Analisis Kritis terhadap Hadis Bolehnya Menyusui Orang Dewasa

Suatu ketika Sahlah binti Suhail mendatangi Nabi SAW seraya berkata “Wahai Rasul, saya merasakan aura kebencian yang timbul dari Abi Hudzaifah ketika Salim (mantan anak angkatnya) lalu lalang menemuiku”. Lantas Nabi menjawab “susuilah dia.!”. Kemudian Sahlah pun bertanya “bagaimana mungkin aku akan menyusuinya, padahal dia adalah seorang laki-laki dewasa.?”. Nabi tersenyum sembari menjawab “aku juga tahu bahwa dia adalah laki-laki dewasa (dalam arti kata lakukan saja apa yang aku katakan.!)”. Maka Sahlah menyusuinya (Salim). (HR. Ibnu Majah).

Hadis di atas setidaknya harus ditinjau dari dua aspek. Aspek pertama berkenaan dengan keotentikannya sebagai sebuah hadis yang berasal dari Rasulullah SAW dan yang kedua relevansinya sebagai sebuah hukum Islam (sebut fiqh). Ditinjau dari aspek sanadnya, hadis diatas merupakan hadis shahih yang diriwayatkan oleh hampir sebagian besar ulama hadis kawakan serupa Imam Muslim, Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad yang kesemuanya berasal dari A’isyah ra. Imam al-Daraquthni dalam kitabnya al-I’lal li al-Daraquthni juga menegaskan ke-muttashil-an sanad hadis tersebut. Bahkan Syekh Nasiruddin al-Albani yang dianggap sebagai ulama hadis masa kini yang cendrung Wahhabi, dalam tahqiqan-nya terhadap hadis tersebut berkesimpulan bahwa hadis itu adalah shahih.

Lalu bagaimana dengan matan atau fiqh hadis dari hadis tersebut.?
Dilirik dari redaksinya, hadis tersebut mengundang spekulasi yang menimbulkan kontroversi dikalangan ulama. Salim, sebagaimana diungkap dalam teks hadis tersebut merupakan seorang laki-laki yang berjenggot (dewasa). Jadi secara logika, dia tidak akan mungkin dan tidak pantas lagi disusui oleh seorang perempuan dewasa yang tidak mempunyai hubungan kekeraban dengannya layaknya seorang ibu dengan anaknya. Anehnya lagi Nabi Muhammad SAW yang pada saat itu dianggap sebagai pemegang otoritas tertinggi, malahan memerintahkan Sahlah untuk menyusui Salim (mantan anak angkat suaminya, Abu Hudzaifah). Logika inilah yang melatarbelakangi sikap Ibnu Abdi al-Bar dan al-Darimi dalam Sunannya men-tawaqquf-kan hadis tersebut.

Lain lagi dengan sikap sebagian pemikir kontemporer seperti Dr. Izzat 'Athiyah yang pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Hadits, Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Dia menfatwakan bolehnya seorang  pegawai perempuan yang berkerja berduaan dengan seorang laki-laki dalam satu ruangan tertutup dan pintunya tidak bisa dibuka kecuali melalui salah satu dari keduanya, untuk menyusui teman laki-lakinya itu. Hal ini bertujuan agar keduanya diperbolehkan berduaan di ruangan tersebut dan si-perempuan boleh membuka jilbab dan menampakkan rambutnya di depan laki-laki yang disusuinya tersebut lantaran sudah dianggap sebagai mahramnya. Tak pelak, fatwa tersebut menimbulkan keresahan masyarakat Mesir, sehingga pihak al-Azhar pun memecat Dr. I’zzat lantaran fatwanya tersebut.

Lantas bagaimanakah interpretasi yang benar tentang hadis tersebut.?
Imam Nawawi dalam komentarnya terhadap kitab Shahih Muslim menjelaskan perselisihan ulama terkait hadis tersebut. A’isyah dan Daud al-Zhahiri menetapkan bahwa menyusui orang dewasa itu tetap memunculkan status mahram sebagaimana menyusukan anak kecil yang berumur dibawah dua tahun. Sementara itu Jumhur Ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, dan ulama-ulama terkemuka hingga sekarang mengatakan bahwa menyusui yang berimplikasi terhadap mahram atau tidak hanyalah menyusui anak-anak yang berumur dua tahun ke bawah. Adapun anak-anak yang berumur lebih dari itu atau bahkan sudah dewasa, maka hal itu tidak akan menyebabkan timbulnya hubungan mahram antara yang menyusui dengan yang disusui.

Abdullah Ibnu Jibrin dalam Syarah Umdah al-Ahkam-nya dan Ibnu Batthal dalam komentarnya terhadap shahih Bukhari mengungkapkan, diantara hujjah yang dipakai oleh mereka yang menganggap bahwa menyusui laki-laki dewasa itu akan menyebabkan kemahraman adalah hadis Sahlah diatas. Mereka menganggap bahwa perintah Rasul terhadap Sahlah untuk menyusui Salim yang tak lain merupakan mantan anak angkat suaminya sendiri adalah untuk menghilangkan ketidaksenangan Abu Hudzaifah terhadap Salim yang selalu menemui istrinya, padahal status Salim pada saat itu bukan lagi anak angkatnya pasca turunnya larangan Allah terhadap praktek pengadobsian anak (al-Ahzab : 5). Selain itu, golongan ini juga berhujjah dengan hadis Muslim yang juga berasal dari A’isyah : أرضعيه تحرمي عليه yang berarti susuilah dia, niscaya dia akan menjadi mahrammu.!. Pendapat inilah yang dipakai oleh I’zzah A’thiyyah dalam fatwanya yang membolehkan dan menjadi mahramnya menyusui laki-laki dewasa.

Sementara itu Jumhur ulama memandang bahwa pengukuhan hadis A’isyah tersebut sebagai legalisasi boleh dan menjadi mahramnya menyusui laki-laki dewasa tidaklah tepat. Karena hadis tersebut hanya khusus diberlakukan untuk Salim saja, dengan tujuan untuk menyelesaikan persoalan rumah tangga Sahlah yang agak bermasalah pada waktu itu. Alasan pengkhususannya adalah :

1.  Adanya pembatasan umur menyusui yang bisa menyebabkan kemahraman antara yang menyusui dan yang disusui, yaitu dua tahun. Hal itu sebagaimana diisyaratkan oleh surah al-Baqarah ayat 233 dan Luqman ayat 14.

2. Menyusui yang bisa menyebabkan terjadinya mahram itu adalah menyusui yang bisa menumbuhkan daging dan menguatkan tulang. Hal itu pasti didapatkan ketika yang disusui itu masih kecil (berumur dua tahun kebawah) dan pada saat maja’ah (lapar). Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi riwayat Tirmidzi yang berasal dari Ummu Salamah :لا يحرم من الرضاعة إلا ما فتق الأمعاء في الثدي وكان قبل الفطام yang berarti Persusuan tidak bisa menjadikan mahram, kecuali (susuan) yang mengenyangkan dan terjadi sebelum disapih. Dan hadis riwayat Muslim yang berasal dari A’isyah : فإنما الرضاعة من المجاعة yang berarti sepersusuan itu hanya diperoleh lantaran lapar. Dan hadis riwayat Abu Daud yang berasal dari Ibnu Mas’ud : لاَ رِضَاعَ إِلاَّ مَا شَدَّ الْعَظْمَ وَأَنْبَتَ اللَّحْمَ yang berarti tidak (dianggap) sesusuan melainkan susuan yang menguatkan tulang dan menumbuhkan daging.

3. Selain itu terdapat pengkhususan secara sharih dari hadis riwayat Muslim yang berasal dari Ummu Salamah terhadap hadis Sahlah diatas. Hadis tersebut adalah : أَبَى سَائِرُ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم أنْ يُدْخِلْنَ عَلَيْهِنَّ أَحَدًا بِتِلْكَ الرَّضَاعَةِ وَقُلْنَ لِعَائِشَةَ وَاللَّهِ مَا نَرَى هَذَا إِلاَّ رُخْصَةً أَرْخَصَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لِسَالِمٍ خَاصَّةً فَمَا هُوَ بِدَاخِلٍ عَلَيْنَا أَحَدٌ بِهَذِهِ الرَّضَاعَةِ وَلاَ رَائِينَا. Yang artinya "Para istri Nabi SAW enggan memberi kebebasan masuk rumah mereka bagi anak-anak yang telah dijadikan mahram karena susuan. Dan kami berkata kepada Aisyah “Demi Allah kami tidak melihat hal ini, kecuali hanya sekedar keringanan yang diberikan oleh Rasulullah SAW khusus untuk Salim, oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang mahram karena susuan yang boleh masuk ke rumah kami dan melihat kami”.

Sementara itu Syamsu al-Haq al-A’zhim Abadi Abu al-Thayyib, pensyarah kitab Sunan Abu Daud, A’unu al-Ma’bud menukil pendapat sebagian ulama yang berpandangan bahwa hadis Sahlah diatas telah dinasekh hukumnya oleh hadis dan ayat yang meneguhkan bahwa menyusui yang bisa menyebabkan terjadinya mahram adalah ketika yang disusui itu berumur di bawah dua tahun. Tapi mereka tidak menjelaskan secara detail tarekh waktu kemunculan ayat-ayat ataupun hadis tersebut.

Syamsu al-Haq juga menukil pendapat dari Ibnu Taimiyah dan al-Syaukani yang mencoba untuk menengahi kedua pendapat yang cendrung kondradiktif diatas. Syaukani memandang bahwa menyusui laki-laki dewasa tersebut hanya membolehkan khalwat antara keduanya, namun tidak sampai menimbulkan kemahraman antara keduanya. Tentu saja pendapat ini sangat aneh, karena bagaimana mungkin mereka diperbolehkan berkhalwat, padahal statusnya bukanlah mahram dari yang lain.

Terakhir penulis ingin menyampaikan bahwa perbedaan paradigma dalam memahami sebuah hadis merupakan suatu hal yang lumrah terjadi. Namun ketepatan istidlal dan dalil-dalil yang digunakan merupakan sudut pandang yang mesti diutamakan. Oleh sebab itu penulis berkesimpulan bahwa pendapat jumhur adalah pendapat yang lebih mendekati kebenaran. Hal itu bisa dilihat dari argumentasi-argumentasi mereka serta adanya unsur al-mashlahah al-A’mmah yang melatarbelakangi pendapat tersebut. Wallahu A’lam

1 komentar:

  1. Komentar saya sederhana: Hadits-hadits yang maknanya aneh-aneh seperti ini tentulah hadits-hadits buatan orang-orang bodoh, meskipun seolah-olah sahih..
    Para perawi hadits juga manusia biasa yang tak lepas dari kesalahan..

    BalasHapus

Mohon kritik dan sarannya.!

صاحب الكتابة

Foto saya
Bukittinggi, Agam, Indonesia
Seorang pelajar yang tengah berkontemplasi dalam pencarian jatidiri dan ilmu pengetahuan, walau hingga saat ini ilmu yang dia harapkan terasa masih dangkal dan jauh dari kesempurnaan. Dia lahir pada hari Kamis pagi, tanggal 22 Februari 1990 atau bertepatan dengan 26 Rajab 1410 Hijriah. Diberi nama dengan Yunal Isra bin Syamsul Bahri dan biasa dipanggil dengan sebutan Yunal/Isra/Inal. Pendidikan pertama yang pernah dijalaninya adalah Pendidikan TK pada tahun 1996, kemudian dilanjutkan ke SD 01 Baso dan tamat pada tahun 2002. Setelah itu memutuskan untuk fokus mendalami ilmu-ilmu keislaman di MTI Canduang dan tamat pada tahun 2009. Setahun kemudian ia meneruskan petualangan intelektualnya di program S1 Fakultas Dirasah Islamiyyah UIN Syarif Hidayatullah dan Darus-Sunnah International Institute For Hadith Sciences Jakarta. Berharap semoga bisa menjadi orang yang bermanfaat untuk manusia lain dan diredoi orang tua dan tuhannya, amien.! Fokus kajiannya sekarang "al-Muhaafazhah A'la al-Qadiimi al-Shaalih, wa al-Akhdzu bi al-Jadiidi al-Ashlah".

Terima kasih atas kunjungannya.........!!!!!!

نحمدك اللهم منزل الآيات تبصرة لأولى الألباب ورافع الدلالات عبرة لتزيل بها عن القلوب الحجاب ونشكرك شرعت الحلال والحرام وأنزلت الكتاب وجعلته هدى لكل خير يرام ونصلى ونسلم على سيدنا محمد المؤيد من الله بأجلى النيرات والساطع نوره في أفق الهداية بما يزيح الريب والمدلهمات وعلى آله خير آل وأصحابه ومن لهم مقتف أوموال