Setelah penaklukan Irak dan Syam pada masa kekhalifahan Saydina Umar
ibn Khattab, para sahabat dihadapkan dengan persoalan apakah yang harus mereka
lakukan terhadap tanah hasil rampasan perang tersebut. Jika merujuk kepada apa
yang pernah dipraktekkan oleh Rasulullah Saw di masa hidupnya, maka empat
perlima dari tanah tersebut harus dibagikan kepada mereka yang ikut berperang
dan seperlimanya digunakan untuk kemaslahatan umum. Namun Saydina Umar
mempunyai pandangan yang berbeda, ia tidak lagi membagikan harta rampasan
perang tersebut seperti aturan yang pernah berlaku. Malahan ia memutuskan untuk
membiarkan tanah tersebut tetap berada di tangan pemiliknya, hanya saja mereka
dikenakan pajak dan hasilnya diberdayakan untuk kepentingan umat Islam dan
pemerintahan.
Sepintas apa yang dilakukan oleh Umar pada kasus di atas adalah
suatu hal yang menyalahi aturan baku yang telah ditetapkan oleh Allah dan
Rasul-Nya. Allah Swt menyebutkan dalam surat
al-Anfal, ayat ke-41, bahwa seperlima harta rampasan perang dialokasikan buat kepentingan kaum muslimin dan sisanya
dibagi-bagikan kepada prajurit muslim yang ikut serta dalam berperang. Sehingga
pertanyaannya sekarang adalah kenapa ijtihad (sebut fatwa) dari Saydina Umar
terkait kasus di atas bisa berbeda? Apa dasar hukum serta alasan beliau
mengubah hukum tersebut? Tidak khawatirkah beliau kalau nantinya dianggap
sebagai orang yang berani menentang ataupun bahkan merubah hukum Allah dan
Rasul-Nya?
Terkait dengan pertanyaan-pertanyaan di atas, para ulama Ushul
Fikih telah merumuskan sebuah kaedah bahwa fatwa terhadap sebuah kasus tertentu
bisa saja berubah disebabkan oleh perubahan waktu, tempat, orientasi, situasi
dan kondisi lingkungan di mana fatwa itu disampaikan. Hal ini pernah diulas secara panjang lebar
oleh Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam karyanya I’lam al-Muwaqqi’in. Sementara
itu Syekh Yusuf al-Qaradhawi menyebutkan setidaknya ada sepuluh faktor penyebab
perubahan fatwa ulama. Selain lima faktor di atas, beliau menambahkan lima faktor
lainnya, seperti faktor tradisi (‘uruf),
perubahan ilmu pengetahuan dan kebutuhan
manusia, perubahan kemampuan manusia, perubahan kondisi sosial, ekonomi dan
politik, perubahan pemikiran serta
musibah/bencana.
Berdasarkan kaedah tersebut, maka dapat dipahami bahwa perubahan
kebijakan/fatwa yang dikeluarkan oleh Saydina Umar terkait masalah di atas
sudah pasti dilatarbelakangi oleh suatu faktor tertentu. Ali Hasan menyebutkan bahwa keputusan
tersebut diambil oleh Saydina Umar karena ia melihat kepentingan masa depan
umat Islam secara keseluruhan. Dengan diberlakukannya kewajiban pajak terhadap
tanah-tanah rampasan perang tersebut maka Islam akan semakin kuat karena
ditopang oleh perekonomian yang mapan serta pemerintahan yang solid. Hal inilah
yang kemudian melatarbelakangi Ahmad Raisuni menyebutkan bahwa kemaslahatan
merupakan dasar pijakan utama dalam pemutusan sebuah hukum.
Selain itu, Syekh Ali Jum’ah dalam karyanya ‘Ilm Ushul al-Fiqh
wa ‘Alaqatuhu bi al-Falsafah al-Islamiyyah juga menggarisbawahi bahwa fatwa
merupakan elemen terpenting dalam hukum Islam yang bersentuhan langsung dengan
hajat hidup orang banyak (sebut masyarakat). Oleh sebab itu, fatwa seharusnya dibangun
berdasarkan realitas yang terjadi dengan menekankan prinsip kemaslahatan serta keadilan
sosial. Ia juga menekankan bahwa seorang mufti seyogyanya harus memahami persis
perihal kasus yang sedang ia tangani, jika perlu seandainya kasus tersebut berkaitan dengan bidang
keilmuan yang tidak ia kuasai misalnya, maka sang mufti harus memusyawarahkan
persoalan tersebut kepada para pakar yang menguasai bidang tersebut sebelum
akhirnya mengeluarkan fatwa.
Kesembronoan dalam berfatwa bisa saja membawa dampak negatif
terhadap orang yang meminta fatwa (baca mustafti), karena hal tersebut
mungkin saja berakibat kebinasaan ataupun bahkan perpecahan kalau fatwa
tersebut berkaitan dengan relasi antar masyarakat. Sebagai contoh misalnya,
pada masa Rasulullah ada seorang yang terluka dalam sebuah perjalanan, tanpa
disengaja pada malam harinya dia junub. Lalu ia bertanya kepada teman-temannya
-yang serombongan dengannya- terkait apakah ia boleh bertayamum saja sebagai ganti dari
mandi wajib. Tanpa berpikir panjang teman-temannya
menjawab bahwa ia tetap harus mandi. Akhirnya karena
infeksi, laki-laki tersebut meninggal
dunia. Ketika berita tersebut disampaikan kepada Rasulullah, beliau pun marah
terhadap teman-temannya dan
menyebut mereka sebagai “pembunuh” sahabatnya yang
meninggal tersebut.
Begitu juga dengan fatwa yang berisi pencapan kafir terhadap suatu
golongan atau kelompok tertentu sebelum menelitinya secara mendalam nan akurat
juga dapat mengakibatkan kehebohan dan perpecahan di kalangan masyarakat. Tidak
sedikit fatwa-fatwa seperti ini mengundang amarah serta tindakan radikal dari
sekelompok orang yang merasa benar karena dilegitimasi oleh fatwa sembrono dari muftinya.
Imam Ahmad
ibn Hambal, sebagai dikutip oleh Ali Hasaballah, mensyaratkan seorang mufti
harus paham dengan hal ihwal masyarakat dan tipologi mereka. Hal ini supaya
sang mufti tidak terjebak oleh kepicikan serta memutuskan perkara dengan hasil
yang jauh dari standar-standar kemaslahatan yang ada.
Berdasarkan penjabaran di atas, perlu rasanya semua pihak untuk
saling introspeksi diri agar tidak lantas langsung menyalahkan tindakan orang
lain yang secara lahiriah berbeda dengan apa yang ia lakukan. Karena mungkin
saja kondisi atau situasi yang ia hadapi berbeda dengan apa yang orang lain
hadapi. Fatwa ulama di pedesaan yang masyarakatnya
homogen (seideologi) pasti akan
berbeda dengan fatwa mereka yang tinggal di daerah perkotaan yang cenderung heterogen
(multietnis
dan beragam). Begitu juga fatwa ulama yang
hidup di daerah minoritas Islam tentunya akan berbeda dengan mereka yang
tinggal di daerah yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam dan begitu
seterusnya. Sehingga dengan demikian, saling memahami kondisi sangat dibutuhkan
dalam persoalan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon kritik dan sarannya.!