من
عرف نفسه فقد عرف ربه
Barang siapa
yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya
Begitu kira-kira terjemahan bebas dari ungkapan di atas. Sebuah pernyataan
yang sangat masyhur di kalangan praktisi
tasauf di nusantara bahkan dunia. Banyak yang mempertanyakan otentesitas
ungkapan tersebut sebagai hadis Nabi,
benarkah ia sebuah petuah yang
langsung disampaikan oleh Nabi SAW, ataukah hanya sebuah kata-kata hikmah seorang ulama
yang kemudian dinisbatkan kepada Nabi SAW. Lalu bagaimana pula dengan pemaknaannya, apa
relasi antara mengenal diri sendiri dengan mengenal Tuhan? Sejauh mana
pengenalan seseorang terhadap dirinya bisa mengantarkannya untuk mengenal
Tuhannya? Inilah beberapa persoalan yang akan dijabarkan melalui tulisan sederhana ini.
Sejumlah sarjana klasik seperti al-Nawawi, Ibn Taimiyah,
al-Zarkasyi, Ibn Athaillah dan lain-lain, telah mengadakan penelitian serius terkait
ungkapan tersebut. Bahkan al-Suyuthi menulisnya secara panjang lebar dalam karyanya
yang terkenal al-Hawi li al-Fatawa dalam sub bahasan al-Qaul
al-Asybah fi Hadits Man ‘Arafa Nafsahu Faqad ‘Arafa Rabbahu. Terkait dengan
persoalan otentisitas, al-Nawawi menegaskan bahwa ia tidak mempunyai validitas
sebagai hadis nabi. Ketika ditanya terkait ungkapan tersebut, beliau menjawab “innahu
laisa bi tsabitin”. Sementara itu Ibn Taimiyah menilainya sebagai hadis maudhu’.
Sedangkan al-Zarkasyi dalam hadis-hadis masyhurnya, mengutip perkataan Imam
al-Sam’ani yang menyebutkan bahwa ungkapan tersebut merupakan perkataan dari
seorang ulama sufi terkenal yang bernama Yahya ibn Muadz al-Razi.
al-Suyuthi tidak memberikan komentar apapun terkait kutipan yang dia kutip di atas.
Penulis kurang begitu mengetahui apa alasan al-Suyuthi tidak mentarjih
beberapa pendapat tersebut, namun besar kemungkinan pendapat beliau tidak
jauh berbeda dengan pendapat tiga seniornya tersebut. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pertanyaan di atas bukanlah hadis nabi, melainkan hanya
sebuah perkataan salah seorang ulama yang bernama Yahya ibn Muadz al-Razi yang
terlanjur dianggap sebagai “hadis nabi” oleh sebagian kalangan. Walaupun
maknanya benar, tapi setidaknya pembacaan dua orang ulama ahli hadis di atas,
yaitu al-Nawawi dan al-Suyuthi cukup menjadi landasan bagi kita untuk tidak
menyebutnya sebagai sebuah hadis, walaupun dari segi makna ia mempunyai cakupan
dan kandungan yang sangat dalam sebagaimana yang akan dijelaskan.
Kalau persoalan ini sudah terjawab, lantas bagaimana cara kita menyikapi
sebagian kalangan yang sudah terlanjur menganggapnya sebagai hadis? Perlukah
kita melarang mereka untuk menyampaikan ungkapan tersebut dalam kajian-kajian
mereka? Dalam hal ini, saya lebih setuju dengan sikap guru saya dalam menjawab
problem-problem seperti ini, Prof. Dr. K.H Ali Mustafa Ya’qub, yaitu dengan
memberitahukan kepada mereka bahwa itu bukanlah hadis nabi, namun hanya sebatas
ucapan seorang ulama semata. Hal ini bukan berarti kita melarang mereka untuk
menyampaikan isi kandungan dari ungkapan tersebut, akan tetapi hanya sebagai
langkah antisipatif terhadap ancaman yang pernah disampaikan oleh Rasulullah
SAW dalam sebuah hadis sahihnya yang menyebutkan “barangsiapa yang berdusta
atas namaku, maka hendaklah ia mempersiapkan dirinya untuk menduduki
singgasananya di dalam neraka”. Mereka boleh menyampaikan apapun terkait
jabaran ungkapan tersebut asalkan tidak menganggapnya sebagai hadis nabi.
Apabila hal ini diaplikasikan,
maka selesailah masalah terkait ungkapan tersebut.
Selanjutnya, berbicara mengenai makna ungkapan tersebut, maka al-Suyuthi
telah mengutip beberapa pendapat ulama tentang hal itu, berikut beberapa di
antaranya :
1. Al-Nawawi dalam
beberapa fatwanya menjelaskan bahwa makna ungkapan tersebut adalah barangsiapa
yang mengetahui kelemahan dirinya serta hajat/ketergantungannya terhadap Allah
SWT, maka secara otomatis dia akan mengenal kemahakuasaan Tuhannya dengan
kesempurnaan dan sifat-sifat-Nya yang Maha Agung.
2.
Syekh Tajuddin
Ibn ‘Athaillah dalam kitabnya Lathaif al-Minan menjelaskan bahwa ia
mendengar gurunya Syekh Abu al-Abbas al-Mursi berkata “hadis ini mempunyai dua
macam pengertian. Pertama, barangsiapa yang mengetahui sifat dirinya
yang selalu diliputi oleh kelemahan dan ketergantungan kepada Allah SWT,
niscaya ia akan kenal dengan kemahaberkuasaan, kemuliaan, serta keagungan Allah
SWT. Sehingga dalam proses yang pertama ini seseorang harus mengenal dirinya
terlebih dahulu,
baru setelah itu dia bisa mengenal Tuhannya. Ini merupakan jalan orang-orang al-salikin
(orang-orang yang tengah dalam perjalanan menuju Allah SWT). Kedua,
barangsiapa yang mengenal dirinya, maka hal tersebut merupakan
isyarat terhadap keyakinan bahwa ia telah mengenal Allah sebelumnya. Proses seperti
ini biasanya diperoleh oleh mereka yang dijuluki dengan al-Majzuubin (orang-orang
yang fana dalam berzikir kepada Allah).
3.
Abu Thalib al-Makki dalam Qut al-Qulub-nya
menyatakan bahwa ungkapan tersebut mempunyai pengertian bahwa ketika seseorang
mengenal sifat-sifat dirinya melalui interaksi yang ia lakukan dengan orang
lain, ia merasa benci ketika mereka mengkritisi perbuatannya ataupun mencela
apa yang ia perbuat, maka secara otomatis ia akan mengetahui sifat Tuhan-nya,
yaitu Ia benci terhadap keluhan-keluhan yang dilakukan seorang hamba terhadap
ciptaan-Nya. Pada akhirnya seseorang tersebut akan selalu bersikap rida dengan
ketetapan-ketetapan yang Allah putuskan untuknya dan berusaha melakukan segala
hal yang disukai oleh-Nya.
4. Syekh Izzuddin
berkata “tampak jelas bagiku rahasia yang terkandung dalam ungkapan tersebut
yang harus dikupas dan diperjelas substansinya, yaitu bahwa Allah SWT
menempatkan ruh yang bersifat metafisik ke dalam tubuh yang berbentuk fisik ini
(dalam kata lain Ia meletakkan sebuah sifat ketuhanan yang Maha Halus ke dalam
segenap sifat/tabiat manusia) sebagai bukti akan keesaan dan sifat
ketuhanan-Nya”. Hal ini bisa dibuktikan lewat analisa sebagai berikut :
a. Ketika
seseorang manusia melihat bahwa jasadnya (sisi kemanusiaannya) membutuhkan
sesuatu yang harus mengatur dan mengendalikannya, maka secara otomatis ia akan mengetahui
bahwa alam ini pasti mempunyai Zat yang mengatur dan mengendalikannya juga,
yaitu Allah SWT.
b.
Ketika
seseorang mengetahui bahwa ruh merupakan satu-satunya penggerak jasad (secara
lahiriah), maka ia secara otomatis juga akan mengetahui bahwa pengatur alam ini
juga esa (Allah SWT), Ia tidak mungkin dua, tiga, atau lebih sebagaimana yang
Ia firmankan dalam ayat-ayat-Nya Q.S Al-Anbiya : 22, Q.S Al-Isra’ : 42-43, dan
al-Mukminun : 91.
c. Ketika tubuh
ini tidak dapat bergerak kecuali dengan iradah dan kendali ruh, maka
seseorang secara otomatis juga akan mengetahui bahwa Allah SWT adalah zat yang
Maha Berkehendak terhadap segala sesuatu dan pengendali terhadap segala
pengendali kebaikan ataupun keburukan di alam ini.
d. Ketika
bagian-bagian tubuh tidak dapat bergerak tanpa sepengetahuan ruh dan spirit
yang ia munculkan terhadap tubuh, sehingga tidak satupun gerakan tubuh yang
luput dari kendali ruh, maka seseorang akan mengetahui bahwa tidak satupun
perkara di alam ini yang luput dari perhatian Allah SWT.
e. Ketika
seseorang mengetahui bahwa ruh merupakan zat yang paling dekat dengan tubuhnya,
maka secara otomatis ia akan meyakini bahwa tidak ada Zat yang paling dekat
terhadap hambanya selain Allah SWT. Namun jarak dekat di sini bukan dalam artian dekat secara fisik/jarak
lahiriah, karena Allah tidak terikat dengan jarak dan waktu.
f. Ketika
diketahui bahwa ruh sudah ada sebelum adanya tubuh dan tetap akan ada setelah
hancurnya tubuh, maka seseorang akan mengetahui bahwa Allah SWT sudah ada
sebelum adanya makhluk dan tetap akan ada buat selama-lamanya setelah binasanya
makhluk. Karena Allah bersifat kekal dan abadi,
mahasuci Allah dari kehanduran dan kebinasaan.
g. Ketika
seseorang mengetahui bahwa ruh yang bersemayam di dalam tubuh tidak diketahui kaifiyyah
(cara pergerakannya), maka secara otomatis ia akan mengetahui bahwa Allah
mahasuci dari segala kaifiyyah.
h.
Ketika
seseorang mengetahui bahwa keberadaan ruh di dalam tubuh tidak diketahui di
mana tempatnya, maka secara otomatis ia akan mengetahui bahwa Allah mahasuci
dari segala tempat, waktu dan kaifiyyah.
i. Ketika
diketahui bahwa ruh yang berada di dalam jasad itu tidak dapat dilihat dengan
penglihatan lahir dan ia tidak mempunyai bentuk, maka secara otomatis seseorang
akan mengetahui bahwa Allah SWT tidak bisa ditangkap oleh indra lahiriah dan Ia
juga tidak mempunyai bentuk sebagaimana halnya matahari, bulan, bintang, dan
makhluk lainnya. Hal ini juga
diperkuat oleh firman-Nya dalam Surah al-Syura ayat 11.
j. Ketika
diketahui bahwa ruh itu tidak bisa dirasa, diindrai, disentuh, maka seseorang
akan mengetahui bahwa Allah mahasuci dari segala sifat makhluk seperti bisa
diraba, disentuh, dan berbentuk materi. Ini semua merupakan makna dari ungkapan Man
‘Arafa Nafsahu Faqad ‘Arafa Rabbahu.
Al-Suyuthi secara pribadi mempunyai pandangan sendiri dalam hal
ini. Ia menjelaskan ketika seseorang mengetahui bahwa
sifat-sifat yang melekat di dalam dirinya merupakan kebalikan dari sifat-sifat
Allah SWT dan ketika ia mengetahui bahwa
dirinya akan hancur, niscaya dia akan sadar bahwa Allah mempunyai sifat baqa’ (abadi).
Begitu juga ketika ia mengetahui dirinya diliputi oleh dosa dan kesalahan, maka
ia akan menyadari bahwa Allah bersifat Maha Sempurna dan Maha Benar. Seterusnya orang yang mengetahui
kondisi dirinya sebagaimana adanya maka ia akan mengenal Tuhannya sebagaimana
ada-Nya. Tesis ini akan menyimpulkan bahwa “untuk mengenal hakikat dirinya sendiri saja
manusia tidak mampu melakukannya, apalagi untuk mengenal hakikat Tuhannya
sebagaimana yang Ia inginkan, pasti mereka lebih tidak akan mampu lagi untuk
melakukannya”. Pada akhirnya ia akan
mengakui kebesaran Tuhan dengan sendirinya, berdasarkan kelemahan yang dia
miliki dalam dirinya.
Al-Suyuthi juga mengomentari, seolah-olah ungkapan tersebut
mengaitkan sesuatu hal yang mustahil dengan perkara mustahil lainnya.
Sebagaimana diketahui dari uraian di atas bahwa seseorang manusia mustahil bisa
mengetahui hal ihwal dirinya sendiri secara lengkap dan paripurna, padahal
dirinya adalah zat yang paling dekat dengannya. Sehingga bagaimana mungkin ia
dengan sifat kehambaannya bisa menyifati Tuhannya dengan kaif (cara),
tempat, dan waktu padahal Dia (Allah SWT) mahasuci dari itu semua. Hal senada
juga diungkapkan oleh Syekh al-Qunawi, ia menyitir adanya pendapat sebagian
ulama terkait ungkapan di atas, yaitu pengaitan sesuatu dengan hal lain yang tidak
ada. Karena Allah SWT telah
menutup pintu untuk manusia dalam memahami hakikat ruh itu sendiri sebagaimana dalam
firman-Nya Q.S. al-Isra’ : 85.
Sebagai kesimpulan tulisan ini adalah bahwa ungkapan di atas walau tidak
otentik sebagai hadis nabi, namun mempunyai cakupan
makna yang luas dan dalam. Beberapa ulama seperti Abu Thalib al-Makki, al-Nawawi,
Ibn Taimiyah, al-Zarkasyi, Syekh Ibn Athaillah, al-Qunawi, dan lain-lain telah mencurahkan
perhatiannya dalam memaknai perkataan Yahya ibn Muadz al-Razi tersebut.
Sebagian mereka ada yang memahaminya secara sederhana seperti al-Nawawi, Ibn
‘Athaillah, Abu Thalib al-Makki, yaitu pengenalan seseorang terhadap hakikat dirinya
akan mengantarkannya ke tahapan mengenal Tuhannya. Sebagian yang lain ada yang
merincinya seperti yang dilakukan oleh Syekh ‘Izzuddin dengan melampirkan 10
bukti-bukti terkait makna ungkapan tersebut. Al-Suyuthi sendiri cendrung
menilai bahwa ungkapan tersebut termasuk ke dalam bab mengaitkan sesuatu yang
mustahil dengan perkara mustahil lainnya. Begitu juga dengan al-Qunawi
menganggapnya sebagai pengaitan sesuatu dengan hal yang tidak ada. Allahu A’lam
Reverensi : al-Hawi li al-Fatawa, Bab al-Qaul al-Asybah fi Hadits Man 'Arafa Nafsahu faqad 'Arafa Rabbahu karya Imam Jalaluddin al-Suyuthi.
Jazakumullahukhairankatsira.,saya menjadi lebih faham makna hadis ini. Barakallaahu. Amiin.
BalasHapusJika benar hadith ini palsu, siapakah yang bersama baginda rasullullah ketika menyatakan hadith ini? Mereka atau dia?
BalasHapus