Pada minggu yang lalu,
kita sudah masuk ke bahasan awal fenomena terjadinya pertentangan antara
putusan seorang hakim dengan fatwa mufti dalam sebuah permasalahan
tertentu. Setidaknya kita sudah mendapatkan sebuah kesimpulan sementara
bahwa pertentangan antara keduanya adalah sesuatu hal yang mungkin
terjadi, meskipun dalam kaedah asal sebuah putusan hakim mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat (ilzam), berbeda dengan fatwa yang hanya
sebatas ikhbar (informasi) semata, sehingga ia tidak bisa dianulir oleh
ijtihad yang lain.
Hal serupa juga pernah terjadi di negara ini beberapa tahun yang lalu ketika MK (Mahkamah Konstitusi) dan MUI (Majelis Ulama Indonesia) berbeda pandangan dalam persoalan bolehnya menisbatkan status anak zina kepada ayahnya. MK dengan segala pertimbangan yang ada memutuskan bahwa anak hasil perzinaan dapat saja dinisbatkan secara legal formal kepada ayah biologisnya. Hal ini dibantah keras oleh MUI yang menyebutkan bahwa penisbatan anak hanya bisa dihubungkan kepada ayah biologisnya manakala ayah dan ibunya sudah menikah secara resmi dan sah.
Mahkamah Konstitusi dalam hal ini, bisa kita analogikan kepada qadhi yang ada pada masa Rasul, sementara itu Majelis Ulama Indonesia bisa kita ibaratkan sebagai representasi dari mufti yang bertugas melayani masalah umat pada masa kenabian. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana solusi dan metode penyelesaian antara dua kasus tersebut jika berpedoman kepada regulasi yang dirumuskan al-Qarrafi dalam kitab al-Ihkamnya.? Sudut pandang apa kira-kira yang harus kita pedomani untuk mengunggulkan salah satu dari kedua pendapat tersebut.?
Sebagaimana yang dijelaskan pada teks minggu lalu, bahwa ternyata para ulama di kalangan Madzhab Maliki tidak satu suara dalam menyikapi pertentangan antara fatwa dengan qadha’ ini. Sebagian mereka berpandangan bahwa fatwa dianggap batal jika putusan hukum telah terlebih dahulu diambil oleh seorang hakim. Sehingga dalam kata lain, ketika palu sudah diketuk oleh seorang hakim dalam menyikapi sebuah persoalan, maka tidak ada lagi kesempatan bagi mufti yang lain untuk membantah apalagi menganulir putusan tersebut.
Akan tetapi di sisi lain, pandangan ini sangat kontras dengan teks kitab al-Jawahir yang ditulis oleh Imam Jamaluddin al-Judzami al-Sa’di al-Mishri (seorang ulama besar Mazhab Maliki dan juga seorang muhaddis, hafidz, serta shufi). Ia menegaskan bahwa sebuah putusan hukum, sekalipun tidak bisa dianulir, (tetap saja) ia tidak bisa merubah hukum Allah yang bersifat batin (hakikat). Dalam bahasa yang sederhana dapat dikatakan bahwa sebuah putusan hakim tidak bisa bisa merubah ketentuan asal syariat sebagaimana yang biasanya difatwakan oleh seorang mufti.
Ia berargumen bahwa qadha (putusan hakim) pada dasarnya hanyalah sebagai manifestasi dari hukum syariat yang bersifat abstrak (azali), bukan sebagai produsen dari hukum itu sendiri. Ia juga berpendapat jika seseorang hakim yang bermazhab Hanafi misalnya memutuskan sahnya pernikahan seseorang yang bermazhab Maliki (padahal sebenarnya dalam mazhab Maliki pernikahannya tidak dianggap sah karena syarat dan rukunnya tidak terpenuhi), maka tetap saja pernikahan orang yang bersangkutan tidak dianggap sah secara hakikat, sekalipun hakim telah menganggapnya sah berdasarkan bukti dan saksi yang dia peroleh.
Sedangkan sebagian ulama lainnya mempunyai pemetaan sendiri. Mereka berpandangan bahwa putusan hakim dalam persoalan-persoalan khilafiyah tidak serta merta bisa menghapuskan keberadaan fatwa ulama. Dengan kata lain boleh saja bagi seorang mufti untuk berfatwa sekalipun seorang hakim sudah memberikan putusan dalam persoalan tersebut. Mereka menegaskan bahwa yang terlarang sebenarnya adalah membatalkan putusan hakim, adapun untuk berfatwa (sekalipun bertentangan dengan putusan tersebut) tidaklah terlarang.
Namun al-Qarrafi menganggap aneh beberapa pendapat di atas, bahkan al-Qarrafi mengklaim bahwa sebagian mereka telah melanggar ijmak ulama dan sebaliknya al-Qarrafi menawarkan dua solusi dalam memahami kontradiksi antar pendapat ulama Malikiyyah tersebut. Bagaimanakah rincian detailnya.? Mari kita bincangkan sejenak malam ini, jam 20.15 di sekret El-Bukhari Institute.
Hal serupa juga pernah terjadi di negara ini beberapa tahun yang lalu ketika MK (Mahkamah Konstitusi) dan MUI (Majelis Ulama Indonesia) berbeda pandangan dalam persoalan bolehnya menisbatkan status anak zina kepada ayahnya. MK dengan segala pertimbangan yang ada memutuskan bahwa anak hasil perzinaan dapat saja dinisbatkan secara legal formal kepada ayah biologisnya. Hal ini dibantah keras oleh MUI yang menyebutkan bahwa penisbatan anak hanya bisa dihubungkan kepada ayah biologisnya manakala ayah dan ibunya sudah menikah secara resmi dan sah.
Mahkamah Konstitusi dalam hal ini, bisa kita analogikan kepada qadhi yang ada pada masa Rasul, sementara itu Majelis Ulama Indonesia bisa kita ibaratkan sebagai representasi dari mufti yang bertugas melayani masalah umat pada masa kenabian. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana solusi dan metode penyelesaian antara dua kasus tersebut jika berpedoman kepada regulasi yang dirumuskan al-Qarrafi dalam kitab al-Ihkamnya.? Sudut pandang apa kira-kira yang harus kita pedomani untuk mengunggulkan salah satu dari kedua pendapat tersebut.?
Sebagaimana yang dijelaskan pada teks minggu lalu, bahwa ternyata para ulama di kalangan Madzhab Maliki tidak satu suara dalam menyikapi pertentangan antara fatwa dengan qadha’ ini. Sebagian mereka berpandangan bahwa fatwa dianggap batal jika putusan hukum telah terlebih dahulu diambil oleh seorang hakim. Sehingga dalam kata lain, ketika palu sudah diketuk oleh seorang hakim dalam menyikapi sebuah persoalan, maka tidak ada lagi kesempatan bagi mufti yang lain untuk membantah apalagi menganulir putusan tersebut.
Akan tetapi di sisi lain, pandangan ini sangat kontras dengan teks kitab al-Jawahir yang ditulis oleh Imam Jamaluddin al-Judzami al-Sa’di al-Mishri (seorang ulama besar Mazhab Maliki dan juga seorang muhaddis, hafidz, serta shufi). Ia menegaskan bahwa sebuah putusan hukum, sekalipun tidak bisa dianulir, (tetap saja) ia tidak bisa merubah hukum Allah yang bersifat batin (hakikat). Dalam bahasa yang sederhana dapat dikatakan bahwa sebuah putusan hakim tidak bisa bisa merubah ketentuan asal syariat sebagaimana yang biasanya difatwakan oleh seorang mufti.
Ia berargumen bahwa qadha (putusan hakim) pada dasarnya hanyalah sebagai manifestasi dari hukum syariat yang bersifat abstrak (azali), bukan sebagai produsen dari hukum itu sendiri. Ia juga berpendapat jika seseorang hakim yang bermazhab Hanafi misalnya memutuskan sahnya pernikahan seseorang yang bermazhab Maliki (padahal sebenarnya dalam mazhab Maliki pernikahannya tidak dianggap sah karena syarat dan rukunnya tidak terpenuhi), maka tetap saja pernikahan orang yang bersangkutan tidak dianggap sah secara hakikat, sekalipun hakim telah menganggapnya sah berdasarkan bukti dan saksi yang dia peroleh.
Sedangkan sebagian ulama lainnya mempunyai pemetaan sendiri. Mereka berpandangan bahwa putusan hakim dalam persoalan-persoalan khilafiyah tidak serta merta bisa menghapuskan keberadaan fatwa ulama. Dengan kata lain boleh saja bagi seorang mufti untuk berfatwa sekalipun seorang hakim sudah memberikan putusan dalam persoalan tersebut. Mereka menegaskan bahwa yang terlarang sebenarnya adalah membatalkan putusan hakim, adapun untuk berfatwa (sekalipun bertentangan dengan putusan tersebut) tidaklah terlarang.
Namun al-Qarrafi menganggap aneh beberapa pendapat di atas, bahkan al-Qarrafi mengklaim bahwa sebagian mereka telah melanggar ijmak ulama dan sebaliknya al-Qarrafi menawarkan dua solusi dalam memahami kontradiksi antar pendapat ulama Malikiyyah tersebut. Bagaimanakah rincian detailnya.? Mari kita bincangkan sejenak malam ini, jam 20.15 di sekret El-Bukhari Institute.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon kritik dan sarannya.!