Bagaimana Pandangan al-Qarrafi Terhadap Pertentangan Antara Fatwa Mufti dengan Putusan Hakim.?

Pada minggu yang lalu, kita sudah masuk ke bahasan awal fenomena terjadinya pertentangan antara putusan seorang hakim dengan fatwa mufti dalam sebuah permasalahan tertentu. Setidaknya kita sudah mendapatkan sebuah kesimpulan sementara bahwa pertentangan antara keduanya adalah sesuatu hal yang mungkin terjadi, meskipun dalam kaedah asal sebuah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (ilzam), berbeda dengan fatwa yang hanya sebatas ikhbar (informasi) semata, sehingga ia tidak bisa dianulir oleh ijtihad yang lain.

Hal serupa juga pernah terjadi di negara ini beberapa tahun yang lalu ketika MK (Mahkamah Konstitusi) dan MUI (Majelis Ulama Indonesia) berbeda pandangan dalam persoalan bolehnya menisbatkan status anak zina kepada ayahnya. MK dengan segala pertimbangan yang ada memutuskan bahwa anak hasil perzinaan dapat saja dinisbatkan secara legal formal kepada ayah biologisnya. Hal ini dibantah keras oleh MUI yang menyebutkan bahwa penisbatan anak hanya bisa dihubungkan kepada ayah biologisnya manakala ayah dan ibunya sudah menikah secara resmi dan sah.

Apabila Fatwa Seorang Mufti dan Qadha’ (Putusan) Seorang Qadhi (Hakim) Bertentangan, Bagaimanakah Solusinya.?

Setelah berjibaku selama lebih kurang tiga minggu lamanya, akhirnya kita selesai juga mendiskusikan tema terkait tiga posisi Nabi Muhammad Saw (yaitu sebagai mufti, hakim, dan kepala negara), kriteria masing-masing, serta implikasinya terhadap hadis-hadis yang beliau sampaikan. Beberapa kesimpulan besar terkait hal itu juga sudah kita ikhtisarkan, di antaranya sebagai berikut :

Pertama, pemilahan eksistensi Nabi ke dalam tiga posisi seperti yang tersebut di atas merupakan bagian dari metode memahami dalalah (penunjukan) sebuah hadis, apakah dia tergolong tasyri’i (mengandung unsur syariat murni) atau ghair tasyri’ (tidak mengandung unsur syariat murni). Karena dari tiga posisi yang telah disebutkan, hanya hadis yang disampaikan Nabi ketika beliau menjadi muftilah yang mengandung unsur syariat murni, sementara dua posisi lainnya (hakim dan kepala negara) baru akan berimplikasi hukum setelah melalui mekanisme kehakiman dan birokrasi kenegaraan.

Nabi, Antara Pembawa Risalah, Hakim, dan Pemimpin Negara

Pada pertemuan sebelumnya, kita telah mengupas tuntas dua kasus besar dalam hadis Nabi di mana pada kasus tersebut para ulama berbeda pendapat dalam menempatkan posisi Nabi, apakah sebagai mufti (pembawa risalah), hakim, ataukah imam (pemimpin negara).

Kasus pertama adalah hadis tentang hukum ihyaul mawat (menghidupkan tanah mati) di mana Rasul pernah bersabda, "Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati (kosong tanpa pemilik), maka tanah tersebut menjadi miliknya. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa,'i, dan Ahmad). 

Apakah Mungkin Umat Ini Disatukan Dalam Satu Corak Pemikiran.?

Kalau diperhatikan selintas, apa yang dilakukan oleh setiap aliran dalam Islam ataupun dalam kelompok sosial manapun dalam “dakwah” mereka hanyalah ingin mengajak semua orang untuk berbuat seperti yang mereka lakukan. Mereka ingin semua orang mempunyai pola pikir keagamaan yang sama dan seragam dengan mereka. Sehingga di dunia ini, tidak ada seorangpun yang mengatakan dirinya muslim kecuali mereka beramal dan berpikir seperti apa yang mereka amalkan dan pikirkan.

Perbedaannya hanyalah sebagian golongan itu ada yang memaksakan pendapatnya diterima oleh orang lain, ada yang ingin menyampaikan gagasan agar diakui eksistensi atau keberadaannya, dan ada juga yang hanya ingin dipahami dan dihargai pendapatnya. Bagi mereka yang ingin memaksakan, selalu berusaha agar bagaimana semua pendapat keagamaan itu hanyalah dari pendapat mereka semata. Sementara pendapat yang berbeda dengan mereka dianggap salah dan keliru.

Letak Universalitas Ajaran Islam

Salah satu bentuk keuniversalan ajaran Islam, sebagaimana yang disebutkan oleh Syekh Abdul Wahhab Khalaf dalam mukadimah Ushul Fikih-nya adalah bahwa tidak satupun sisi kehidupan manusia di dunia ini, kecuali terdapat aturan, tuntunan, serta arahan syariat berdasarkan petunjuk dari al-Qur’an dan Sunah di dalamnya. Hal ini seakan menutup pintu bagi seorang muslim untuk mengambil referensi kehidupan dari yang lain selain Islam, karena semuanya sudah ada dan paripurna dalam ajaran Islam.
Ungkapan ini seakan kontras dengan apa yang pernah disinggung oleh Imam Ibn Rusyd dalam mukadimah Bidayah al-Mujtahidnya yang menyebutkan bahwa ajaran Islam sebenarnya belum bisa dikatakan “sempurna” dalam artian yang sederhana, karena pada kenyataannya teks al-Qur’an dan Hadis sudah terhenti sejak wafatnya Rasulullah Saw, sementara realitas kehidupan senantiasa berubah seiring berjalannya waktu dan berubahnya situasi, kondisi, serta teknologi yang ada.

Apakah Setiap Amalan Harus Didasarkan Dengan Dalil Khas (Spesifik).?

Salah satu di antara nalar ijtihad yang dirumuskan oleh teman-teman dari kalangan “Ashabul Yamin” adalah keharusan setiap muslim untuk beramal berdasarkan dalil yang bersifat juz’i atau khusus/spesifik. Artinya setiap tradisi serta amalan yang dilakukan oleh seseorang harus disebutkan reverensinya secara teks dari al-Qur’an dan Hadis. Jika tidak ada, maka amalan atau tradisi tersebut tidak boleh dikerjakan karena dianggap sebagai sebuah kebid’ahan.

Nalar ini lagi-lagi didasarkan kepada semangat kembali kepada al-Qur’an dan Sunah. Sebuah kaedah universal yang menjadi senjata utama para “ashabul yamin” dalam mengkritisi amalan atau tradisi kelompok lain. Mereka memahami bahwa tidak ada amalan tanpa dalil, dan tidak ada dalil kecuali harus diambil dan disebutkan secara gamblang dari teks-teks al-Qur’an dan Hadis. Sehingga amalan atau tradisi yang secara teks tidak tersebut dalam kedua reverensi itu, otomatis tidak bisa diamalkan.

Menelusuri Jejak Guru; Buya Amilizar Amir – Syekh Kanis Tuanku Tuah – Syekh Muda Abdul Qadim Balubuih – Syekh Abdurrahman Batuhampar

Ketika pulang kampung lebaran Idul Fitri dua bulan yang lalu, kami bersama istri menyempatkan diri untuk bersilaturahmi dengan salah seorang guru dan mursyid kami, Buya Amilizar Amir Hafizahullah, seorang guru yang alim secara lahir dan batin. Pakar Ilmu Kalam, Fikih, Ushul, dan tata bahasa Arab serta mendalami Ilmu Tashawwuf. Beliau juga dikenal sebagai seorang mursyid dalam Thariqah Naqsyabandiyah al-Khalidiyyah yang bersurau di Jorong Lompatan, Nagari Barulak, Kec. Tanjung Baru, Tanah Datar, Sumatera Barat.

Dalam Ilmu Syariat beliau pernah berguru langsung dengan Syekh Sulaiman Arrasuli, salah seorang ulama besar dan pendiri PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), salah satu organisasi yang bergerak di bidang sosial keagamaan yang lahir dan berkembang di daerah Sumatera Barat sejak 5 Mei 1928. Buya Amilizar talaqqi dengan Syekh Sulaiman setelah diperintahkan oleh guru beliau yang lain, Syekh Amran Asshamad yang juga merupakan murid senior Syekh Sulaiman.

Sekilas Tentang Imam Zarruq dan Kitab Qawaid al-Tashawwuf (Sebuah Pengantar dan Ikhtishar Pengajian)

Kalau dalam Ilmu Fikih terdapat Ilmu Qawaid Fiqhiyyah, yaitu kaedah-kaedah universal yang disimpulkan dari beragam pendapat ulama dalam kitab-kitab fikih, maka dalam Ilmu Tashawwuf ada istilah qawaid al-tashawwuf, yaitu kaedah-kaedah yang muncul dari beragam pendapat ulama tashawwuf dalam menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan Ilmu Tashawwuf.

Namun berbeda dengan Qawaid Fiqhiyyah yang sudah mapan dengan nama dan epistemologi sendiri, maka qawaid tashawwuf yang kami maksud di atas hanyalah sebuah judul kitab yang ditulis oleh seorang ulama besar keturunan, Fes, Maroko yang bernama Abu al-Abbas Ahmad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Isa Zarruq al-Fasi al-Burnusi. Beliau lahir pada tahun 846 H dan wafat pada tahun 899 H dalam usia 54 tahun.

Bedah Buku Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis Karya Tim Peneliti El-Bukhari Institute

Beberapa minggu yang lalu, tepatnya pada tanggal 12 Agustus 2017, tim penulis buku Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis karya tim peneliti El-Bukhari Institute diundang oleh teman-teman dari pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon, untuk membedah buku setebal 168 halaman tersebut.

Secara kebetulan, kami dan seorang teman peneliti lainnya diamanahi untuk menghadiri undangan tersebut, meskipun dengan persiapan dan pengalaman apa adanya. Sehingga dengan modal seadanya kamipun memberanikan diri dan berangkat untuk sekedar berbagi sedikit ilmu dan wawasan yang dimiliki tentang buku sederhana nan imut itu bersama mereka.
Dari pihak pesantren Ciwaringin saat itu diwakili oleh Gus KH. Arwani Syaerozi OK (yang juga merupakan direktur program Ma'had Ali Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon), Gus Imam Supardi, Gus Jamaluddin Muhammad, dan Gus H. Ade Jayadi. Alhamdulillah, dengan izin Allah, acara tersebut berjalan dengan lancar selama kurang lebih 2,5 jam serta dihadiri oleh sebagian besar teman-teman santri dan mahasantri Ma'had Ali Pesantren Babakan.

Apakah Ahli Fikih Itu Ahli Hadis Juga.?

Pendikotomian sebagian kalangan terhadap ahli hadis dan ahli fikih telah memunculkan stigma negatif bagi ahli fikih dan kitab-kitab fikih itu sendiri. Mereka kadang menjadi korban “ejekan” para oknum yang menyuarakan agar umat Islam kembali kepada al-Qur’an dan Hadis saja, bukan ke kitab-kitab fikih. Pernyataan tersebut seolah-olah menganggap bahwa ahli fikih itu tidak paham dengan hadis sama sekali.
Sebaliknya mereka yang terlalu “nyaman” dengan fikih menganggap bahwa ahli hadis merupakan “musuh” yang berpotensi menghancurkan nalar-nalar ijtihadi mereka. Ahli hadis mereka anggap hanya mengedepankan nalar hitam-putih saja terhadap berbagai persoalan. Sehingga ketika sebuah hadis yang menyinggung sebuah persoalan sudah dicap bermasalah (dalam artian dhoif), maka ia tidak bisa diapa-apakan lagi.

Tidak Ada Istilah Bid’ah Dalam Persoalan Khilafiyyah

Beberapa hari yang lalu, seorang pendakwah dari kalangan “ashabul yamin” kembali mempersoalkan tentang kebid’ahan qunut pada salat subuh. Dia berpendapat bahwa amalan tersebut tidak didasari oleh dalil yang kuat alias dhoif. Sehingga orang yang melakukannya dianggap sebagai pelaku bid’ah yang keliru dan tidak pantas untuk diikuti.
Lagi-lagi persoalan yang ia permasalahkan adalah hal-hal sepele yang sejak dahulu sudah selesai dibahas oleh para ulama. Imam Ibn Rusyd dalam Bidayahnya dan Imam Nawawi dalam Majmu’nya telah menjabarkan secara detail khilafiyah ulama terkait hal itu lengkap dengan dalil dan sebab perbedaan mereka. Namun entah kenapa pendapat bid’ah yang dipilih oleh sang penda’i.
Saya tidak akan mengulangi khilafiyah ulama tersebut dalam tulisan ini karena beberapa tulisan lain serta media-media kajian online juga sudah banyak yang mempublishnya. Namun yang ingin saya sampaikan dalam tulisan pendek ini adalah tentang sebuah kaedah fikih yang mungkin terlupakan oleh sang da’i ketika menyampaikan petuah bid’ahnya.

Tabarukan Dengan Atsar Ulama; Sebuah Ekspresi Cinta, Bukan Pengkultusan

Tidak terhitung banyaknya riwayat sahih yang menjelaskan prosesi tabarukan para sahabat dengan atsar (bekas) Nabi Muhammad Saw, baik berupa air wudhu, air sisa minum, rambut, keringat, kuku, piring, gelas dan sebagainya. Menariknya Nabi tidak melarang apalagi menegur mereka karena tindakan tersebut.
Kemudian kebiasaan itu dilanjutkan oleh para sahabat, tabi'in, ulama, dan para orang saleh dari umat ini dari generasi ke generasi. Seorang murid bertabaruk dengan atsar ulama yang dia kagumi, begitu juga sang ulama bertabaruk dengan atsar gurunya, dan gurunya juga bertabaruk dengan guru-gurunya dan begitu seterusnya, dengan harapan agar mareka mendapatkan keberkahan dari Allah Swt lewat wasilah atsar orang-orang saleh yang mereka caintai tersebut.

Tidak Mengamalkan Hadis Ahad Yang Shahih Karena Bertentangan dengan Prinsip Dasar Syariat, Mungkinkah.?

Sewaktu S-1 dulu, saya sempat berencana untuk menulis skripsi tentang kritik hadis melalui pendekatan Maqashid Syariah. Pertanyaan yang muncul saat itu adalah apakah mungkin sebuah hadis sahih tidak diaplikasikan hanya karena substansinya bertentangan dengan tujuan utama syariah.?

Namun karena satu dan lain hal, dosen pengampu metodologi penelitian saya saat itu menyarankan agar mengganti tema dengan upaya memahami hadis melalui pendekatan Maqashid Syariah saja. Beliau beralasan bahwa tema itu terlalu berat dan secara metodologis akan sulit dirumuskan, apalagi diaplikasikan.
Setelah 3 tahun berlalu, saya menemukan ternyata konsep itu cukup populer di kalangan ulama, khususnya di lingkungan Mazhab Maliki. Saat diskusi kitab al-Ihkam karya al-Qarrafi beberapa hari yang lalu, saya mendapati redaksi "Terkadang Hadis Ahad tidak diamalkan (ditinggalkan) karena bertentangan dengan qawaid (kaedah-kaedah dasar dalam agama)."

Apakah Setiap Hadis Sahih Otomatis Diamalkan dan Hadis Sahih Otomatis Ditolak.?

Di antara sebab munculnya nalar sering mentabdi' (membid'ahkan) dari sebagian kawan kita dari kalangan "ashabul yamin" itu adalah adanya keyakinan bahwa setiap hadis sahih mesti diamalkan dan setiap hadis dhoif mesti ditolak.
Padahal dalam kenyataannya, satu hadis, sekalipun dia berderajat sahih, ataupun bahkan satu ayat, sekalipun ia berstatus mutawatir, tidak bisa langsung diamalkan sebelum mengkomparasikannya dengan hadis ataupun ayat lain.
Bisa saja satu ayat yang bersifat mutawatir itu atau sebuah hadis yang berstatus shahih itu ditakhsis (dikhususkan maknanya) oleh ayat atau hadis lain yang mempunyai dalalah yang lebih spesifik.
Atau bisa saja ayat atau hadis shahih tersebut ditaqyid (dikait) bentuk kemutlakannya oleh ayat atau hadis lain yang lebih kongkrit.
Atau bisa juga ayat atau hadis sahih tersebut ditabyin (dijelaskan) bentuk kemujmalannya oleh ayat atau hadis lain yang lebih jelas.
Atau bisa juga ayat atau hadis tersebut telah dinasakh (dihapuskan) pemberlakuannya oleh ayat atau hadis lain karena mempertimbangkan sisi kemaslahatannya.
Atau bisa juga ayat atau hadis tersebut dimarjuhkan (dikalahkan) sisi penerapannya karena keberadaan ayat atau hadis lain yang lebih rajih (kuat), dll.
======================

Sebaliknya bisa saja hadis dhoif tadi diperkuat statusnya oleh hadis dhoif lain yang punya derajat yang sama atau lebih kuat darinya.
Atau bisa juga hadis dhoif tersebut tingkat kedhoifannya tidak terlalu parah sehingga tetap bisa diamalkan sebagai fadhoilul a'mal sebagaimana dijelaskan oleh oleh Imam Nawawi dan banyak ulama lainnya.
Atau bisa juga hadis dhoif itu diamalkan karena mayoritas ulama mengamalkannya sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam al-Tirmidzi, Sayyid Muhammad, dan banyak ulama lainnya.
Atau bisa juga hadis dhoif itu mempunyai semangat atau spirit yang sama dengan tujuan-tujuan dasar syariat (sebut maqashidus syariah) sehingga pada akhirnya masih bisa diamalkan.
Pendeknya jangan membaca kasus apapun dalam agama ini hanya dengan modal satu dalil saja, insyaAllah selamat dan maslahat.
===================

صاحب الكتابة

Foto saya
Bukittinggi, Agam, Indonesia
Seorang pelajar yang tengah berkontemplasi dalam pencarian jatidiri dan ilmu pengetahuan, walau hingga saat ini ilmu yang dia harapkan terasa masih dangkal dan jauh dari kesempurnaan. Dia lahir pada hari Kamis pagi, tanggal 22 Februari 1990 atau bertepatan dengan 26 Rajab 1410 Hijriah. Diberi nama dengan Yunal Isra bin Syamsul Bahri dan biasa dipanggil dengan sebutan Yunal/Isra/Inal. Pendidikan pertama yang pernah dijalaninya adalah Pendidikan TK pada tahun 1996, kemudian dilanjutkan ke SD 01 Baso dan tamat pada tahun 2002. Setelah itu memutuskan untuk fokus mendalami ilmu-ilmu keislaman di MTI Canduang dan tamat pada tahun 2009. Setahun kemudian ia meneruskan petualangan intelektualnya di program S1 Fakultas Dirasah Islamiyyah UIN Syarif Hidayatullah dan Darus-Sunnah International Institute For Hadith Sciences Jakarta. Berharap semoga bisa menjadi orang yang bermanfaat untuk manusia lain dan diredoi orang tua dan tuhannya, amien.! Fokus kajiannya sekarang "al-Muhaafazhah A'la al-Qadiimi al-Shaalih, wa al-Akhdzu bi al-Jadiidi al-Ashlah".

Terima kasih atas kunjungannya.........!!!!!!

نحمدك اللهم منزل الآيات تبصرة لأولى الألباب ورافع الدلالات عبرة لتزيل بها عن القلوب الحجاب ونشكرك شرعت الحلال والحرام وأنزلت الكتاب وجعلته هدى لكل خير يرام ونصلى ونسلم على سيدنا محمد المؤيد من الله بأجلى النيرات والساطع نوره في أفق الهداية بما يزيح الريب والمدلهمات وعلى آله خير آل وأصحابه ومن لهم مقتف أوموال