Pengalaman Gharib di Hari Jum’at


-->
Ketika membaca hikayat-hikayat Abu Nawas yang lucu dan sangat kocak itu, mungkin kita akan berfikir bahwa apa yang pernah beliau alami hanya khusus terjadi pada diri beliau saja. Dan bahkan mungkin ada sebagian kita yang meragukan keotentikan sebagian kisah-kisah lucu yang dinisbatkan kepada tokoh sufi yang bernama lengkap Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami itu. Betapa banyak kisah-kisah yang sangat berkesan telah dilakoni oleh Abu Nawas semasa hidupnya. Sebagaimana yang diketahui Abu Nawas dilahirkan pada tahun 145 Hijriah di daerah Ahvaz, Persia dengan bapak yang berasal dari Arab dan ibunya yang merupakan pribumi Persia. Beliau hidup berbarengan dengan masa kekhalifahan Harun al-Rasyid, khalifah yang sangat terkenal dari Bani Abbasiyyah. Dan tak jarang kisah-kisah lucu yang beliau goreskan dalam kehidupannya dibayang-bayangi oleh ketegangan dan ketegasan dari khalifah.

Salah satu kisah yang bisa membuat siapapun yang mendengarkannya tertawa terbahak-bahak adalah kisah ketika suatu hari di dekat kediaman Abu Nawas, ada sebuah keluarga yang tengah berkabung lantaran salah seorang anggota keluarganya dipanggil oleh Allah SWT. Setelah selesai dikafani, muncullah kebingungan keluarga tersebut mengenai orang yang akan mengimami shalat jenazah buat anggota keluarganya itu. Setiap orang yang dianggap mampu untuk mengimami shalat, tidak satupun yang bersedia untuk menjadi imam. Akhirnya keluarga tersebut melihat Abu Nawas yang kebetulan hadir ditempat tersebut. Karena tidak ada orang lagi, akhirnya Abu Nawas diminta untuk mengimami shalat jenazah yang sebentar lagi akan dilaksanakan itu.
           
Dengan penuh percaya diri Abu Nawas maju kedepan majlis menghampiri jenazah yang sudah siap untuk dishalati tersebut. Takbirpun dimulai dan beberapa saat setelah itu para makmum yang berada dibelakang Abu Nawas terkejut bukan kepalang. Bagaimana tidak, shalat jenazah yang mereka kenal dan amalkan selama ini tidak ada ruku’ dan sujudnya, namun ketika Abu Nawas mengimami mereka terdapat beberapa kali ruku’ dan sujudnya. Karena telah meminta, akhirnya para jamaah ngikut saja dengan shalat yang tengah disopiri oleh Abu Nawas itu. Setelah shalat berakhir, para jamaah langsung menyerbu Abu Nawas dengan pertanyaan-pertanyaan bercampur keheranan, namun dengan santainya Abu Nawas menjawab “itu saya perbuat karena dosa mayat ini sangat banyak, sehingga perlu tambahan khusus buat menyalatkannya yaitu dengan ruku’ dan sujud.hehe
           
Kalau diperhatikan kisah itu sangat tidak mungkin terjadi pada masa sekarang, kecuali orang yang melakukannya adalah orang yang belum pernah belajar syariat agama Islam sama sekali atau bagi mereka yang bikin sensasi supaya dikenal orang lain sebagaimana dikenal dengan istilah khalif tu’raf (menyelisihi adat kebiasaan supaya terkenal). Tapi cerita yang akan penulis tuliskan ini bukanlah mimpi, dan bukan juga lantaran kelalaian, dan begitu juga tidak tergolong kedalam dua unsur yang disebutkan diawal tadi. Ini adalah kasus nyata yang penulis alami sendiri sewaktu mengikuti ngaji Posonan di daerah Kajen, Margoyoso, Pati baru-baru ini. Cerita lengkapnya seperti dibawah ini :
           
Hari itu hari Jum’at tanggal 12 Agustus 2011. Sebagaimana biasa setiap hari Jum’at, para kaum adam yang beragama Islam diseluruh dunia diwajibkan untuk melaksanakan shalat Jum’at secara berjamaah. Begitupun dengan penulis, karena terlahir sebagai seorang laki-laki, maka secara otomatis berkewajiban untuk melaksanakannya. Siang itu penulis dibangunkan oleh seorang teman dari qailulah yang kebetulan sempat penulis lakukan. Setelah bangun, penulis langsung melihat jam di HP yang kebetulan berada tidak jauh dari tempat penulis tidur. Ternyata jam telah menunjukkan jam 11 lewat 15 menit, sementara waktu Jum’at di daerah ini (minggu sebelumnya) seingat penulis dimulai semenjak jam 12 kurang seperempat menit. Dengan sigap penulis gerakkan badan sambil mengambil perlengkapan mandi dan langsung bergegas menuju kamar mandi Ponpes Maslakul Huda (tempat tinggal penulis selama mengikuti ngaji pasaran).       

Setelah sampai di kamar mandi, ternyata tak satupun kamar mandi yang kosong. Semuanya sedang dipakai oleh teman-teman penulis, ya berkemungkinan besar mereka juga berfikiran sama dengan penulis yaitu mandi dan persiapan Jum’at lainnya. Karena takut telat, akhirnya penulis putuskan untuk tidak mandi dan langsung menggosok gigi, bersih-bersih sedikit, dan kemudian berwudu’. Setelah selesai, penulis bersiap-siap berangkat dengan pakaian koko putih dan sarung kotak-kotak yang kebetulan “berdinas” pada hari itu. Teman yang membangunkan penulis tadi rupanya sudah berangkat duluan, akhirnya penulis berangkat bersama teman-teman lain sesama peserta posonan yang tersebar dari berbagai ponpes di pulau Jawa.

Jarak antara masjid dengan asrama Maslakul Huda tidak begitu jauh, hanya sekitar 800 meter kurang lebih, perjalanan kesana menghabiskan waktu 6 sampai 7 menit saja. Jalannya melewati perkampungan yang lumayan bersih dan tertapa rapi dengan rumah-rumah cantik yang mengelilinginya. Ditengah perjalanan kami lewati beberapa tempat bersejarah yang menjadi ciri khas daerah Kajen, diantaranya madrasah Mathaliu al-Falah (madrasah yang dikepalai oleh Kiai Sahal Mahfudz dan didirikan oleh kakek beliau yang bernama Syekh Abdussalam bin Abdullah pada tahun 1912) dan maqam Syekh Mutamakkin rahimahullah (seorang ulama yang menjadi icon penyebar Islam di daerah Kajen, Margoyoso). Siang itu lumayan agak panas, karena matahari bersinar begitu teriknya dan tanpa terasa panas matahari tersebut menyengat sampai kekepala penulis yang kebetulan sebelumnya juga sedikit agak pusing/deman karena diserang influenza sejak beberapa hari sebelumnya.

Beberapa saat kemudian sampailah kami di masjid tujuan yang tidak begitu jauh dari maqam Syekh Mutamakkin. Dan penulis merasa agak lega karena kegiatan Jum’at belum dimulai. Akan tetapi didekat bantaran masjid ada seorang pengurus yang terus memukul-mukul beduk pertanda masuknya waktu Jum’at, tapi anehnya pemukulan beduk itu berlangsung agak lama yaitu sekitar 15 sampai 20 menitan sampai azan benar-benar dikumandangkan. Penulis tidak tahu apakah itu merupakan kebiasaan yang dilakukan setiap Jum’at ataukah khusus hari itu saja, penulis sempat bertanya kepada salah seorang teman, akan tetapi dia juga tidak mengetahuinya.

Akhirnya azan Jum’atpun dikumandangkan, maka hanyutlah penulis bersama para jamaah dalam kesyahduan suara muadzin yang lumayan agak berumur itu. Setelah azan selesai, seorang pengurus bangkit dan berdiri dihadapan kami. Diapun menyampaikan sebuah pengumuman dalam bahasa Jawa yang kurang penulis pahami maksud dan tujuannya. Penulis juga tidak bertanya kepada jamaah yang berada disamping penulis, dengan anggapan pengumuman tersebut hanyalah pengumuman biasa sebagaimana yang juga dipraktekkan di Ciputat (tempat penulis kuliah) dan kampung penulis. Akan tetapi setelah pengurus tersebut selesai berbicara, dia mengumandangkan qamat “al-shalaatu jamiah rahimakumullah” suatu hal yang tidak lazim diucapkan sebelum pelaksanaan shalat Jum’at. Namun pasca ucapan itu seluruh jamaah yang berada disekeliling penulis serentak berdiri. Penulis beranggapan mereka pasti akan melaksanakan shalat sunnah qabliyah Jum’ah sebagaimana biasanya. Dan penulispun juga ikut berdiri dengan maksud melakukan shalat itu juga.

Setelah takbir dan membaca surah al-fatihah, penulis langsung ruku’, setelah itu I’tidal. Satu keanehan mulai penulis rasakan, tidak seorangpun dari jamaah yang ada didepan dan disamping penulis yang ruku’ dan I’tidal sebagaimana yang penulis lakukan. Mereka tetap berdiri tegak seakan membaca sesuatu, tapi anehnya “kenapa waktunya lebih lama dan hampir semua mereka serentak melakukannya” tanya penulis dalam hati. Dengan tetap memegang keyakinan sendiri, akhirnya penulis lanjutkan shalat dengan gerakan sujud sehabis I’tidal yang baru saja selesai. Namun apa yang terjadi, pada saat penulis meletakkan kening ketempat sujud terdengar suara takbir “allahu akbar” dari cerobong speaker yang menandakan takbir dari seorang imam. Keraguan penulis mengenai shalat yang tengah dilakukan oleh orang-orang itu semakin memuncak. Tanda tanya besarpun terlintas dalam hati penulis, shalat apa sebenarnya yang tengah mereka lakukan..???.

Penulis langsung berfikir keras “shalat apa yang pelaksanaanya selalu dalam kondisi berdiri.?”, kemudian penulis jawab sendiri “satu-satunya shalat yang tatacaranya seperti itu hanyalah shalat jenazah, tapi jenazahnya kok g’ keliahatan.?”, pertanyaan itu kembali penulis jawab sendiri “kalau begitu shalat ini tak lain dan tak bukan adalah shalat ghaib” ucap penulis dalam hati. Sesaat kemudian, tanpa berpikir panjang dan sedikit merasa malu juga, penulis langsung berniat keluar dari shalat yang tengah penulis lakukan yaitu shalat sunat qabliyah jumat, kemudian berdiri serta takbiratul ihram kembali dengan niat shalat ghaib. Ternyata shalat yang mereka lakukan adalah shalat ghaib untuk jenazah seseorang yang tidak penulis ketahui siapa namanya, karena diumumkan dalam bahasa Jawa yang tidak jelas. Penulis baru menyadari  bahwa ketidakmampuan penulis berkomunikasi dalam bahasa Jawa merupakan penyebab utama dari hal ini. Semenjak hari itu penulis bertekad bahwa pada suatu hari nanti penulis harus bisa (setidaknya) memahami bahasa tersebut.hehe

Begitulah pengalaman yang sedikit lucu tapi mengesankan itu penulis jalani. Penulis tidak menyangka kalau peristiwa yang dahulu pernah dilakukan oleh Abu Nawas, tanpa disengaja juga penulis ikuti. Bedanya kalau Abu Nawas memang berniat shalat jenazah sekaligus menjadi imam shalat, sementara penulis shalat sunnah ditengah-tengah jamaah yang sedang melaksanakan shalat jenazah, yang disebabkan karena miscomunication dengan para jamaah yang lain.hehe. Walau sebenarnya apa yang penulis lakukan bukanlah suatu hal yang salah (karena berniat shalat sunat qabliyah Jum’at, bukan shalat jenazah), akan tetapi perbedaan gerakan tersebut sangat mencolok dan sempat menyebabkan penulis berkeringat dingin menahan malu dengan jamaah yang berada disamping penulis. Tapi untunglah waktu itu tidak banyak orang yang mengetahui, karena kondisi mereka yang sedang melaksanakan shalat ditambah lagi suasana masjid yang agak gelap lantaran bangunannya yang terbuat dari kayu serta tidak dimasuki oleh cahaya matahari. Sekian..!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon kritik dan sarannya.!

صاحب الكتابة

Foto saya
Bukittinggi, Agam, Indonesia
Seorang pelajar yang tengah berkontemplasi dalam pencarian jatidiri dan ilmu pengetahuan, walau hingga saat ini ilmu yang dia harapkan terasa masih dangkal dan jauh dari kesempurnaan. Dia lahir pada hari Kamis pagi, tanggal 22 Februari 1990 atau bertepatan dengan 26 Rajab 1410 Hijriah. Diberi nama dengan Yunal Isra bin Syamsul Bahri dan biasa dipanggil dengan sebutan Yunal/Isra/Inal. Pendidikan pertama yang pernah dijalaninya adalah Pendidikan TK pada tahun 1996, kemudian dilanjutkan ke SD 01 Baso dan tamat pada tahun 2002. Setelah itu memutuskan untuk fokus mendalami ilmu-ilmu keislaman di MTI Canduang dan tamat pada tahun 2009. Setahun kemudian ia meneruskan petualangan intelektualnya di program S1 Fakultas Dirasah Islamiyyah UIN Syarif Hidayatullah dan Darus-Sunnah International Institute For Hadith Sciences Jakarta. Berharap semoga bisa menjadi orang yang bermanfaat untuk manusia lain dan diredoi orang tua dan tuhannya, amien.! Fokus kajiannya sekarang "al-Muhaafazhah A'la al-Qadiimi al-Shaalih, wa al-Akhdzu bi al-Jadiidi al-Ashlah".

Terima kasih atas kunjungannya.........!!!!!!

نحمدك اللهم منزل الآيات تبصرة لأولى الألباب ورافع الدلالات عبرة لتزيل بها عن القلوب الحجاب ونشكرك شرعت الحلال والحرام وأنزلت الكتاب وجعلته هدى لكل خير يرام ونصلى ونسلم على سيدنا محمد المؤيد من الله بأجلى النيرات والساطع نوره في أفق الهداية بما يزيح الريب والمدلهمات وعلى آله خير آل وأصحابه ومن لهم مقتف أوموال