Kyai-ku, Kyai-mu, dan Kyai Kita; Sebuah Refleksi Terhadap Perjuangan Kyai Ali Mustafa Yaqub (1952-2016)


Wisuda Darus-Sunnah 2014

Sudah banyak berita, informasi, obrolan, serta kenangan tertumbah ruah di berbagai media terkait kiai yang satu ini. Kiai yang andai tulisan ini tidak saya tulis sekalipun, tidak akan mengurangi kebesaran beliau sebagai seorang ulama pembela hadis dan sunah Nabi. Seorang kiai nan arif bijaksana yang sampai marahnya pun tidak membuat hati kesal serta hardikannya pun tidak lantas membuat diri ini dongkol kepadanya. Beliaulah Ali Mustafa Yaqub yang hari ini telah dipanggil oleh Sang Kekasih, Allah Swt untuk menghadap keharibaan-Nya. Kepergian yang begitu cepat dan tidak disangka-sangka sebelumnya.

Sebagai murid (meskipun hanya pengakuan sepihak), jujur dari lubuk hati yang paling dalam, saya merasa kehilangan yang mendalam saat mendengar berita kepulangan beliau. Meskipun interaksi saya dengan beliau tidak terlalu intens, tapi entah kenapa gaya berpikir dan analisa-analisa beliau terkait ajaran agama sejalan dan mudah diserap oleh pikiran saya. Dan bahkan (kalau harus jujur) banyak tulisan-tulisan “sampah” yang pernah saya tulis seputar kajian keislaman terinspirasi dan disadur dari pikiran serta buku-buku karangan beliau.
 
Alhamdulillah, selama kurang lebih empat tahun lamanya diri ini pernah ditatar dan ditempa oleh “tangan kreatif” beliau di Darus-Sunnah. Sebuah pesantren yang menjadi surganya para pemulung ilmu dan pengetahuan seputar hadis dan ilmu-ilmunya. Penjelasan dan pertanyaan-pertanyaan simpel namun menjebak menjadi menu “sarapan pagi” kami setiap pagi Senin dan Kamis bersama beliau kala itu. Ratusan dan bahkan ribuan petuah unik nan ilmiah sudah berseliweran di telinga ini dari mulut beliau, meskipun tidak semuanya terekam baik oleh pikiran.

Satu di antara hal unik yang masih teringat hingga sekarang adalah saat pertama kali belajar dengan beliau pada tahun 2010 silam. Waktu itu saya belum berstatus apa-apa di Darus-Sunnah, tidak tamu, bukan juga mahasantri, apalagi keluarga beliau. Bisa dibahasakan waktu itu saya tidak lebih dari seorang penyusup yang menyelinap ke sebuah majelis pengajian tanpa seizin pemilik majelis. “Penyelinapan” itu saya lakukan karena didorong oleh rasa penasaran yang sudah lama saya pendam ketika mendengar kealiman beliau dengan pesantren Darus-Sunnahnya.

Sebagai seorang yang dilahirkan dari kultur budaya yang berbeda, saya mengira bahwa bertanya di sela-sela pemilik majelis sedang berbicara merupakan suatu hal yang biasa. Dengan beraninya saya acungkan tangan sambil bersuara agak keras memanggil beliau untuk menanyakan sebuah hal yang saya anggap janggal dari keterangan beliau. Kalau saya tidak salah ingat, pada saat itu beliau sedang menerangkan persoalan hukum membaca al-Fatihah bagi makmum dalam salat jamaah atau hal yang terkait dengan persoalan tersebut.

Beberapa kali saya menyaut “Ya Syekh, urid al-sual”, tapi tidak digubris oleh beliau dan malahan –kata teman yang di samping saya- beliau meminta saya untuk diam terlebih dahulu. Akan tetapi, lucunya saya tidak mendengarkan perkataan teman tersebut dan malahan saya mengira beliau tidak mendengar panggilan saya. Akhirnya saya panggil beliau untuk ketiga kalinya dengan nada yang tidak jauh berbeda dengan nada sebelumnya. Akhirnya dengan suara yang agak keras “uskut” (diamlah.!), beliau pun menjawab sautan saya. Sadar kalau apa yang saya lakukan kurang tepat, akhirnya saya bungkam dan mencoba menata hati kembali untuk menahan rasa malu yang bersarang dalam hati dari anggota majelis yang lain, Hehe.

Akan tetapi beberapa saat kemudian, setelah selesai menjelaskan, dengan kearifannya, Kiai Ali mengarahkan pandangannya kepada saya sembari menanyakan apa yang hendak saya tanyakan tadi. Akhirnya pertanyaan saya ulangi (meskipun dengan suara bergetar dan suasana hati yang kurang nyaman) dan beliau pun menjelaskan dengan baik tanpa menegur ataupun mempermalukan saya di tengah teman-teman yang hadir saat itu. Sejak saat itu, saya mengenal beliau sebagai seorang yang menghargai setiap pertanyaan, dari mana pun sumbernya.

Di kesempatan yang berbeda, kali ini setelah menjadi mahasantri Darus-Sunnah, saya pernah disuruh berdiri oleh beliau karena mengira saya tidur saat belajar. Padahal sebenarnya yang terjadi hanyalah saya agak sedikit menekurkan kepala karena kebetulan kitab yang tengah dipelajari saya hamparkan langsung di atas lantai sehingga membuat saya sedikit merunduk. Tiba-tiba “prook”, sebuah bunyi pukulan meja agak keras mengejutkan saya hingga membuat saya menegakkan kepala secara otomatis untuk melihat sumber suara tersebut.

Namun tiba-tiba saja kalimat “Qum anta” (berdirilah.!) terdengar keras dan beliau arahkan kepada saya. Sadar akan isyarat tersebut, tidak ada pilihan lain bagi saya kecuali mematuhi perintah beliau. Itulah hukuman berdiri pertama dan terakhir kali yang pernah beliau hadiahkan kepada saya. Meskipun agak sedikit kecewa, namun entah kenapa hati ini tidak merasa dongkol ataupun dendam sedikitpun terhadap keputusan beliau, malahan saya menikmati hukuman tersebut sebagai bukti perhatian beliau kepada seluruh murid-muridnya. Beliau tidak ingin kalau murid-muridnya menyepelekan apalagi meremehkan proses pembelajaran.

Begitu juga dengan hukumun berdiri yang sempat beliau berikan kepada jawara kamar mandi terkotor yang diadakan oleh divisi kebersihan Darus-Sunnah kala itu. Lagi-lagi saya mendapat “hadiah” berdiri dari beliau karena memperoleh anugerah sebagai ausakh al-hammam (kamar mandi terkotor) dalam kompetisi tersebut. Sialnya lagi, saat itu yang disuruh berdiri hanya ketua kamar mandi saja yang orangnya tidak lain dan tidak bukan adalah saya sendiri. Namun sekali lagi hal tersebut tidak membuat saya dongkol terhadap keputusan beliau, malahan saya semakin takjub atas perhatian beliau terhadap hal-hal sepele tapi mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan, yaitu masalah kebersihan.

Tidak satupun kebijakan yang beliau terapkan di pesantren, kecuali mempunyai hikmah dan filosofi-filosofi khusus dibaliknya. Beliau sangat tidak suka dengan kekotoran. Beliau sangat benci dengan sikap santri yang kurang perhatian terhadap pelajarannya. Hal tersebut terbukti dari ketegasan beliau dalam memberikan izin libur kepada seluruh mahasatri kecuali dengan uzur yang benar-benar syar’i. Beliau tidak segan-segan mengeluarkan mahasantri yang terang-terangan menambah liburan dari ketentuan yang sudah ditetapkan, meskipun hanya satu hari saja. Sebuah kebijakan yang agak keras tapi hakikatnya penuh dengan nilai kasih sayang.

Selanjutnya saya ingin menegaskan di sini bahwa beliau juga seorang ulama yang mempunyai kepedulian sosial yang tinggi. Sudah berkali-kali beberapa orang dari dewan pengajar Darus-Sunnah mengajukan usulan untuk membuat sebuah kantin lengkap yang akan memfasilitasi seluruh kebutuhan mahasantri di dalam pondok kepada beliau, sehingga mereka tidak perlu lagi keluar pondok untuk membeli berbagai alat kebutuhan tersebut. Namun usulan tersebut belum beliau perkenankan karena bagi beliau kehadiran pesantren harus memberikan manfaat untuk masyarakat sekitar. Beliau merasa kasihan terhadap para pedagang yang ada di sekitar pondok yang pasti akan kehilangan pelanggan dengan keberadaan kantin tersebut, “Lantas di mana peran pesantren buat masyarakat?” sebagai jawaban dari usulan tersebut.

Berdasarkan cerita di atas, saya yakin dan percaya bahwa beliau pantas untuk disebut sebagai sebagai seorang ulama sekaligus intelektual abad ini yang mempunyai banyak pengaruh terhadap masyarakat, bangsa, dan negaranya. Beliau menghimpun ilmu agama dan sosial secara sekaligus sehingga tidak ada istilah diskriminasi ilmu dalam kecamata beliau. Setiap ilmu pasti bermanfaat, sekalipun ilmu yang berasal dari barat sekalipun seperti bahasa Inggris dan lain-lain. Hal itu terbukti dengan kemampuan beliau dalam menguasai bahasa arab dan inggris secara bersamaan tanpa membedakan yang satu dari yang lainnya.

Meskipun hari ini beliau sudah meninggalkan kita semua, namun semangat dan cita-cita beliau akan selalu hidup ditengah-tengah jiwa dan pikiran para muridnya. Tidak ada istilah “kiamat” untuk pesantren Darus-Sunnah hingga Allah sendiri yang menjadikan kiamat sebagai akhir dari segala yang ada. Selamat jalan duhai guru mulia, semoga arwahmu tenang di alam sana sesuai dengan janji-janji Allah dan Rasul-Nya kepada setiap mereka yang istikamah dalam memperjuangkan agama-Nya. Semoga kami bisa menjadi penerus cita-citamu. Amien.!!

اللهم اجعلنا بدلا منه في العلم والمعرفة. آمين.!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon kritik dan sarannya.!

صاحب الكتابة

Foto saya
Bukittinggi, Agam, Indonesia
Seorang pelajar yang tengah berkontemplasi dalam pencarian jatidiri dan ilmu pengetahuan, walau hingga saat ini ilmu yang dia harapkan terasa masih dangkal dan jauh dari kesempurnaan. Dia lahir pada hari Kamis pagi, tanggal 22 Februari 1990 atau bertepatan dengan 26 Rajab 1410 Hijriah. Diberi nama dengan Yunal Isra bin Syamsul Bahri dan biasa dipanggil dengan sebutan Yunal/Isra/Inal. Pendidikan pertama yang pernah dijalaninya adalah Pendidikan TK pada tahun 1996, kemudian dilanjutkan ke SD 01 Baso dan tamat pada tahun 2002. Setelah itu memutuskan untuk fokus mendalami ilmu-ilmu keislaman di MTI Canduang dan tamat pada tahun 2009. Setahun kemudian ia meneruskan petualangan intelektualnya di program S1 Fakultas Dirasah Islamiyyah UIN Syarif Hidayatullah dan Darus-Sunnah International Institute For Hadith Sciences Jakarta. Berharap semoga bisa menjadi orang yang bermanfaat untuk manusia lain dan diredoi orang tua dan tuhannya, amien.! Fokus kajiannya sekarang "al-Muhaafazhah A'la al-Qadiimi al-Shaalih, wa al-Akhdzu bi al-Jadiidi al-Ashlah".

Terima kasih atas kunjungannya.........!!!!!!

نحمدك اللهم منزل الآيات تبصرة لأولى الألباب ورافع الدلالات عبرة لتزيل بها عن القلوب الحجاب ونشكرك شرعت الحلال والحرام وأنزلت الكتاب وجعلته هدى لكل خير يرام ونصلى ونسلم على سيدنا محمد المؤيد من الله بأجلى النيرات والساطع نوره في أفق الهداية بما يزيح الريب والمدلهمات وعلى آله خير آل وأصحابه ومن لهم مقتف أوموال