Pada saat wisuda UIN yang
ke-93 kemaren, alhamdulillah aku[1]
dinobatkan sebagai mahasiswa terbaik dari Fakultas Dirasat Islamiyah (lihat
selengkapnya di link http://www.uinjkt.ac.id/index.php/arsip-berita-utama/2802-wisuda-sarjana-ke-93-dua-wisudawati-raih-ipk-400.html).
Itu semua tidak terlepas dari jasa besar orangtua, guru, dosen, teman dan
orang-orang yang tidak bisa ku sebutkan secara satu persatu di sini. Beberapa
hari sebelum pelaksanaan wisuda tersebut, aku diminta oleh panitia wisuda untuk
mengirimkan profil singkat serta cerita-cerita yang mengesankan selama
menjalani kuliah. Setelah mereviuw sejenak, akhirnya ada beberapa kisah yang
sempat ku ingat, di antaranya :
*Terjatuh sebelum Mengikuti UAS ^_^
Jam
menunjukkan angka 12.30 WIB, artinya kurang lebih setengah
jam lagi UAS semester ganjil (satu) akan segera dimulai. Tidak seperti biasanya,
siang itu begitu panas dengan terik matahari yang seakan membakar apapun yang
disinarinya. Setelah Salat Zuhur berjamaah di pondok tercinta (Darus-Sunnah),
aku pun bersiap-siap berangkat ke kampus pengharapan (Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Jakarta) dengan
segenap harapan yang tersimpan di dalam dada, “semoga
ujian hari ini sukses”, doaku dalam hati. Sembari membereskan peralatan
tulis buat UAS hari itu, aku pun bertolak menuju tempat parkiran yang berada
persis di depan pondok. Beberapa orang teman juga melakukan hal yang sama,
namun di antara mereka ada yang mengendarai motor sehingga tidak harus
bercapek-capek untuk mengenjotnya. Setelah
persiapan matang dengan posisi “siap tempur”, aku genjot sepeda bututku hingga
meninggalkan halaman pondok. Tidak lama berselang (kira-kira 3 menitan), aku
merasakan ada sesuatu yang
aneh dengan sepedaku. Ban bagian depannya mengeluarkan bunyi yang tidak biasa.
Aku berhenti sejenak dan mengecek sumber suara tersebut. Setelah diperiksa,
ternyata tidak ada sedikitpun bagian bannya yang bermasalah. Karena merasa
tidak ada apa-apa, aku putuskan untuk melanjutkan perjalanan.
Ada sedikit tanjakan di depan, namun aku yakin tidak ada persoalan sehingga genjotan pun lebih ku perkuat. Tiba-tiba saja bagian preload adjuster (bagian di bawah stang) sepeda yang ku naiki agak melebar dan laju sepeda pun agak kurang beraturan. Perjalanan tetap ku teruskan, tapi apa hendak dikata musibah itu pun datang menimpa. Bagian stang yang melebar tadi ternyata patah dan aku pun terjerembab jatuh bersama sepeda ”kebanggaan” ku itu. Hampir saja ujung stang yang patah tersebut menusuk bagian dadaku, tapi Alhamdulillah Allah SWT masih menyelamatkanku, stang tersebut tiba-tiba memutar ke samping tubuhku. “Astagfirullah” secara refleks terucap dari bibirku, dengan sekuat tenaga aku segera bangkit dan membersihkan pakaian yang sedikit kotor gara-gara terkena debu dari tanah jalanan. Sayangnya pada saat itu tidak ada siapa-siapa, sehingga aku harus berdiri sendiri serta harus melanjutkan perjalanan dengan kondisi yang agak sedikit lemah. Aku bersyukur tidak ada bagian tubuhku yang terluka, sehingga hal itu mendorongku untuk terus berjalan. Aku tinggalkan sepeda yang sudah “hancur” itu di pinggir jalan, sambil setengah berlari aku teruskan tekad untuk mengikuti UAS hari itu. Tepat pada pukul 12.55 WIB aku sampai di kelas dengan keringat yang bercucuran dari sekujur tubuh. Sebagian teman ada yang bertanya “kamu kenapa, Nal?”, dengan tersenyum kecut ku menjawab “biasa, cuacanya panas buanget”. Tidak beberapa lama kemudian, pengawas memasuki ruang ujian dan aku kembali melanjutkan petualangan. ^_^
Ada sedikit tanjakan di depan, namun aku yakin tidak ada persoalan sehingga genjotan pun lebih ku perkuat. Tiba-tiba saja bagian preload adjuster (bagian di bawah stang) sepeda yang ku naiki agak melebar dan laju sepeda pun agak kurang beraturan. Perjalanan tetap ku teruskan, tapi apa hendak dikata musibah itu pun datang menimpa. Bagian stang yang melebar tadi ternyata patah dan aku pun terjerembab jatuh bersama sepeda ”kebanggaan” ku itu. Hampir saja ujung stang yang patah tersebut menusuk bagian dadaku, tapi Alhamdulillah Allah SWT masih menyelamatkanku, stang tersebut tiba-tiba memutar ke samping tubuhku. “Astagfirullah” secara refleks terucap dari bibirku, dengan sekuat tenaga aku segera bangkit dan membersihkan pakaian yang sedikit kotor gara-gara terkena debu dari tanah jalanan. Sayangnya pada saat itu tidak ada siapa-siapa, sehingga aku harus berdiri sendiri serta harus melanjutkan perjalanan dengan kondisi yang agak sedikit lemah. Aku bersyukur tidak ada bagian tubuhku yang terluka, sehingga hal itu mendorongku untuk terus berjalan. Aku tinggalkan sepeda yang sudah “hancur” itu di pinggir jalan, sambil setengah berlari aku teruskan tekad untuk mengikuti UAS hari itu. Tepat pada pukul 12.55 WIB aku sampai di kelas dengan keringat yang bercucuran dari sekujur tubuh. Sebagian teman ada yang bertanya “kamu kenapa, Nal?”, dengan tersenyum kecut ku menjawab “biasa, cuacanya panas buanget”. Tidak beberapa lama kemudian, pengawas memasuki ruang ujian dan aku kembali melanjutkan petualangan. ^_^
*Masuk Pesantren
Karena Orangtua ^_^
Aku
adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Dua orang kakak perempuanku sudah berumah
tangga kurang lebih enam tahun
yang lalu. Mereka bekerja masing-masing sebagai perawat dan pegawai apotik di
sebuah rumah sakit di daerahku. Karena latar belakang pendidikan keduanya yang
bukan dari jurusan agama, membuat ayahku “memaksa”ku untuk
mendalami agama sebagai perwakilan
keluarga kata beliau. Awalnya aku tidak begitu berminat untuk masuk
pesantren, lalu melanjutkan perkuliahan di UIN Jakarta juga dengan jurusan
agama. Padahal prestasiku di bidang pelajaran umum ketika di SD tidak terlalu
buruk, bahkan beberapa orang guru SD ku merekomendasikan supaya aku melanjutkan pendidikan ke SMP terbaik yang ada di daerahku saat itu.
Namun karena “desakan” dan “paksaan” ayah akhirnya aku memutuskan untuk masuk
pesantren dengan segala konsekwensi yang harus ku hadapi nantinya. Namun pada
akhirnya aku bersyukur dan sadar bahwa ternyata pilihan ayah sangat tepat.
Berkat anjuran beliau, aku dapat mengenal Islam secara lebih dalam dan yang
terpenting bisa menjaga diri dari hal-hal buruk sebagaimana yang banyak
dilakukan oleh anak-anak remaja
saat ini. Satu kalimat buat kedua orangtuaku “terima kasih atas jasa besarmu,
semoga Allah SWT membalasimu dengan balasan terbaik di akhirat kelak,
Amien.!!”.
*Sekelumit Pesan yang Amat Berkesan ^_^
Orangtuaku
pernah berpesan “Kami selalu berdoa buat keberhasilanmu, Nak.!”. Pesan
itu memberi motivasi tersendiri bagiku bahwa aku harus memberikan yang terbaik
buat mereka. Ya, setidaknya persembahan menjadi wisudawan terbaik ini bisa
menjadi hadiah buat mereka, walau sebenarnya hal itu
bukanlah apa-apa bila dibandingkan dengan
pengorbanan mereka untukku.
Salah seorang guruku
pernah berpesan “Pergunakanlah waktu yang ada sekarang sebaik mungkin,
karena kalau sudah sibuk atau berkeluarga tidak akan ada lagi waktu bagimu
untuk membaca ataupun meneliti.!”
Salah seorang kakak
perempuanku rela tidak kuliah terlebih dahulu hanya untuk memberikan kesempatan
bagiku untuk kuliah. Setidaknya hal itu menjadi pesan tersirat yang
mendorongku untuk selalu
semangat untuk menyelesaikan pendidikan.
Selain
itu jarak yang lumayan jauh (karena
aku berasal dari Padang, Sumbar) juga menjadi stimulan tersendiri buat “keberhasilan”ku. “Percuma merantau jauh-jauh kalau tidak akan
membawa apa-apa”, itulah prinsipku.
*Peristiwa yang mengharukan ^_^
Pada akhir semester 6, aku
sempat menderita penyakit DBD sehingga harus dirawat di rumah sakit UIN Jakarta selama kurang lebih 1 minggu. Karena takut
akan membuat khawatir orangtua, aku tidak memberitahukan tentang kondisiku yang
tengah lemah tak berdaya itu kepada mereka. Berkat
usulan dari beberapa orang teman, akhirnya pada hari ke-4 aku putuskan untuk memberitahu mereka. Aku
sangat terharu dengan respon yang mereka berikan, sehingga mulai saat itu aku
bertekad tidak akan menyia-nyiakan mereka sampai kapanpun dan akan
membahagiakan mereka, InsyaAllah.
*Selama
menjalani studi di UIN Jakarta, beberapa orang dari keluargaku ada yang
dipanggil oleh Allah SWT, di antaranya dua orang keponakan dan satu orang kakak
sepupu. Namun karena jauhnya jarak dan program studi yang tidak bisa
ditinggalkan, akhirnya aku hanya bisa berdoa dari jauh untuk arwah mereka dan belum bisa memberikan sesuatu yang
berarti buat mereka. Semoga di waktu-waktu yang akan datang aku bisa
mendedikasikan ilmu yang ada ini untuk keluarga, masyarakat di kampungku, bangsa,
Negara, dan agama. Amien.!
[1].Anak ketiga dari pasangan suami-istri Syamsul Bahri dengan Asnimar
yang berasal dari Kec. Baso,
Sumatera Barat. Keduanya keturunan Minangkabau asli, bekerja
sebagai petani dan pedagang di salah
satu pasar setempat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon kritik dan sarannya.!