Tidak lama lagi Negara kita akan menyelenggarakan pemilu 2014, namun dalam
pesta rakyat terbesar lima tahunan itu sering kali diwarnai oleh berbagai manuver
politik para aktivis parpol dalam rangka menaikkan popularitas partai mereka,
mulai dari mencuri start kampanye, membuat isu-isu negatif yang
mendiskreditkan lawan politiknya, hingga ke money politics (melakukan politik
uang), Ali Mustafa Yaqub menyebutnya dengan political money atau uang
politik. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimanakah pandangan Islam terkait fenomena
tersebut?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita perjelas terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan istilah Money Politics atau politik uang itu. Karena merupakan sebuah kesalahan yang teramat fatal bagi seorang hakim bila ia menghukumi sesuatu, namun belum mengetahui substansinya.
Dalam berbagai sumber yang membahas tema di atas disebutkan bahwa
politik uang adalah suatu bentuk pemberian baik berupa uang, barang, maupun
janji terhadap seseorang supaya ia tidak menjalankan haknya untuk memilih
ataupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan
umum sesuai dengan keinginan oknum yang memberi.
Praktek seperti ini umumnya dilakukan oleh para simpatisan parpol,
kader, dan bahkan pengurus parpol itu sendiri menjelang pemilihan umum
dilangsungkan. Sehingga pada akhirnya para calon yang diusung oleh parpol yang
bersangkutan dapat memperoleh suara terbanyak serta menduduki jabatan sebagai
kepala daerah, anggota DPR, presiden dan lain-lain sesuai dengan kedudukan yang
mereka inginkan.
Pengertian seperti ini mempunyai makna yang sama dengan suap atau
yang disebut juga dengan risywah dalam bahasa agamanya. Al-Fayumi
dalam al-Misbah dan al-Jurjani dalam Ta’rifat-nya menerangkan
bahwa riswah adalah sesuatu yang diberikan kepada orang lain dengan
tujuan menyembunyikan kebenaran ataupun membenarkan sebuah kebatilan. Maka
berdasarkan keterangan ini, kami melihat bahwa money politics pada
hakikatnya merupakan bagian dari riswah itu sendiri.
Risywah menurut
mayoritas ulama hukumnya adalah haram berdasarkan ketetapan Allah SWT dalam
al-Qur’an dan Rasulullah SAW dalam hadisnya. Allah SWT berfirman dalam Q.S
al-Baqarah ayat 188 yang berbunyi :
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا
فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya : Dan janganlah (sebagian) kamu memakan harta sebagian
yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) membawa urusan
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda
orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahuinya.
Rasulullah SAW juga pernah bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh
Imam Abu Daud, al-Tirmidzi, Ibn Majah dalam Sunan mereka serta
Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dari Abdullah ibn Amr, ia berkata :
لَعَنَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
Rasulullah SAW melaknat
orang yang memberi dan menerima suap.
Dalam riwayat Ahmad disebutkan dengan sedikit tambahan redaksi الرائش
في الحكم yaitu penghubung antara si pemberi dengan si penerima suap.
Artinya masing-masing dari mereka mempunyai status hukum yang sama, sama-sama
dilaknat oleh Rasulullah SAW. Badruddin al-‘Aini dalam ‘Umdah al-Qari syarh
Shahih al-Bukhari menggarisbawahi bahwa laknat Rasulullah SAW tersebut juga
mengandung arti laknat dari Allah SWT secara otomatis, karena apa yang dilaknat
Allah pasti juga dilaknat oleh rasul-Nya.
Imam Abu Daud memberi tema hadis di atas dengan nama bab fi
karahiyah al-risywah (bab tentang kemakruhan menyuap), namun kemakruhan di
sini mengandung makna haram sebagaimana yang dijelaskan juga oleh Abdul Muhsin
al-‘Ubbad dalam kitabnya Syarah Sunan Abi Daud. Asumsi ini diperkuat lagi
oleh salah satu kaedah dalam Ilmu Ushul Fikih yang menyatakan bahwa sebuah
perkara yang diancam dengan laknat, azab, ataupun hal-hal buruk lainnya
mempunyai implikasi makna keharaman perbuatan yang dilaknat tersebut serta
dianggap sebagai dosa besar.
Di samping itu, Rasulullah SAW juga pernah bersabda sebagaimana
yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya :
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم "ثلاثة لا ينظر الله إليهم يوم القيامة ولا يزكيهم
ولهم عذاب أليم، رجل كان له فضل ماء بالطريق فمنعه من ابن السبيل، ورجل بايع إماما
لا يبايعه إلا لدنيا فإن أعطاه منها رضي وإن لم يعطه منها سخط، ورجل أقام سلعته
بعد العصر، فقال "والله الذي لا إله غيره لقد أعطيت بها كذا وكذا، فصدقه رجل
" ثم قرأ هذه الآية: ) إن الذين يشترون بعهد الله
وأيمانهم ثمنا قليلا). رواه البخاري
Rasulullah SAW bersabda “ada 3 golongan yang mana Allah SWT tidak
akan memperhatikan mereka pada hari Kiamat, tidak pula menyucikan mereka, dan
bagi mereka azab yang pedih. Pertama, seseorang yang mempunyai kelebihan air,
namun enggan untuk berbagi dengan orang lain yang membutuhkan (ibn sabil). Kedua,
seseorang yang mengangkat pemimpin karena kepentingan dunia, jika ia diberinya
hal tersebut maka dia reda namun jika tidak dia akan marah. Ketiga, seseorang
yang mengangkat senjata setelah Salat Ashar”. Kemudian Rasulullah SAW
melanjutkan sabdanya “Demi Allah yang tiada tuhan selain-Nya, sungguh akan
ku berikan kepadanya hal ini dan itu”, maka seorang laki-laki membenarkan
perkataan beliau sembari membaca Surah Ali ‘Imran ayat 77 “Sesungguhnya
orang-orang yang memperjualbelikan janji Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan
harga murah, mereka itu tidak memperoleh bagian di akhirat, Allah tidak akan
memperhatikan mereka pada hari Kiamat dan tidak akan menyucikan mereka dan bagi
mereka azab yang pedih”. (H.R. al-Bukhari)
Selain itu, sebuah kaedah fikih juga menegaskan :
ما حرم أخذه حرم إعطاءه
Sesuatu yang haram mengambilnya, haram pula memberikannya. Imam
Suyuthi dalam kitabnya al-Asybah wa al-Nazhair memberikan contoh
aplikasi kaedah ini dengan kasus pemberian suap oleh seseorang kepada hakim
dalam rangka menyembunyikan kebenaran. Maka dalam kasus ini memberikan suap
mempunyai implikasi hukum haram, sehingga memberikannya (suap) kepada orang
lain juga secara otomatis juga dilarang dalam agama, begitu pula dengan kasus money
politics yang mempunyai kandungan makna yang sangat mirip dengan kasus di
atas.
Memang dalam beberapa kasus, seseorang dibolehkan melakukan risywah
jika bertujuan agar si pemberi suap bisa mendapatkan hak-hak yang
semestinya ia dapatkan atau demi tegaknya kebenaran dan hilangnya kebatilan.
Terkait dengan hal ini, Ibn Hajar al-Haitami dalam Tuhfah-nya menjelaskan
“Secara umum risywah dibagi menjadi dua, risywah yang diharamkan dan yang
dibolehkan. Faktor pembeda di antara keduanya adalah tujuan pemberi, apakah
pemberian tersebut ditujukan untuk hal-hal yang batil atau tidak”. Akan
tetapi, walaupun risywah seperti ini dibolehkan bagi si pemberi, namun
tetap diharamkan bagi si penerima.
Sebagai kesimpulan tulisan ini adalah money politik merupakan
salah satu jenis dari risywah yang diharamkan apabila tujuannya untuk
menyembunyikan kebenaran ataupun membenarkan sebuah kebatilan. Fatwa serupa
juga telah dikeluarkan oleh Majlis Ulama Indonesia pada tahun 2000 yang lalu,
bahkan dalam fatwa tersebut ditegaskan bahwa segala bentuk suap, uang pelicin, korupsi
berjamaah, dan money politics hukumnya adalah haram. Selain melanggar
hukum agama, perbuatan seperti ini juga melanggar hukum Negara yang mempunyai
sanksi hukum yang tidak ringan, serta merusak tatanan kehidupan masyarakat.
Allahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon kritik dan sarannya.!