Setelah
berjibaku selama lebih kurang tiga minggu lamanya, akhirnya kita selesai
juga mendiskusikan tema terkait tiga posisi Nabi Muhammad Saw (yaitu
sebagai mufti, hakim, dan kepala negara), kriteria masing-masing, serta
implikasinya terhadap hadis-hadis yang beliau sampaikan. Beberapa
kesimpulan besar terkait hal itu juga sudah kita ikhtisarkan, di
antaranya sebagai berikut :
Pertama, pemilahan eksistensi Nabi ke dalam tiga posisi seperti yang tersebut di atas merupakan bagian dari metode memahami dalalah (penunjukan) sebuah hadis, apakah dia tergolong tasyri’i (mengandung unsur syariat murni) atau ghair tasyri’ (tidak mengandung unsur syariat murni). Karena dari tiga posisi yang telah disebutkan, hanya hadis yang disampaikan Nabi ketika beliau menjadi muftilah yang mengandung unsur syariat murni, sementara dua posisi lainnya (hakim dan kepala negara) baru akan berimplikasi hukum setelah melalui mekanisme kehakiman dan birokrasi kenegaraan.
Kedua, pemilahan tersebut juga tidak berpotensi untuk meminimalisir jumlah hadis-hadis yang bisa diamalkan secara langsung sebagai syariat yang pada umumnya hanya berkaitan dengan persoalan ibadah dan ritual hamba dengan Allah Swt saja. Hal ini penting untuk digarisbawahi karena sebagian kalangan dari umat ini ada yang berasumsi bahwa pemilah-milahan itu bertujuan untuk menyedikitkan jumlah hadis yang bisa diamalkan secara langsung sebagai syariat Islam.
Ketiga, pemilahan itu sesungguhnya dimaksudkan hanya untuk memperjelas regulasi aktualisasi dari hukum-hukum Islam agar tidak diamalkan secara serampangan oleh sebagian pihak seperti yang saat ini marak dilakukan oleh sebagian kelompok-kelompok Islam garis keras. Sehingga dengan demikian, alur penerapan hadis-hadis Nabi dapat tertata dengan baik dan tidak dipolitisasi untuk kepentingan-kepentingan tertentu selain hanya untuk menjalankan perintah Allah Swt saja.
Keempat, kajian ini penting karena pada masa dahulu posisi kepala Negara, hakim, dan mufti, semuanya bersatu dalam diri Nabi Muhammad Saw, sehingga untuk menditeksi masing-masingnya dibutuhkan semacam barometer khusus yang oleh al-Qarrafi dibatasi hanya ke dalam tiga posisi saja. Sementara itu, beberapa ulama kontemporer malahan ada yang membagi posisi Nabi menjadi dua belas jenis sebagaimana yang dilakukan oleh Thahir Ibn Asyur dalam bukunya Maqashid al-Syariah al-Islamiyyah.
Kelima, dalam konteks kekinian pemilahan posisi Nabi itu sudah terejawantahkan ke dalam beberapa lembaga khusus yang menangani bidang fatwa, pengadilan, dan Negara. Masing-masing dijabat oleh orang yang berbeda dan dengan regulasi yang rapi dan terukur. Untuk konteks keindonesiaan misalnya, bidang kenegaraan sepenuhnya dijalankan oleh presiden dan jajarannya, untuk bidang pengadilan ditangani oleh Mahkamah Konstitusi dalam berbagai tingkatannya, serta bidang keagamaan oleh MUI dan para ulama pada umumnya. Regulasi ini bisa jadi terilhami oleh konsep yang ditahrirkan oleh Imam al-Qarrafi, Allahu A’lam.
Untuk pembahasan selanjutnya, sesuai dengan alur teks yang ditulis oleh al-Qarrafi dalam al-Ihkamnya, kita akan mendiskusikan kemungkinan terjadinya pertentangan putusan antara hakim dengan mufti dalam sebuah persoalan tertentu. Andai hal itu terjadi, putusan mana yang harus dimenangkan.? Serta apa piranti yang harus dipenuhi untuk memenangkan salah satunya.? Serta siapa pihak yang berwenang untuk memutuskan perbedaan tersebut.? insyaAllah jawabannya akan kita bahas detail di diskusi nanti malam, jam 20.15 WIB di Sekret El-Bukhari Institute. Silahkan hadir bagi teman-teman yang berminat.!!
Pertama, pemilahan eksistensi Nabi ke dalam tiga posisi seperti yang tersebut di atas merupakan bagian dari metode memahami dalalah (penunjukan) sebuah hadis, apakah dia tergolong tasyri’i (mengandung unsur syariat murni) atau ghair tasyri’ (tidak mengandung unsur syariat murni). Karena dari tiga posisi yang telah disebutkan, hanya hadis yang disampaikan Nabi ketika beliau menjadi muftilah yang mengandung unsur syariat murni, sementara dua posisi lainnya (hakim dan kepala negara) baru akan berimplikasi hukum setelah melalui mekanisme kehakiman dan birokrasi kenegaraan.
Kedua, pemilahan tersebut juga tidak berpotensi untuk meminimalisir jumlah hadis-hadis yang bisa diamalkan secara langsung sebagai syariat yang pada umumnya hanya berkaitan dengan persoalan ibadah dan ritual hamba dengan Allah Swt saja. Hal ini penting untuk digarisbawahi karena sebagian kalangan dari umat ini ada yang berasumsi bahwa pemilah-milahan itu bertujuan untuk menyedikitkan jumlah hadis yang bisa diamalkan secara langsung sebagai syariat Islam.
Ketiga, pemilahan itu sesungguhnya dimaksudkan hanya untuk memperjelas regulasi aktualisasi dari hukum-hukum Islam agar tidak diamalkan secara serampangan oleh sebagian pihak seperti yang saat ini marak dilakukan oleh sebagian kelompok-kelompok Islam garis keras. Sehingga dengan demikian, alur penerapan hadis-hadis Nabi dapat tertata dengan baik dan tidak dipolitisasi untuk kepentingan-kepentingan tertentu selain hanya untuk menjalankan perintah Allah Swt saja.
Keempat, kajian ini penting karena pada masa dahulu posisi kepala Negara, hakim, dan mufti, semuanya bersatu dalam diri Nabi Muhammad Saw, sehingga untuk menditeksi masing-masingnya dibutuhkan semacam barometer khusus yang oleh al-Qarrafi dibatasi hanya ke dalam tiga posisi saja. Sementara itu, beberapa ulama kontemporer malahan ada yang membagi posisi Nabi menjadi dua belas jenis sebagaimana yang dilakukan oleh Thahir Ibn Asyur dalam bukunya Maqashid al-Syariah al-Islamiyyah.
Kelima, dalam konteks kekinian pemilahan posisi Nabi itu sudah terejawantahkan ke dalam beberapa lembaga khusus yang menangani bidang fatwa, pengadilan, dan Negara. Masing-masing dijabat oleh orang yang berbeda dan dengan regulasi yang rapi dan terukur. Untuk konteks keindonesiaan misalnya, bidang kenegaraan sepenuhnya dijalankan oleh presiden dan jajarannya, untuk bidang pengadilan ditangani oleh Mahkamah Konstitusi dalam berbagai tingkatannya, serta bidang keagamaan oleh MUI dan para ulama pada umumnya. Regulasi ini bisa jadi terilhami oleh konsep yang ditahrirkan oleh Imam al-Qarrafi, Allahu A’lam.
Untuk pembahasan selanjutnya, sesuai dengan alur teks yang ditulis oleh al-Qarrafi dalam al-Ihkamnya, kita akan mendiskusikan kemungkinan terjadinya pertentangan putusan antara hakim dengan mufti dalam sebuah persoalan tertentu. Andai hal itu terjadi, putusan mana yang harus dimenangkan.? Serta apa piranti yang harus dipenuhi untuk memenangkan salah satunya.? Serta siapa pihak yang berwenang untuk memutuskan perbedaan tersebut.? insyaAllah jawabannya akan kita bahas detail di diskusi nanti malam, jam 20.15 WIB di Sekret El-Bukhari Institute. Silahkan hadir bagi teman-teman yang berminat.!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon kritik dan sarannya.!