Ketika masih
duduk di bangku sekolah dasar kurang lebih 15 tahun yang lalu, penulis sempat
bercita-cita untuk menjadi seorang dokter supaya bisa menolong orang lain yang
sedang menderita suatu penyakit agar sembuh seperti sedia kala. Cita-cita ini
muncul dan mengalir apa adanya, tanpa di-setting sedemikian rupa ataupun
direkayasa. Penulis berpikir betapa besarnya jasa seorang dokter ketika ia bisa
menyelamatkan nyawa orang lain dengan ilmu yang dia miliki, “begitu mulia”
begitu ujar penulis di dalam hati. Namun seiring berjalannya waktu cita-cita
menjadi dokter pun hanya tinggal kenangan dan akhirnya kandas di tengah jalan.
Selain karena biaya yang dibutuhkan dalam bidang ini lumayan besar, penulis
juga mendapatkan sokongan ide dari berbagai pihak agar fokus di bidang ilmu-ilmu
keagamaan.
Pada saat itu,
tokoh-tokoh agama yang berjiwa nasionalis di daerah penulis memang sangat
sedikit. Sehingga prilaku-prilaku yang amoral serta tidak terpuji lainnya jamak
diperbuat oleh masyarakat saat itu. Hal inilah yang pada akhirnya mendorong
penulis untuk menfokuskan diri menuntut ilmu-ilmu agama dengan niat awal bisa
mengubah cara pandang dan hidup masyarakat di kampung penulis pada masa-masa
yang akan datang. Akhirnya penulis putuskan untuk melanjutkan pendidikan di
tingkat menengah pertama, menengah atas, sampai akhirnya jenjang strata satu
(s-1) di Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Jakarta dengan konsentrasi Syariah Fikih.
Alhamdulillah, dalam semua jenjang yang penulis lalui mendapatkan hasil
yang memuaskan dan memperoleh penghargaan sebagai siswa dan mahasiswa terbaik.
Boleh dibilang prestasi terbesar penulis saat ini hanyalah hal tersebut, yaitu
menjadi lulusan terbaik di semua jenjang pendidikan yang ada.
Namun penulis
kembali memutar otak sembari memikirkan ulang orientasi awal penulis dalam
menuntut ilmu dari pengalaman sekian tahun belajar. “Cukupkah keberhasilan
itu hanya dengan mendapatkan penghargaan sebagai siswa dan mahasiswa terbaik
semata?” gumam penulis di dalam hati. Pertanyaan inilah yang saat ini senantiasa
bercokol dalam pikiran penulis. Banyak orang yang menganggap bahwa penulis
telah berhasil dalam hal pendidikan. Banyak teman, keluarga, serta masyarakat
yang mengucapkan selamat atas keberhasilan penulis dalam menempuh studi, baik
di bangku sekolah atau pun universitas. Namun entah kenapa penulis
pribadi merasa kata-kata “sukses” itu masih jauh dari hidup penulis. Penulis
merasakan masih ada yang kurang dalam diri ini yang membuat kata-kata tersebut
belum layak penulis sandang.
Sebagaimana
yang penulis singgung di atas, orientasi penulis ketika memilih ilmu agama
sebagai konsentrasi bukanlah sebuah keputusan konyol tanpa sebab. Penulis ingin
mengaplikasikan ilmu-ilmu yang penulis tuntut selama ini dalam kehidupan
masyarakat yang lebih luas. Tidak hanya di masyarakat di kampung halaman
penulis, namun juga di masyarakat lain yang lebih besar. Namun kendala yang
penulis hadapi sekarang adalah kurangnya penghargaan terhadap para da’i yang
belum menyandang gelar-gelar tertentu sebagai simbol keilmuan formal saat ini. Setinggi
apapun keilmuan seorang da’i di daerah penulis, namun kalau belum mempunyai
titel tertentu dalam pendidikan formal, apalagi masih strata 1, maka “suara”
da’i yang bersangkutan tidak akan didengar. Oleh sebab itu, penulis harus
meruntuhkan terlebih dahulu anggapan masyarakat penulis yang seperti itu. Salah
satu langkah kongkrit yang harus ditempuh adalah melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi. Selain hal ini akan mematahkan asumsi masyarakat
yang seperti penulis jelaskan di atas, akan tetapi juga bisa memperkaya wawasan
dan kemampuan penulis dalam melaksanakan dakwah nantinya.
Dengan
demikian kesuksesan menurut penulis sangat bergantung kepada sejauh mana
pengaplikasian ilmu pengetahuan yang sudah dituntut di bangku akademik terhadap
objek nyata di lapangan seperti masyarakat awam atau pun masyarakat berbangsa
dan bernegara secara umum. Tanpa itu semua, orientasi pembelajaran yang
dilakukan oleh seseorang, menurut penulis, masih jauh dari kata-kata “sukses”
tersebut. Di samping itu, penulis juga berkeinginan untuk membangun metode
dakwah yang bersifat nasionalis, berwawasan sosial, mengubah opini-opini miring
yang beredar di tengah-tengah masyarakat menyangkut kedudukan dan posisi negara
Indonesia yang menurut mereka belum islami menuju ideologi yang
ber-Ketuhanan yang Maha Esa dengan pancasila sebagai dasar negara.
Penulis juga merasa
ungkapan Imam al-Syafi’i seorang ulama abad ke-2 hijriah yang menyebutkan “Pada
saat aku mendapatkan ilmu baru, maka ketika itu juga aku memahami betapa
bodohnya aku” adalah benar adanya. Sudah saatnya orientasi menuntut ilmu
diubah ke arah yang lebih dari sekedar kegiatan formalitas yang berorientasikan
pekerjaan semata, tanpa mengandung asas manfaat untuk kehidupan sosial
kemasyarakatan. Hal ini bukan berarti penulis beranggapan bahwa hanya bidang
penulislah satu-satunya bidang yang paling bermanfaat, namun lebih dari itu
penulis berkeyakinan bahwa setiap ilmu yang dituntut pasti mengandung asas
manfaat sosial tergantung pelakunya ingin mengarahkan spesialisasinya ke arah
mana. Akhirnya penulis berharap semoga kesuksesan yang penulis inginkan
nantinya dapat tercapai dan cita-cita penulis untuk mengaplikasikan ilmu yang
dituntut tepat sasaran. Karena manusia yang paling bermanfaat adalah mereka
yang paling banyak menorehkan manfaat buat manusia lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon kritik dan sarannya.!