Dalam
pergaulan sehari-hari bersama keluarga atau teman kos misalnya, mungkin saja seseorang menemukan sebagian dari mereka (keluarga atau teman tersebut) yang
sulit bangun di pagi hari. Mereka baru bangun setelah matahari menyingsing
menyinari segala yang ada di permukaan bumi, sehingga waktu subuh pun berakhir sementara
mereka belum melaksanakan ibadah salat sama sekali. Bagi orang yang kebetulan
tinggal bersama anggota keluarga atau teman seperti ini tentunya akan bimbang antara
pilihan membangunkan mereka saat itu juga atau membiarkan saja sampai mereka bangun
dengan sendirinya.
Bagi mereka yang bisa bangun sendiri nampaknya hal ini tidak
menjadi persoalan, karena mereka masih punya kesempatan untuk melaksanakan
ibadah salat di dalam waktunya. Akan tetapi bagaimana dengan mereka yang tidak bisa,
apakah orang yang sudah bangun berkewajiban membangunkan mereka atau bagaimana? Apakah
ketika yang bersangkutan baru bangun setelah waktu salat habis dan tidak sempat
melaksanakan salat, dosanya ditanggung oleh orang yang sudah bangun duluan atau bagaimana?
Beberapa pertanyaan tersebut akan dibahas dalam tulisan yang sederhana ini, insyaAllah.
Imam Nawawi dalam al-Majmu’ menjelaskan bahwa sunah hukumnya
membangunkan orang yang sedang tidur untuk melaksanakan salat, terlebih lagi
kalau waktunya sudah sempit (hampir habis). Beliau berdalil dengan ayat al-Qur’an, surat al-Maidah, ayat ke-2, yang artinya, “Saling
tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan” dan juga dengan
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang bersumber dari Sayyidah
Aisyah di mana beliau bercerita, “Suatu malam, Rasulullah Saw tengah
melakukan salat malam, sementara aku tidur terlentang di hadapan beliau. Ketika
akan menutup salatnya dengan witir, beliau pun membangunkanku, lalu aku salat
witir (bersama beliau)”.
Sementara
itu, Sulaiman al-Jamal dalam karyanya Hasyiyah al-Jamal merinci hukum
membangunkan tersebut berdasarkan kondisi orang yang tidur. Jika seseorang
tersebut tidur karena kesembronoan (sebut muta’addin dalam istilah
fikih) seperti sengaja tidur setelah waktu salat masuk misalnya,
sementara dia tidak yakin kalau akan bangun sebelum waktu salat habis, maka
membangunkan orang seperti ini hukumnya adalah wajib bagi mereka yang mengetahui
kondisinya, tapi kalau tidak mengetahui maka tidak wajib. Kemudian jika ia
tidur bukan karena kesembronoan, seperti orang yang tidur sebelum waktu salat
masuk, maka membangunkannya hanya dihukumi sunat saja, dalam artian meskipun salatnya luput karena ketiduran, orang yang berada di sekitarnya tidak
dikenai dosa karena tidak membangunkannya.
Hal senada
juga diungkapkan oleh Imam al-Suyuthi dalam karyanya al-Asybah wa
al-Nazhair. Ia menyimpulkan bahwa membangunkan orang yang tertidur hukumnya ada dua, adakalanya wajib dan adakalanya
sunah saja. Wajib ketika yang bersangkutan tidur setelah masuk waktu. Kewajiban
itu, menurut al-Suyuthi, muncul dari keumuman ayat yang memerintahkan umat
Islam untuk beramar makruf dan bernahi mungkar kepada sesamanya, karena
orang yang sengaja tidur setelah ia ditaklifi untuk melakukan salat
adalah orang yang sedang bermaksiat dan mengingatkan orang yang tengah berbuat
maksiat adalah sebuah kewajiban. Namun jika yang bersangkutan tidur sebelum
masuk waktu, maka hukum membangunkannya hanya sunat saja, karena dia tidur
sebelum terkena hukum taklif.
Syekh
Sulaiman al-Jamal menggarisbawahi bahwa tidur setelah masuk waktu salat adalah
jenis tidur yang beliau sebut dengan tidur al-saqawah (tidur
kecelakaan). Hal itu berdasarkan klasifikasi tidur yang beliau bagi sendiri sesuai
dengan fungsi, keutamaan, serta anjuran penggunaannya. Yaitu, pertama, tidur
al-ghaflah (kelalaian) yaitu tidur di majlis zikir. Kedua, tidur al-syaqawah
(kecelakaan) yaitu tidur pada saat waktu salat sudah masuk. Ketiga,
tidur al-la’nah (laknat) yaitu tidur pada waktu subuh. Keempat,
tidur al-‘uqubah (hukuman) yaitu tidur setelah terbit fajar.
Kelima, tidur al-rahah (istirahat) yaitu tidur sebelum salat
Zuhur. Keenam, tidur al-rahmah (rahmat) yaitu tidur setelah salat
Isya. Dan yang ketujuh, tidur al-hasarah (kerugian/penyesalan)
yaitu tidur pada malam Jum’at.
Sedangkan Ibn Hajr al-Haitami dalam karyanya Tuhfah al-Muhtaj memperluas
cakupan sunah membangunkan orang yang sedang tidur untuk hal-hal lain selain
salat seperti sunah membangunkan orang yang tertidur di hadapan orang yang
sedang salat, begitu juga dengan orang yang tidur di saf pertama ataupun mihrab
masjid (agar tidak menganggu orang yang akan melaksanakan salat jamaah), orang
yang tidur di atas atap rumah yang tidak punya pembatas (agar nyawanya tidak
terancam), orang yang tidur setelah terbit fajar sekalipun dia telah
melaksanakan salat Subuh dan orang yang tidur setelah Ashar sekalipun dia telah
menunaikan salat Ashar.
Begitu juga dengan orang yang tidur sendirian di sebuah rumah yang
tidak ada penghuni lain selain dia, kemudian seorang perempuan yang tidur
sambil terlentang (karena tidur seperti itu bagi perempuan dianggap tidak sopan
jika dilakukan di tempat yang terbuka), perempuan atau laki-laki yang tidur
dalam posisi telungkup (karena tidur dengan posisi seperti itu dibenci oleh
Allah dan Rasul-Nya). Selain itu, Ibn Hajr juga menghukumi sunah
membangunkan orang lain untuk salat malam, atau untuk sahur (bagi mereka yang
akan berpuasa), atau orang yang tertidur di Arafah pada saat pelaksanaan ibadah
wukuf tengah berlangsung, karena waktu itu adalah saat-saat yang penting dalam
pelaksanaan ibadah haji. Allahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon kritik dan sarannya.!