Pesantren Dalam Pandangan Modernis


Cak Nur dan Modernisasi Pesantren
Sebuah Refleksi terhadap Buku Bilik-Bilik Pesantren karya Dr. Nurcholish Madjid

“Dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous).” –Dr. Nurcholish Madjid.

Prolog
Membaca pesantren dalam paradigma modernis merupakan sebuah kajian yang sangat urgen dan sekaligus menarik. Karena dengan itu, kita bisa mengetahui sejauh mana gaung pesantren dalam menghadapi cakrawala kehidupan sosial masyarakat Indonesia, khususnya setengah abad belakangan ini. Hal itu juga bisa dikorelasikan secara debatable dengan kritikan-kritikan yang muncul terhadap pesantren mengenai kredibelitasnya sebagai sebuah lembaga pendidikan tradisional nusantara dalam menghadapi kemajuan teknologi dan merespon persoalan-persoalan kontemporer yang jamak bermunculan serta harus segera dicarikan solusinya itu.
           
Pesantren sebagai lembaga tradisional Islam, dengan meminjam pemetaan Sayyed Hossein Nasr, merupakan sebuah lembaga yang dikembangkan dan diwarisi secara turun-temurun oleh para ulama tradisional Islam semenjak beberapa tahun yang lalu. Substansinya tidak jauh berbeda dengan keberadaan kaum salaf pada abad-abad pertama perkembangan agama Islam itu sendiri, yaitu periode para sahabat Nabi Muhammad dan tabi’in senior. Bahkan pesantren telah ada sejak pada masa kekuasaan Hindu-Buddha, sebagaimana yang dijelaskan oleh Cak Nur pada bagian awal dari buku Bilik-Bilik Pesantren-nya. Jadi dapat disimpulkan bahwa pesantren bukanlah anak kemarin sore yang tidak mempunyai andil ataupun pengalaman sedikitpun dalam membina kehidupan masyarakat Indonesia.
           
Ditilik dari tujuan dasarnya, pesantren adalah produsen terpenting dalam mempertahankan transmisi dan transfer ilmu-ilmu keislaman, sekaligus sebagai badan pengawas jalannya kontinuitas tradisi Islam serta reproduksi para ulama yang tafaqquh fiddin dengan menjadikan al-Qur’an dan Hadis sebagai objek kajiannya. Itulah sekurang-kurangnya tiga misi utama yang diemban dan diperjuangkan oleh lembaga ini. Disisi lain, tidak sedikit alumni-alumni pondok pesantren yang mempunyai pengaruh penting dalam usaha mempersiapkan kemerdekaan republik ini di tahun 1945 yang silam. Tapi sayangnya peranan-peranan itu dianggap sebagai angin lalu yang tidak perlu diapresiasi sedikitpun oleh sebagian golongan, terutama bagi kalangan modernis.

Berbagai kritikan keras dan opini negatif pada saat ini, tengah dihadapi oleh pesantren. Khususnya dari kalangan modernis yang notabenenya berlatarbelakangkan sistem pendidikan Belanda atau lebih sering disebut dengan sistem pendidikan sekuler (barat). Mereka tak henti-hentinya mengupas sisi-sisi buruk pesantren serta menganggap keberadaan pesantren di era globalisasi saat ini sudah saatnya direkontruksi ataupun bahkan didekontruksi sama sekali dari sistem pendidikan nasional. Karena dianggap dapat mengantarkan umat manusia kepada pintu gerbang kejumudan dan keterbelakangan. Azyumardi Azra menukil seperti berikut :
“Bagi para eksponen sistem pendidikan Belanda, seperti Sutan Taqdir Alisyahbana pesantren harus ditinggalkan atau setidaknya ditransformasikan sehingga mampu mengantarkan kaum Muslim ke gerbang rasionalitas dan kemajuan. Jika pesantren dipertahankan, menurut Taqdir, berarti mempertahankan keterbelakangan dan kejumudan kaum Muslim”
           
Tidak begitu berbeda dengan Sutan Taqdir, dalam bukunya Bilik-Bilik Pesantren, Dr. Nurcholish Madjid, juga melontarkan sebuah sentilan kecil terhadap pesantren, yaitu :
           “Kurangnya kemampuan pesantren dalam meresponi dan mengimbangi perkembanganan zaman tersebut, ditambah dengan faktor lain yang sangat beragam, membuat produk-produk pesantren dianggap kurang siap untuk “lebur” dan mewarnai kehidupan modern”
           
Dan masih banyak lagi sisi-sisi negatif pesantren yang dipandang oleh kalangan modernis semisal Sutan Taqdir Alisyahbana, Nurcholish Madjid, dan lain-lain, sebagai sebuah aib ataupun kecacatan yang sudah sepatutnya didekontruksi demi mengantarkan Islam menuju kemajuan dan bangkit dari keterpurukan sebagaimana yang akan dijelaskan berikut ini.

Cak Nur dan Pandangannya terhadap Pesantren
Sebagai seorang yang berlatarbelakangkan pesantren, pemikir yang akrap dipanggil dengan Cak Nur ini, bukanlah orang yang buta dengan dunia pesantren. Dalam biografinya yang ditulis oleh Faisal Ismail disebutkan bahwa Cak Nur berhasil menyelesaikan pendidikannya di Pondok Pesantren Darul U’lum, Rejoso, Jombang, Jawa Timur, pada tahun 1955 dan melanjutkannya ke Pondok Modern Gontor yang terletak di daerah Ponorogo, Jawa Tengah, pada tahun 1960. Di pondok inilah dia secara kuat membangun fondasi dan basis intelektualnya sehingga dapat menguasai bahasa Arab dan Inggris dengan baik.
           
Setelah itu, dia melanjutkan studinya ke fakultas Adab/Sastra dan Budaya IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang UIN) Jakarta dan tamat pada tahun 1965 dengan menggondol predikat sarjana muda (BA) dan predikat Doktorandus pada tahun 1968. Basis, bobot, dan intelektual Cak Nur menjadi jauh lebih terasah tajam ketika dia melanjutkan studinya ke program doktor Universitas Chicago Amerika Serikat dan selesai pada tahun 1984. Itulah sedikit mengenai riwayat pendidikan dari seorang santri yang kemudian bermutasi menjadi seorang pemikir ulung nusantara itu. Dia juga semasa dengan pemikir nusantara lainnya yang terkenal dengan sapaan Gusdur, cucu dari K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Organisasi Nahdhatul U’lama.
           
Dilihat dari sejarah pendidikannya tersebut, sangat wajarlah kiranya kalau Cak Nur berkomentar mengenai pesantren. Pengalaman beberapa tahun mondok di dua pesantren yang berbeda dari segi orientasi itu, cukup menjadi bekal dan bahan hipotesis baginya dalam menilai pesantren. Namun untuk menguji kebenaran kritikannya terhadap pesantren, diperlukan adanya sebuah komparasi ataupun peninjauan kembali mengenai sejauh mana kesinkronan kritikan tersebut dengan realitas yang ada di lapangan. Untuk mengetahui pandangan-pandangannya mengenai pesantren, maka buku Bilik-Bilik Pesantren adalah buku yang cukup representatif untuk itu. Buku yang pada awalnya hanyalah percikan pikiran Cak Nur mengenai pesantren yang tersebar di berbagai media, kemudian dibukukan oleh penerbit Paramadina dengan judul seperti di atas.
           
Banyak hal menarik dalam buku tersebut yang perlu kiranya ditanggapi secara kritis oleh kaum pesantren. Pada bab pertama misalnya, Cak Nur mencoba untuk merumuskan kembali tujuan pendidikan pesantren yang menurut dia sudah semestinya mendapat perhatian lebih. Disatu sisi dia mengharapkan pesantren-pesantren yang ada, dapat mempertahankan tradisi-tradisi keagamaan yang dimilikinya, karena disanalah letak kelebihannya. Namun disisi lain, Cak Nur seolah-olah bersikap pesemis dan cendrung “menghantam” sistem pesantren yang “mustahil” bisa menyeimbangi sistem-sistem barat yang begitu sempurna dalam pandangannya. Misalnya saja ketika dia mengapresiasi institusi Harvard sebagai institusi keagamaan yang telah berhasil memegang kepeloporan dalam pengembangan ilmu pengetahuan modern dan gagasan-gagasan mutakhir di Amerika Serikat. Begitu juga terhadap keberhasilannya memproduksi orang-orang besar yang menduduki kekuasaan tertinggi di negara adikuasa tersebut.
           
Kemudian dia juga mengkritik pesantren dari segi kurikulumnya yang tidak memberi lahan terhadap pengembangan ilmu-ilmu kesosialan. Hal ini ditandai dengan minimnya mata pelajaran umum yang diajarkan di pondok-pondok pesantren. Padahal hal itu sangat urgen dalam menyokong keterampilan santri dalam mengatur masyarakat yang nantinya menjadi lahan prakteknya. Hal itu terbukti dari mata pelajaran yang diajarkan di pesantren seperti ilmu Nahu, Sharaf, Fikih, Akidah, Tasawwuf, Tafsir, Hadis, Bahasa Arab, dan Fundamentalisme. Tidak satupun dari mata pelajaran itu yang mengandung nilai sosial. Dalam hal ini Cak Nur mengatakan perlunya pesantren mengubah orientasinya untuk membentuk manusia yang memiliki kesadaran tinggi bahwa ajaran Islam merupakan weltanschauung yang bersifat menyeluruh.
           
Selanjutnya, di bagian kedua dari buku tersebut, Cak Nur juga mengomentari pola pergaulan dalam pesantren dan menganalisa unsur-unsur pembentuk dari pesantren itu sendiri seperti asal-usul istilah santri, kiai, ngaji, dan lain-lain. Dia menyoroti sistem pengajaran pesantren yang terlalu mengedepankan keortodoksiannya, sehingga terkesan mengenyampingkan optimalisasi waktu dan bahan ajar. Dia berkata seperti berikut :
“karena sistem pengajian yang harus menerjemahkan terlebih dahulu itu, maka tidak mengherankan bahwa proses memahami dan menamatkan sebuah kitab begitu sulit dan panjang bagi seorang santri. Tidak jarang seorang santri yang telah mondok bertahun-tahun, pulang hanya membawa keahlian “mengaji” beberapa kitab saja”

Hal senada juga pernah dilontarkan oleh Muhammad Thalhah Hasan, salah seorang intelektual muslim kalangan Nahdhatul Ulama (NU) yang pernah mengeritik bahwa tradisi pengajaran pesantren yang seperti itu memberikan dampak lemahnya kreativitas. Dan kalau yang mendapatkan penekanan di pesantren itu adalah ilmu fikih (fikih oriented), maka penerapan fikih menjadi teralienasi dengan realitas sosial dan keilmuan serta teknologi kontemporer. Namun sebaliknya dalam pandangan antropolog Zamakhsyari Dhofier, alumnus jurusan antropologi Universitas Nasional Australia, pesantren memainkan peranan sangat penting dan signifikan dalam memelihara dan melestarikan paham-paham keislaman tradisional.
           
Tak ketinggalan relasi pesantren dengan dunia politik juga menjadi salah satu bahan soroton Cak Nur. Menurut dia keterkaitan antara pesantren dengan politik dapat dipahami dengan melihat kedudukan pesantren sebagai trustee masyarakat santri, dimana para santri ini mengharapkan bimbingan kultural, khususnya dalam hubungannya dengan agama Islam. Namun ideologi santri harus dibedakan dari agama Islam itu sendiri tegasnya, karena kekhususan sifat dan corak keislaman kaum santri telah banyak mendapatkan warna lokal yaitu kejawaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pesantren merupakan salah satu tempat dilahirkannya suatu aliran ideologi politik tertentu di Indonesia dengan pembelaan yang jelas dan tertentu pula, baik yang positif maupun yang negatif.
           
Selain poin-poin di atas, sebenarnya masih banyak wacana-wacana seputar pesantren yang digulirkan oleh Cak Nur dalam bukunya tersebut. Hanya saja tidak penulis cantumkan ke dalam tulisan ini lantaran ketidaksinkronannya terhadap realitas pesantren yang ada pada saat ini. Hal ini mungkin bisa dimaklumi mengingat tulisan-tulisan Cak Nur tersebut ditulis sekitar tahun 70-an yang kemudian baru terkumpul menjadi sebuah buku utuh pada tahun 1997 yang silam. Seperti kritikannya terhadap kondisi fisik pesantren yang terkesan kumuh dengan “tata kota” yang terkesan sporadis, jumlah kamar mandinya yang tidak sebanding dengan jumlah santrinya, kebersihan yang kurang terjaga sehingga menyebabkan timbulnya berbagai penyakit yang menimpa para santri. Begitu juga dengan sistem kepemimpinan pesantren yang tersentralisasi dengan Kiai sebagai satu-satunya pemegang kendali maju atau mundurnya sebuah pesantren. Hal ini menurut Cak Nur menjadi salah satu sebab pokok tertinggalnya pesantren dari perkembangan zaman.

Pesantren Dulu, Sekarang, dan Akan Datang
Sebagaimana yang dijelaskan di atas, pesantren pada dasarnya bukanlah anak kemaren sore yang tidak mempunyai fungsi dan pengaruh apapun terhadap kehidupan sosial masyarakat nusantara. Banyak fakta untuk membuktikan hal itu, namun di sisi lain pesantren juga bukanlah sebuah institusi yang sempurna dari semua aspeknya. Sehingga dalam hal ini dibutuhkan sebuah evaluasi yang objektif terhadap pesantren, sehingga aspek positif yang selama ini masih berlaku di pesantren dapat dipertahankan sekaligus menerima dan mereformasi sisi-sisi negatif yang mungkin saja tanpa disadari tersebar dalam lembaga pesantren.
           
Dalam konteks ini, menurut penulis, pesantren tidak sepantasnya terbuai oleh pujian yang dilontarkan oleh mereka yang pro terhadapnya, seperti apa yang dibahasakan oleh Malik Fajar, menukil pemikiran Dr. Soetomo “yang menarik dari pemikiran Soetomo adalah anjurannya agar asas-asas sistem pendidikan pesantren digunakan sebagai dasar pembangunan pendidikan nasional Indonesia”. Begitu juga dengan Ki Hajar Dewantara yang pernah mencita-citakan model pesantren sebagai sistem pendidikan Indonesia. Apresiasi yang tinggi dari seorang Ki Hajar dan Soetomo memang positif, tapi perlu diperhatikan bahwa ungkapan itu muncul pada tahun 30/40-an, jauh sebelum munculnya wacana modernisasi pesantren dari kalangan modernis setengah abad belakangan ini.
           
Pendapat Cak Nur di atas mungkin terkesan klise atau gagasan yang utopis bagi orang yang sudah terlanjur terbingkai dalam wacana modernisme. Akan tetapi, dengan mempertimbangkan kelebihan yang dimilikinya, bukan tidak mungkin pesantren akan dilirik sebagai alternatif di tengah pengapnya suasana pendidikan formal di Indonesia, termasuk juga perguruan tinggi sebagai jenjang pendidikan formal yang paling tinggi. Dengan catatan pesantren bisa menginventarisir segala kritikan yang ada dan mentransformasikannya menjadi sebuah kekuatan untuk selalu eksis di masa yang akan datang. Sehingga tidak ada salahnya pesantren kembali menata ulang segala sistem dan sisi-sisi pesantren yang membuka peluang munculnya kritikan terhadapnya.
           
Dalam bahasanya Azyumardi, pesantren menghadapi pengalaman dan mencoba eksperimen yang pada dasarnya sama dalam pemerintahan Orde Baru. Bertitik tolak pada pertumbuhan ekonomi pemerintah Orde Baru juga menaruh harapan kepada pesantren untuk menjadi salah satu agen perubahan dan pembangunan masyarakat. Dengan demikian pesantren tidak hanya memainkan fungsi-fungsi tradisionalnya seperti transmisi dan transfer ilmu-ilmu keislaman, pemeliharaan tradisi Islam, dan rerproduksi ulama. Sesuai  dengan ideologi developmentalism pemerintah Orde Baru, pembaharuan pesantren dalam masa ini mengarah pada pengembangan pandangan dunia dan substansi pendidikan pesantren agar lebih respontif terhadap kebutuhan tantangan zaman.
           
Pembaruan pesantren juga diarahkan untuk fungsionalisasi atau refungsionalisasi pesantren sebagai salah satu pusat penting bagi pembangunan masyarakat secara keseluruhan. Sehingga diharapkan bisa menjadi alternatif pembangunan yang berpusat pada masyarakat itu sendiri (people-centered development) dan sekaligus sebagai pusat pengembangan pembangunan yang berorientasi pada nilai (value-oriented development). Selain itu pesantren harus bisa menjadi pusat penyuluhan kesehatan, pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat pedesaan, pusat usaha-usaha penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup, dan yang lebih penting lagi menjadi pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitarnya.
           
Sebagai respon dari masukan-masukan tersebut, sekarang telah kita saksikan beberapa pembaruan yang dilakukan oleh pesantren. Misalnya saja pembaruan di bidang substansi atau isi pendidikan pesantren dengan memasukkan subyek-subyek umum dan vocational, pembaruan di bidang metodologi seperti sistem klasikal dengan penjenjangan, pembaruan di bidang kelembagaan seperti kepemimpinan pesantren dan diversifikasi lembaga pendidikan, serta yang terakhir pembaruan di bidang fungsi yang semulanya hanya berorientasi terhadap pendidikan, namun sekarang sudah dikembangkan ke bidang-bidang sosial, ekonomi, dan lain-lain.
           
Namun dalam persoalan yang sama, Abdurrahman Wahid (yang akrap dipanggil dengan Gusdur) mengingatkan, sebagai lembaga pendidikan yang khas Islam, pesantren tetap harus memberikan dasar-dasar pengembangan karakter, kepribadian, penciptaan sikap hidup, dan penataan basis kehidupan yang tercermin dalam akhlak, cara memimpin, cara-cara pergaulan, dan dalam pengambilan keputusan. Karena tanpa itu semua, semodern apapun sistem yang dimunculkan ke dalam dunia pesantren, tetap saja akan berakibat melemah atau bahkan lenyapnya nilai-nilai tradisi yang merupakan substansi dari lembaga tersebut. Sehingga pembaruan yang diharapkan berubah menjadi penjajahan terhadap sistem pesantren yang tentunya hal itu tidak kita inginkan semua.
           
Terakhir, tulisan ini tidak berpretensi untuk mendiskreditkan kalangan manapun, namun lebih dari itu hanya diproyeksikan untuk membaca serta menganalisa sejauh mana pengaruh pesantren dalam kancah nusantara. Karena sebagai salah seorang alumni pesantren, penulis mempunyai tanggung jawab terhadap lembaga yang sedikit banyaknya telah membentuk nalar penulis dalam membaca setiap peristiwa kehidupan dengan kecamata Islam dan Pesantren. Dua istilah yang tidak mungkin dipisahkan hingga kapanpun.

Daftar Bacaan

Azra, Azyumardi, ”Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan”, dalam dalam Bilik-Bilik Pesantren, (Jakarta, Paramadina, 1997).

Fajar, Malik, “Sintesa Antara Perguruan Tinggi dan Pesantren”, dalam Bilik-Bilik Pesantren, (Jakarta, Paramadina, 1997).

Kompas, Tim, “Pesantren: Dari Pendidikan Hingga Politik”, dalam Bilik-Bilik Pesantren, (Jakarta, Paramadina, 1997).

Madjid, Nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren, (Jakarta, Paramadina, 1997).

Ismail, Faisal, Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid Seputar Isu Sekularisasi Dalam Islam, (Jakarta, PT. Lasswell Visitama, 2010).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon kritik dan sarannya.!

صاحب الكتابة

Foto saya
Bukittinggi, Agam, Indonesia
Seorang pelajar yang tengah berkontemplasi dalam pencarian jatidiri dan ilmu pengetahuan, walau hingga saat ini ilmu yang dia harapkan terasa masih dangkal dan jauh dari kesempurnaan. Dia lahir pada hari Kamis pagi, tanggal 22 Februari 1990 atau bertepatan dengan 26 Rajab 1410 Hijriah. Diberi nama dengan Yunal Isra bin Syamsul Bahri dan biasa dipanggil dengan sebutan Yunal/Isra/Inal. Pendidikan pertama yang pernah dijalaninya adalah Pendidikan TK pada tahun 1996, kemudian dilanjutkan ke SD 01 Baso dan tamat pada tahun 2002. Setelah itu memutuskan untuk fokus mendalami ilmu-ilmu keislaman di MTI Canduang dan tamat pada tahun 2009. Setahun kemudian ia meneruskan petualangan intelektualnya di program S1 Fakultas Dirasah Islamiyyah UIN Syarif Hidayatullah dan Darus-Sunnah International Institute For Hadith Sciences Jakarta. Berharap semoga bisa menjadi orang yang bermanfaat untuk manusia lain dan diredoi orang tua dan tuhannya, amien.! Fokus kajiannya sekarang "al-Muhaafazhah A'la al-Qadiimi al-Shaalih, wa al-Akhdzu bi al-Jadiidi al-Ashlah".

Terima kasih atas kunjungannya.........!!!!!!

نحمدك اللهم منزل الآيات تبصرة لأولى الألباب ورافع الدلالات عبرة لتزيل بها عن القلوب الحجاب ونشكرك شرعت الحلال والحرام وأنزلت الكتاب وجعلته هدى لكل خير يرام ونصلى ونسلم على سيدنا محمد المؤيد من الله بأجلى النيرات والساطع نوره في أفق الهداية بما يزيح الريب والمدلهمات وعلى آله خير آل وأصحابه ومن لهم مقتف أوموال