Pada pertemuan sebelumnya, kita telah mengupas tuntas dua kasus besar
dalam hadis Nabi di mana pada kasus tersebut para ulama berbeda pendapat
dalam menempatkan posisi Nabi, apakah sebagai mufti (pembawa risalah),
hakim, ataukah imam (pemimpin negara).
Kasus pertama adalah hadis
tentang hukum ihyaul mawat (menghidupkan tanah mati) di mana Rasul
pernah bersabda, "Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati (kosong tanpa
pemilik), maka tanah tersebut menjadi miliknya. (HR. Abu Daud,
Tirmidzi, Nasa,'i, dan Ahmad).
Setidaknya ada tiga pandangan
ulama terkait kasus tersebut. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam
hadis itu Nabi berposisi sebagai imam (pemimpin negara), karena beliau
(Abu Hanifah) menganalogikan kasus ihyaul mawat tersebut kepada kasus
penentuan bagian tanah rampasan perang di mana dalam kasus itu pembagian
tanah harus melalui izin seorang imam (pemimpin negara). Sehingga dalam
masalah menghidupkan tanah mati, juga harus dengan izin seorang imam.
Sedangkan Imam Malik dan al-Syafi'i cenderung memposisikan Nabi sebagai
mufti dengan alasan karena sebagian besar fungsi Nabi dalam
hadis-hadisnya adalah sebagai pembawa risalah (mufti), tidak yang lain.
Hanya saja Imam Malik memberikan batasan, jika tanah kosong tersebut
terletak di wilayah perkotaan (kawasan padat penduduk), maka untuk
menghidupkannya harus dengan izin imam, karena hal itu berkaitan erat
dengan kepentingan umum atau kemaslahatan orang banyak.
Sedangkan
kasus kedua, terkait dengan hadis kebolehan seorang istri mengambil
harta suaminya yang pelit, yang tidak memenuhi kebutuhan hidupnya serta
anak-anaknya, sebagaimana terdapat dalam riwayat Imam al-Bukhari,
Muslim, al-Nasa'i, dan al-Darimi.
Dalam kasus tersebut terdapat
dua pandangan. Pendapat pertama, dari segolongan ulama yang diwakili
oleh Madzhab Syafi'i dan lain-lain menyebutkan bahwa posisi Nabi dalam
hadis tersebut adalah sebagai mufti dengan alasan karena mayoritas hadis
Nabi adalah sebagai syariat sebagaimana pada kasus pertama. Sehingga
implikasinya adalah seorang istri bebas saja mengambil harta suaminya
yang pelit sekedar untuk memenuhi kebutuhannya dan anak-anaknya tanpa
harus meminta izin terlebih dahulu kepada hakim ataupun imam.
Sementara itu pendapat yang masyhur di kalangan Mazhab Maliki
berpandangan bahwa dalam kasus tersebut Nabi berposisi sebagai hakim
(pemutus perkara/sengketa), karena dalam kasus itu seolah-olah Nabi
tengah menyelesaikan konflik rumah tangga antara sepasang suami istri
(Abu Sufyan dengan istrinya). Dengan demikian, dalam hal ini seorang
istri tidak diperkenankan mengambil harta suaminya yang pelit itu
kecuali dengan seizin hakim.
Sedangkan pendapat dari minoritas
Madzhab Maliki menyebutkan bahwa posisi Nabi dalam hadis di atas adalah
sebagai mufti, sebagaimana yang diyakini oleh penganut pendapat pertama.
Dari dua fenomena di atas muncul semacam hipotesa sementara, khususnya
dalam memahami nalar Madzhab Syafi'i, bahwa sepertinya mereka tidak
menerapkan konsep pemilah-milahan posisi Nabi dalam relasinya dengan
memahami teks hadis. Hal itu terbukti dengan pandangan mereka
(setidaknya) dalam menyikapi kedua kasus di atas dengan menempatkan Nabi
hanya sebagai mufti (pembawa syariat) saja. Pertanyaan yang muncul
adalah, apakah hipotesa tersebut benar adanya atau bagaimana.? Menarik
untuk kita bincangkan lebih dalam.
Salam..
El-Bukhari Institute;
Lembaga Pengkajian Hadis Nabawi
El-Bukhari Institute;
Lembaga Pengkajian Hadis Nabawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon kritik dan sarannya.!