yg paling a'rof dalam segala nama-nama yang ada dlm dunia seluruh nya.

    Allahu aklam.

    BalasHapus

Mohon kritik dan sarannya.!

صاحب الكتابة

Foto saya
Bukittinggi, Agam, Indonesia
Seorang pelajar yang tengah berkontemplasi dalam pencarian jatidiri dan ilmu pengetahuan, walau hingga saat ini ilmu yang dia harapkan terasa masih dangkal dan jauh dari kesempurnaan. Dia lahir pada hari Kamis pagi, tanggal 22 Februari 1990 atau bertepatan dengan 26 Rajab 1410 Hijriah. Diberi nama dengan Yunal Isra bin Syamsul Bahri dan biasa dipanggil dengan sebutan Yunal/Isra/Inal. Pendidikan pertama yang pernah dijalaninya adalah Pendidikan TK pada tahun 1996, kemudian dilanjutkan ke SD 01 Baso dan tamat pada tahun 2002. Setelah itu memutuskan untuk fokus mendalami ilmu-ilmu keislaman di MTI Canduang dan tamat pada tahun 2009. Setahun kemudian ia meneruskan petualangan intelektualnya di program S1 Fakultas Dirasah Islamiyyah UIN Syarif Hidayatullah dan Darus-Sunnah International Institute For Hadith Sciences Jakarta. Berharap semoga bisa menjadi orang yang bermanfaat untuk manusia lain dan diredoi orang tua dan tuhannya, amien.! Fokus kajiannya sekarang "al-Muhaafazhah A'la al-Qadiimi al-Shaalih, wa al-Akhdzu bi al-Jadiidi al-Ashlah".

Terima kasih atas kunjungannya.........!!!!!!

نحمدك اللهم منزل الآيات تبصرة لأولى الألباب ورافع الدلالات عبرة لتزيل بها عن القلوب الحجاب ونشكرك شرعت الحلال والحرام وأنزلت الكتاب وجعلته هدى لكل خير يرام ونصلى ونسلم على سيدنا محمد المؤيد من الله بأجلى النيرات والساطع نوره في أفق الهداية بما يزيح الريب والمدلهمات وعلى آله خير آل وأصحابه ومن لهم مقتف أوموال