Dua Belas Posisi Muhammad SAW dalam Tasyri’ Islami Perspektif Ibnu A’syur

Prolog
Salah satu pembahasan yang sangat urgen dalam Ushul Fikih klasik adalah adanya pengklasifikasian sumber-sumber hukum syariat kepada dalil-dalil syara’ yang sudah disepakati dan dalil syara’ yang masih diperselisihkan. Adapun dalil-dalil syara’ yang disepakati adalah al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Sementara itu dalil-dalil syara’ yang diperselisihkan banyak sekali, diantaranya seperti Istihsan, Mashalihul Mursalah, U’ruf, Istishab, Syariat Ummat sebelum Islam, Madzhab Sahabat, Maqashid al-Syariah, dan lain sebagainya. Keterangan seperti ini dapat dijumpai hampir di sebagian besar kitab-kitab Ushul, baik klasik maupun kontemporer. Seperti dalam Kitab Burhan fi Ushul al-Fiqh karya al-Juwaini, Mustasfa karya al-Ghazali, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya al-Amidi, Luma’ karya Abu Ishak al-Syirazi, Ilmu Ushul Fikih karya Abdul Wahhab Khalaf, Ushul Fiqh karya Syekh Muhammad Khudhori Bek, dan masih banyak yang lain.
           
Umumnya metodologi yang dipakai oleh para ulama tersebut hampir sama, yaitu menempatkan teks-teks syariat yang ada, terutama al-Qur’an dan Sunnah sebagai dua sumber hukum yang paling otoritatif dalam menjawab persoalan apapun yang muncul menyangkut syariat. Disamping itu mereka juga menganggap bahwa dalil yang ada dalam al-Qur’an dan begitu juga al-Hadis berlaku secara umum dan dapat dijadikan sebagai sandaran hukum untuk semua permasalahan yang muncul, tanpa perlu mengkaji ulang posisi wahyu ataupun sunnah tersebut dari konteks signifikasinya terhadap realitas yang ada. Hal inilah yang akan kita bicarakan dalam tulisan yang terbatas ini, khususnya mengenai beberapa posisi Muhammad SAW dalam syariat Islam yang selama ini dipahami secara universal oleh sebagian ulama. Sehingga apapun bentuk perkataan, perbuatan, ataupun takrir yang muncul dari beliau (sebut hadis) hampir sebagian besarnya dipahami sebagai syariat yang memunculkan implikasi dosa dan pahala terhadap umat.

Memang benar, ada sebagian term dalam Ushul Fikih klasik seperti yang dijelaskan dalam Kitab Bidayah al-Ushul fi Ma’arij al-Ushul karya Syekh Haji Mansur, Kitab Lathaif al-Isyarah karya Syekh Abdul Hamid bin Muhammad Ali al-Quds, Kitab al-Waraqat karya al-Juwaini, dan lain-lain yang membahas adanya pengklasifikasian perbuatan Rasul kepada perbuatan yang tergolong kepada ketaatan dan ada yang tidak. Seandainya perbuatan Nabi itu dipahami sebagai salah satu bentuk ketaatan, maka hal itu akan memunculkan dua kemungkinan, yaitu adakalanya perbuatan itu khusus untuk Nabi semata dan umat tidak diharuskan untuk mengikutinya seperti kewajiban shalat malam bagi Rasul dan kebolehan untuk menikah dengan 9 orang istri secara sekaligus. Dan adakalanya ketaatan tersebut berlaku untuk Nabi dengan umatnya secara sekaligus. Dalam arti kata ketaatan tersebut harus dijalankan oleh Nabi dan umat Islam secara keseluruhan tanpa ada pengecualian, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan, dan lain-lain.

Sementara itu, kalau perbuatan Nabi tersebut tidak terkait dengan ketaatan kepada Allah seperti gaya berpakaian, gaya jalan, duduk, makan, dan minum beliau, maka semua itu tidak berimplikasi syariah. Dalam arti kata semua perbuatan tersebut hanya dipahami sebagai tabiat atau watak Nabi sebagai manusia biasa dan tidak mesti diikuti. Inilah sedikit pembahasan yang terdapat dalam kitab-kitab Ushul Fikih klasik mengenai status perbuatan nabi. Yaitu Muhammad sebagai Nabi pembawa syariat dan Muhammad sebagai manusia biasa. Sedangkan untuk tingkatan selanjutnya mereka tidak membuat kriteria ataupun rincian yang khusus seperti posisi Nabi sebagai Mufti, atau posisi beliau sebagai Qadhi dan lain sebagainya. Nah disinilah letak perbedaan Ibnu Asyur dengan para ulama klasik tersebut. Bagi Ibnu A’syur Muhammad diposisikan dalam 12 kategori sebagaimana yang akan dijelaskan berikut ini.

Posisi Muhammad SAW terhadap Tasyri’
Sebagaimana yang diketahui, Ibnu A’syur adalah seorang ulama kontemporer asal Tunisia yang terkenal lewat karya monumentalnya Maqashid al-Syariah al-Islamiyyah. Sebuah kitab yang menawarkan perspektif baru dalam upaya pengistimbatan hukum-hukum syariah dengan berpedoman kepada esensi dari hukum syariat itu sendiri atau lebih dikenal dengan sebutan maqashid syariah. Bahkan Ibnu A’syur dengan beraninya mengatakan bahwa Maqashid Syariah merupakan sebuah ilmu yang bersifat independen dan terlepas dari kungkungan ilmu Ushul Fikih. Dalam kesempatan lain dia juga pernah mengeluarkan stetement bahwa sudah sepatutnya pada penggali hukum syariah hari ini meninggalkan Ushul Fikih yang mempunyai dalalah yang bersifat Zonny dan beralih kepada Maqashid Syariah yang lebih bersifat Qath’i.

Salah satu stimulan yang mendorong Ibnu A’syur memunculkan wacana maqashid syariah tersebut adalah lantaran kejenuhannya terhadap metoda yang digunakan oleh para ulama klasik yang terlalu berpegang kepada teks dan terkesan abai terhadap konteks dari syariat itu sendiri. Sehingga sikap seperti itu memunculkan perbedaan pendapat yang sangat banyak dan beragam sekaligus membingungkan. Karena tidak jelas fatwa mana yang bisa diamalkan dan mana yang tidak. Di sisi lain fatwa yang dihasilkan juga tidak mengedepankan kemaslahatan, sehingga terkesan kurang humanis dan menyulitkan, padahal ajaran Islam itu pada dasarnya mudah dan menjadi rahmat bagi semesta alam.

Dalam bukunya Maqashid Syariah al-Islamiyah, ketika membahas persoalan posisi Nabi dalam tasyri’ Islami, Ibnu A’syur mengatakan bahwa salah satu hal yang sangat urgen dalam ilmu Maqashid Syariah adalah kejelian dalam membedakan status perbuatan dan perkataan yang timbul dari Rasulullah, kemudian menggolongkan masing-masingnya sesuai dengan posisi nabi pada saat melontarkan perkataan ataupun perbuatan tersebut. Sebagaimana yang diketahui juga bahwa nabi mempunyai berbagai macam sifat dan motif dalam berkata ataupun bertingkah laku sesuai dengan konteks yang beliau hadapi, sehingga hal itu akan berdampak terhadap berbedanya implikasi hukum yang muncul dari sikap nabi tersebut.
           
Pemikir yang pertama kali memunculkan teori pengklasifikasian posisi nabi ke dalam beberapa bagian tersebut adalah Shihabuddin Ahmad bin Idris al-Qarrafi dengan karyanya yang berjudul Anwar al-Buruq fi Anwa’I al-Furuq. Dalam buku tersebut, dia berusaha memetakan 3 kedudukan nabi terhadap syariat Islam yang satu sama lainnya mempunyai kekhususan masing-masing dan efek hukum yang juga berbeda-beda. Misalnya saja al-Qarrafi merumuskan bahwa nabi itu pada suatu waktu bisa dianggap sebagai Qadhi, di waktu yang lain bisa menjabat sebagai pemimpin negara, dan yang terakhir bisa jadi sebagai seorang mufti. Ketiga peranan ini menurutnya dimainkan oleh Nabi secara bergantian selama masa dakwahnya. Bahkan al-Qarrafi membuat 36 kriteria dari ketiga posisi tersebut di dalam kitabnya al-Furuq tersebut.
           
Namun diantara ketiga posisi tersebut, memang jabatan nabi sebagai muballigh atau penyampai syariat lebih mendominasi misi kerasulan beliau ketimbang jabatan sebagai pemimpin negara ataupun sebagai manusia biasa. Sehingga wajar kiranya para ulama klasik membaca setiap perkataan dan perbuatan nabi itu hanya sebagai tasyri’ semata, karena mereka tidak mengenal adanya pengklasifikasian posisi nabi sebagaimana yang dipetakan al-Qarrafi.
           
Kemudian, menurut Ibnu A’syur, pengelompokan jabatan nabi kepada mufti, qadhi, atau imam tersebut akan memunculkan status hukum yang berbeda dalam syariat. Maka seluruh perkataan dan perbuatan nabi yang muncul dalam posisi beliau sebagai muballigh/mufti misalnya, seperti penjelasannya mengenai perintah-perintah atau larangan-larangan dalam agama, maka hal itu harus dipahami sebagai hukum umum yang harus dipatuhi oleh seluruh umat, baik jin ataupun manusia, hingga hari kiamat kelak. Jika ia berbentuk perintah maka harus dilaksanakan dan manakala ia berwujud larangan maka harus ditinggalkan.
           
Selanjutnya, apabila ada perbuatan dan perkataan nabi itu muncul dalam otoritasnya sebagai kepala negara, maka hal itu akan memunculkan hukum tidak bolehnya bagi seseorang untuk melakukan suatu urusan kecuali setelah dia meminta izin kepada kepala negara tersebut. Inilah perbedaan antara posisi nabi sebagai mufti dengan posisi beliau sebagai kepala negara. Sementara itu, apabila kebijakan nabi itu berkenaan dengan penyelesaian kasus antara dua orang yang saling bermusuhan, maka hampir bisa dipastikan bahwa posisi nabi pada saat itu adalah sebagai seorang qadhi/hakim. Sehingga konklusinya adalah seseorang  itu tidak boleh mengklaim dia yang benar atau orang lain salah kecuali setelah adanya keputusan dari seorang hakim.
           
Adapun contoh-contoh kongkrit dari ketika posisi nabi tersebut, akan penulis jabarkan sebagai berikut :
  • Contoh sikap nabi yang berposisi sebagai kepala negara adalah seperti mengutus tentara, mengatur pendistribusian harta baitul mal dan proses pengambilannya, mengangkat dan melantik wakil-wakil kepala daerah, dan mengatur sistem pembagian harta rampasan perang. Ketika nabi memutuskan hal-hal tersebut, maka harus dipahami bahwa posisi beliau pada saat itu adalah sebagai kepala negara, tidak yang lain.
  • Contoh sikap nabi yang berposisi sebagai hakim adalah seperti kebijakan beliau dalam memutuskan perkara dari dua/lebih orang yang sedang bermusuhan, baik dalam persoalan hukum perdata ataupun pidana dengan mempertimbangkan beberapa bukti dan keterangan dari saksi-saksi yang ada. Maka dengan melihat contoh tersebut, maka hampir dapat dipastikan bahwa posisi nabi pada saat itu adalah sebagai seorang hakim, tidak mufti dan tidak pula kepala negara.
  • Contoh sikap nabi yang berposisi sebagai kepala negara adalah seperti kebijakan beliau yang berkenaan dengan tatacara ibadah atau jawaban beliau terhadap pertanyaan para mustafti terkait masalah syariah. Posisi beliau dalam kondisi yang seperti ini adalah sebagai seorang mufti dan bagi mustafti (peminta fatwa) mesti menjalankan apa yang difatwakan olehnya.
  • Contoh sikap nabi yang diperselisihkan, apakah posisi beliau pada saat itu sebagai mufti, hakim, atau kepala negara, adalah sebagai berikut :
1. Dalam sebuah riwayat, nabi pernah bersabda “barangsiapa yang membuka lahan kosong (ihya’ al-mawat), maka tanah tersebut menjadi miliknya”. Para ulama berbeda pendapat mengenai posisi nabi pada saat melontarkan kata-kata tersebut. Imam Malik dan Syafi’i memandang bahwa perkataan nabi diatas merupakan otoritas beliau sebagai mufti/muballigh. Sehingga hukum yang dihasilkan adalah boleh saja bagi seseorang membuka lahan tanpa izin dari kepala negara. Sementara itu Imam Abu Hanifah lebih memilih posisi nabi pada saat itu adalah sebagai seorang kepala negara, jadi tidak boleh bagi seseorang membuka lahan kecuali setelah mendapatkan izin dari kepala negara.

2. Sebuah riwayat juga pernah menceritakan bahwa suatu hari Hindun binti U’tbah (suami dari Abu Sofyan) datang menemui nabi dan berkata “sesungguhnya Abu Shofyan adalah seorang laki-laki yang kikir, dia enggan memberikan nafkah buatku dan anakku”, kemudian nabi berkata kepada Hindun “ambillah sebagian dari hartanya sekedar kebutuhanmu dengan anakmu dengan cara yang baik.”!. Para ulama juga berbeda pendapat dalam menanggapi hadis ini. Ada yang menganggapinya sebagai fatwa, sehingga seseorang bebas mengambil harta suami/orang yang tidak memberikan haknya tanpa seizin mufti. Dan sebagian yang lain menganggapnya sebagai sebuah ketetapan (qadha), sehingga seseorang itu mesti mendapat legalisasi dari seorang hakim untuk mengambil haknya yang dirampas oleh orang lain.

3. Rasulullah pernah bersabda “barangsiapa yang membunuh seorang musuh, maka dia berhak atas ranpasannya”. Para ulama juga berbeda pendapat dalam menanggapi hadis tersebut. Imam Syafi’i mengatakan bahwa posisi nabi pada saat itu adalah sebagai mufti. Sebagian yang lain berpendapat bahwa itu merupakan instruksi nabi sebagai kepala negara, jadi penentuan bagian rampasan perang itu harus melalui izin dari kepala negara. 

Inilah pengklasifikasian posisi nabi yang dipetakan oleh al-Qarrafi. Sementara itu dalam penelitiannya sendiri, Ibnu Asyur mengembangkan teori tersebut. Bahkan bagi dia nabi itu mempunyai 12 posisi dalam syariat. Sebagian diantaranya ada yang digolongkan ke dalam syariat yang mesti diikuti, karena adanya keterlibatan Allah di dalamnya. Namun sebagian yang lain hanya dipahami sebagai pendapat-pendapat nabi yang tidak mengandung unsur syariat. Sehingga boleh saja bagi mereka yang meyakini hal itu, untuk mengikuti pendapat nabi tersebut atau meninggalkannya, karena itu muncul dari pribadi beliau sendiri.

Adapun ke-12 pemetaan tersebut adalah sebagai berikut :
1.                Posisi nabi sebagai pembuat syariat.
2.                  Posisi nabi sebagai mufti.
3.                  Posisi nabi sebagai qadhi (hakim).
4.                  Posisi nabi sebagai imam (kepala negara).
5.                  Posisi nabi sebagai pemberi petunjuk.
6.                  Posisi nabi sebagai mediator (yang mendamaikan dua orang yang berselisih).
7.                  Posisi nabi sebagai pemberi isyarat semata (usulan/anjuran).
8.                  Posisi nabi sebagai pemberi nasehat.
9.                  Posisi nabi sebagai penyempurna keadaan seseorang.
10.              Posisi nabi sebagai guru yang mengajarkan esensi segala sesuatu.
11.              Posisi nabi sebagai orang yang mengajarkan adab atau sopan santun (budi pekerti).
12.              Posisi nabi sebagai pemberi informasi semata.

Adapun keterangan mengenai ke-12 posisi nabi perspekstif Ibnu A’syur di atas berikut tatacara mengenali serta contoh-contohnya akan dijelaskan dalam edisi berikutnya. Semoga bermanfaat..!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon kritik dan sarannya.!

صاحب الكتابة

Foto saya
Bukittinggi, Agam, Indonesia
Seorang pelajar yang tengah berkontemplasi dalam pencarian jatidiri dan ilmu pengetahuan, walau hingga saat ini ilmu yang dia harapkan terasa masih dangkal dan jauh dari kesempurnaan. Dia lahir pada hari Kamis pagi, tanggal 22 Februari 1990 atau bertepatan dengan 26 Rajab 1410 Hijriah. Diberi nama dengan Yunal Isra bin Syamsul Bahri dan biasa dipanggil dengan sebutan Yunal/Isra/Inal. Pendidikan pertama yang pernah dijalaninya adalah Pendidikan TK pada tahun 1996, kemudian dilanjutkan ke SD 01 Baso dan tamat pada tahun 2002. Setelah itu memutuskan untuk fokus mendalami ilmu-ilmu keislaman di MTI Canduang dan tamat pada tahun 2009. Setahun kemudian ia meneruskan petualangan intelektualnya di program S1 Fakultas Dirasah Islamiyyah UIN Syarif Hidayatullah dan Darus-Sunnah International Institute For Hadith Sciences Jakarta. Berharap semoga bisa menjadi orang yang bermanfaat untuk manusia lain dan diredoi orang tua dan tuhannya, amien.! Fokus kajiannya sekarang "al-Muhaafazhah A'la al-Qadiimi al-Shaalih, wa al-Akhdzu bi al-Jadiidi al-Ashlah".

Terima kasih atas kunjungannya.........!!!!!!

نحمدك اللهم منزل الآيات تبصرة لأولى الألباب ورافع الدلالات عبرة لتزيل بها عن القلوب الحجاب ونشكرك شرعت الحلال والحرام وأنزلت الكتاب وجعلته هدى لكل خير يرام ونصلى ونسلم على سيدنا محمد المؤيد من الله بأجلى النيرات والساطع نوره في أفق الهداية بما يزيح الريب والمدلهمات وعلى آله خير آل وأصحابه ومن لهم مقتف أوموال