إختصار دورة بداية المفسر في بيت القرأن
Bait al-Qur’an, Pondok Cabe, 27 Januari-1 Februari 2013
Bait al-Qur’an, Pondok Cabe, 27 Januari-1 Februari 2013
Daurah Bidayah al-Mufassir (Langkah Awal
Menjadi Mufassir), itulah tema kegiatan yang penulis ikuti kurang lebih satu
setengah bulan yang lalu. Kegiatan tersebut terlaksana berkat adanya
kerjasama antara tiga universitas, yaitu STAIN Jember, IAIN Cerebon, dan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Pusat Studi al-Qur’an (PSQ pimpinan M.
Quraisy Shihah) serta Ikatan Alumni Al-Azhar Indonesia (IAAI yang juga diketuai
oleh beliau). Acara tersebut berlangsung selama lebih kurang 6 hari, yakni dari
tanggal 27 Januari s/d 1 Februari 2013.
Kegiatan tersebut diikuti oleh 50 orang peserta yang terdiri dari 30
orang dari IAIN Cirebon, 13 orang dari STAIN Jember, dan 7 orang dari UIN
Jakarta. Sebagian besar mereka adalah mahasiswa yang tengah menjalani Praktek
Profesi Lapangan atau yang lazim disebut dengan PPL di kampusnya masing-masing.
Tujuh orang yang berasal dari UIN Jakarta adalah Yunal Isra, Muhammad Khairul
Huda, Hengki Ferdiansyah, Muhammad Jurianto, Muhammad Zidni Ilman, Muhammad
Khairi, dan Faisal Hilmi. Lima orang pertama juga berstatus sebagai mahasantri
Darus-Sunnah International Instituter For Hadith Sciences, Jakarta.
Selama enam hari di sana, kami dibekali dengan 15 materi seputar Tafsir
dan ilmu-ilmunya seperti Kaedah-Kaedah Tafsir (baik yang disepakati maupun yang
tidak), Kritik Tafsir, Balaghah al-Qur’an, menimbang Hermeneutika sebagai sebuah
metode tafsir, dan lain sebagainya. Materi-materi tersebut disampaikan oleh
dosen-dosen yang mumpuni di bidangnya dengan sistem ceramah (muhadhorah).
Sehingga seorang teman peserta dari UIN berseloroh dengan mengatakan “Wah
kita kuliah lagi nih”, mengingat monotonnya metode yang dipakai dan
terkesan kurang komunikatif. Tapi secara umum pelaksanaan daurah tersebut
berlangsung aman dan lancar, alhamudulillah.
Berikut intisari dari masing-masing materi yang dapat penulis tangkap
selama mengikuti daurah tersebut :
Materi Pertama; Sesi Pola Interaksi dengan
Al-Quran dan Sunah
oleh Dr. Muchlis M. Hanafi, MA.
Dalam materi ini diterangkan berbagai problematika yang dihadapi
dalam proses penafsiran al-Qur’an, baik klasik maupun kontemporer. Namun
sebelum masuk ke inti permasalahan, pemateri terlebih dahulu menyampaikan
sedikit mukaddimah seputar wacana yang berkembang di dunia muslim belakangan
ini mengenai sebab ketertinggalan mereka dari komunitas lain yang notabenenya
dikuasai oleh bangsa Barat dan Yahudi. Padahal dahulu Islam menjadi lokomotif
terdepan dalam hal kemajuan dan ilmu pengetahuan. Kenyataan inilah barangkali
yang telah mendorong al-Amir Syakieb Arsalan -seorang pemikir berkebangsaan
Mesir- menulis sebuah karya yang berjudul Limadza Taakhkhara al-Muslimun wa
Limadza Taqaddama Ghairuhum.
Menurut pemateri, di antara penyebabnya adalah pertama,
semakin jauhnya umat Islam dari nilai-nilai dan petunjuk yang diajarkan oleh al-Qur’an
al-Karim. Bahkan yang sangat mengerikan justru konsep-konsep Islam dalam
al-Qur’an tersebut malahan lebih terealisasi di Negara yang notabenenya bukan
berlatarbelakangkan Islam, suatu fenomena yang sangat mencengangkan. Dalam
sebuah penelitian terhadap pengamalan ajaran al-Qur’an di beberapa Negara dunia
disebutkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-137 sebagai Negara pengamal
nilai-nilai al-Qur’an di dunia, Arab Saudi di peringkat ke-130, Pakistan di
peringkat ke-140, dan Malaysia di peringkat ke-28. Peringkat pertama dan kedua
justru diraih oleh Negara non muslim seperti New Zealand dan Luxembourg.
Kedua, terdapat gap atau pembatas yang jauh antara mereka dengan
al-Qur’an sendiri. Dalam kata lain munculnya sebuah opini di kalangan mereka
bahwa zaman sudah modern, sehingga kita tidak layak lagi berpedoman kepada
kitab kuno yang muncul 14 abad yang lalu itu karena akan mengakibatkan
kemunduran, kemandekan, serta kejumudan dalam hal berfikir Melihat kenyataan
tersebut, pantas rasanya Muhammad Abduh mengatakan dalam sebuah pernyataannya
yang sangat terkenal al-Qur’an Mahjuubun bi al-Muslimin (al-Qur’an ditutupi
oleh umat Islam sendiri). Na’udzu billahi min dzalik, amien.!
Selanjutnya yang ketiga, kurangnya kesadaran sebagian umat
Islam sekarang untuk beribadah sosial dan terlalu memprioritaskan ibadah individual.
Hal ini menurut pemateri telah mengakar di sebagian besar umat Islam dunia saat
ini, sehingga bisa disebut sebagai bahaya laten yang berakibat fatal khususnya
bagi agama Islam sendiri. Pernyataan serupa juga pernah dilontarkan oleh Kiai
Ali Mustafa Ya’kub, pimpinan Darus-Sunnah International Institute For Hadith
Sciences Jakarta, khususnya dalam menyoroti fenomena haji berulang-ulang yang
dilakoni oleh sebagian besar konglomerat negeri ini dengan mengenyampingkan
perhatian terhadap ibadah sosial seperti bersedekah untuk fakir miskin, anak yatim, dan kaum lemah
lainnya. Sebuah fenomena yang sangat mengerikan di negeri yang mayoritas
penduduknya beragama Islam.
Keempat, banyaknya oknum yang menjadikan al-Qur’an sebagai sumber pembenaran
atas klaim ideologi yang telah mereka yakini sebelumnya, kemudian
menisbatkannya kepada al-Qur’an. Hal ini mengakibatkan banyaknya
perdebatan-perdebatan seputar wacana dan tema-tema al-Qur’an yang saling
kontradiksi antar satu sama lain. Satu di antara contoh yang sudah sering kita
lihat adalah klaim kenabian Mirza Ghulam Ahmad yang dilegalisasi dengan
memplintir beberapa ayat al-Qur’an yang sebenarnya tidak ada kaitan sama sekali
dengan dia, seperti ayat ke-40 dari Surah al-Ahzab, ayat ke-20 dari Surah Yasin,
dan masih banyak yang lain.
Melihat gejala-gejala yang telah disebutkan di atas, maka
dibutuhkan standar dan keuletan khusus untuk mengidentifikasi mana tafsiran
yang sesuai dengan kaedah-kaedah tafsir yang benar dan mana yang tidak. Salah
satu caranya adalah dengan mencari sebab-sebab terjadinya perbedaan penafsiran
dan mengaitkannya dengan standar umum yang dipakai oleh mayoritas ahli tafsir.
Selain itu peranan sunnah dalam proses penafsiran juga tidak bisa dipandang
sebelah mata, bahkan pemahaman yang total terhadap pengaplikasian sunnah apakah
ia termasuk sunnah tasyri’iyyah atau bukan, apakah kualitasnya shahih atau
dho’if, dll, merupakan suatu hal yang sangat urgen dalam proses penafsiran
al-Qur’an.
Materi Kedua; Wacana Kritik Tafsir oleh Ulinnuha, Lc, MA.
Dalam materi ini dijelaskan beragam metode kritik terhadap
penafsiran al-Qur’an. Kritik di sini dimaksudkan untuk mengawal proses
penafsiran agar tidak keluar dan melenceng dari kaedah-kaedah umum yang
disepakati oleh para mufassir dalam proses interpretasi terhadap al-Qur’an. Di
antara kritik tafsir yang umum dipakai sebagaimana yang dipetakan oleh Amin
al-Khuli terklasifikasi kepada 2 pembagian. Pertama, al-Naqd Ma fi al-Qur’an
(kritik intrinsik) yaitu proses kritik tafsir yang difokuskan terhadap materi
tafsir seperti metode yang digunakan oleh sang mufassir, kitab-kitab yang
dijadikan bahan referensi, riwayat yang dikutip, dan pendapat mufassir yang
bersangkutan. Kritik ini disebut juga dengan al-Naqd al-Dakhili.
Kedua, al-Naqd Ma Haula al-Qur’an (kritik
ekstrinsik) yaitu proses kritik tafsir yang diarahkan kepada faktor-faktor yang
ada di sekitar/di luar materi tafsir seperti mempertanyakan sosok sang
mufassir, kapasitas keilmuannya, motifasinya dalam menafsirkan al-Qur’an,
ideologi, serta pendekatan yang dia gunakan dalam menafsirkan al-Qur’an.
Sementara itu metode kritik lain yang juga sering digunakan adalah metode al-Ashal
dan al-Dakhil dan metode al-Rijal dan Madhmun, teori Rekonstruksi,
dan lain sebagainya. Keterangan lebih lanjut bisa dilihat dalam kitab-kitab
Ulum al-Tafsir seperti Dirasat wa Mabahits fi Tarekh al-Tafsir wa Manhaj
al-Mufassirin karya Yunus Hasan Abidu, al-Tafsir wa Manahijuhu karya
Mahmud Basuni Faudah, Dirasat fi al-Madzhab al-Salaf karya Muhammad
al-Jalind, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, dan lain sebagainya.
Materi Ketiga; Bimbingan
Baca Kitab Al-Tibyan oleh Dr. A.
Wahib Mu`thi, MA.
Dalam materi ini pemateri terlebih dahulu memperkenalkan kitab
Tibyan dan penulisnya. Setelah itu kami disuguhkan dengan beberapa ayat dan
hadis-hadis Nabi yang berbicara tentang keutamaan al-Qur’an serta orang-orang
yang bergumul dengannya. Mulai dari yang membacanya, mempelajari isi
kandungannya, mengamalkannya, dan yang mengajarkannya kepada orang lain. Dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dikatakan bahwa tidak
diperkenankan iri terhadap orang lain kecuali dua golongan, pertama
mereka yang dikaruniai harta oleh Allah kemudian dia gunakan untuk berkhidmat
di jalan-Nya. Kedua, mereka yang dikaruniai kemampuan dalam bidang
al-Qur’an, kemudian kemampuan itu dia gunakan sepenuhnya untuk beribadah
kepada-Nya di siang dan malam hari. (H.R. Tirmidzi).
Materi Keempat; Metodologi Penafsiran Al-Quran oleh Dr. Muchlis M. Hanafi, MA.
Pada materi ini penyaji menjelaskan beberapa pendekatan dan
metodologi yang lazim digunakan oleh para mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an.
Di antaranya metode Tahlili, Ijmali, Muqaran, dan Maudhu’i.
Masing-masing mempunyai keunggulan tersendiri sesuai dengan objek dan tujuan
penulisannya. Metode Tahlili misalnya, lebih menitikberatkan penafsiran
secara menyeluruh terhadap al-Qur’an dan dijelaskan dari berbagai sudut pandang
yang beraneka ragam. Namun kelemahannya adalah sulit bagi seseorang menemukan
persoalan yang ia butuhkan secara cepat karena banyak dan luasnya
pembahasannya.
Sementara itu metode Ijmali menawarkan sebuah corak
penafsiran yang berwujud global atau garis besar tanpa perincian detail sama
sekali, sehingga penafsiran yang yang disajikan terasa ringkas namun padat,
menyangkut kata-kata yang memerlukan penjelasan yang sangat diperlukan saja.
Kemudian metode Muqaran, yaitu tafsir dengan menggunakan analogi-analogi
tertentu. Dalam kata lain, metode ini berusaha membandingkan antara penafsiran
satu ayat dengan ayat yang lain, yakni ayat-ayat yang mempunyai kemiripan
redaksi dari dua masalah atau kasus yang berbeda atau lebih.
Seterusnya tafsir dengan metoe Maudhu’i (tematik). Metode
ini merupakan metode terbaru yang berusaha memberikan kemudahan kepada
para pembaca untuk memahami sebuah persoalan secara utuh dalam satu tema
tertentu, sehingga kesatuan tema
al-Qur’an dapat dicapai secara mudah lewat metode ini. Selanjutnya di sisi lain
ada beberapa corak penafsiran yang sering mewarnai kitab-kitab tafsir yang ada,
seperti corak Isyari yang seringkali memunculkan kontroversi di kalangan
ahli tafsir, namun mayoritas mereka memperbolehkan selama tafsir tersebut
mempunyai dalil-dalil pendukung dari ayat-ayat ataupun hadis lain serta tidak
bertentangan dengan prinsip dasar keislaman.
Kemudian corak penafsiran Ilmi yaitu berupa penafsiran
beberapa ayat-ayat al-Qur’an dengan teori-teori saintifik modern. Gaya
penafsiran yang seperti ini juga diperselisihkan oleh para ulama, sebagian
mereka memperbolehkan karena memandangnya sebagai sebuah bentuk penafsiran yang
tidak akan mengakibatkan hilangnya sakralitas al-Qur’an walaupun hasilnya
berseberangan dengan teori ilmiah yang muncul belakangan. Sementara itu, sebagian
lagi tidak memperbolehkannya sama sekali, karena kekhawatiran hilangnya
kesucian ayat-ayat al-Qur’an andaikata dikemudian hari ditemukan fakta baru
yang bertentangan dengan apa yang dinyatakan oleh al-Qur’an. Di samping itu
masih banyak corak-corak penafsiran yang tidak bisa dituliskan secara satu
persatu.
Materi Kelima; Kodifikasi
`Ulum Al-Quran hingga abad pertengahan oleh Farid F. Saenong, Phd.
Dalam materi ini kami diberikan pengetahuan tentang sejarah
geneologi dan perkembangan Ulumul Qur’an, mulai dari abad klasik hingga abad
modern. Di samping itu pemateri juga menyebutkan beberapa tipologi penulisan
kitab-kitab Ulumul Qur’an yang berevolusi dari kitab asal (matan) terlebih
dahulu. Setelah itu, Ulumul Qur’an dikembangkan oleh ulama selanjutnya dengan
penambahan bab dan materi kajian di beberapa tempat. Kemudian pada puncaknya
mereka memberikan komentar (sebut hasyiyah atau syarah) yang lebih mendalam
terhadap sebagian kitab-kitab matan terdahulu, sehingga kajiannya lebih dalam
dan detail.
Materi Keenam; Menimbang
Hermeneutika sebagai metode penafsiran Alquran oleh Farid F. Saenong, Phd.
Dalam materi ini dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan
hermeneutika, mulai dari pengertiannya, contohnya, kontroversinya, serta
pengaplikasiannya. Menariknya pada sesi diskusi muncul perdebatan yang sengit
di antara peserta daurah tentang persoalan bisa atau tidaknya metode
hermeneutika itu diterapkan dalam hal menafsirkan al-Qur’an. Salah seorang
peserta yang berasal dari UIN Jakarta mencoba menjelaskan cara kerja
hermeneutika serta tokoh-tokohnya, namun pendapat tersebut langsung dipotong
dan dibantah oleh peserta lain yang apriori terhadap metode tersebut, dia
berkeyakinan bahwa hermeneutika hanya bisa digunakan pada ranah pengetahuan
semata dan tidak bisa pada ayat-ayat yang mengandung nilai syar’i yang sudah
diatur dan ditetapkan secara permanen oleh Allah SWT dan rasul-Nya. Ditambah
lagi dengan keterangan dari peserta lain yang menegaskan bahwa teori tersebut
hanya bisa diaplikasikan terhadap al-Qur’an yang sudah diubah dan dihilangkan
kesakralannya. Namun kesimpulan diskusi pada siang itu dapat disebutkan bahwa
hermeneutika bisa diadobsi untuk menafsirkan sebagian ayat al-Qur’an namun
tidak secara bebas/radikal akan tetapi harus dikaitkan juga dengan
kaedah-kaedah penafsiran yang ada serta disepakati oleh mayoritas penafsir.
Materi Ketujuh; Bimbingan
baca Kitab Akhlaq Al-Quran oleh Dr. A. Wahib Mu`thi, MA.
Dalam materi ini kami diajarkan bagaimana cara membaca dan
menterjemah Zikir Asmaul Husna secara baik dan benar. Di samping itu pemateri
menyelipkan dalam keterangannya sebagian keutamaan-keutamaan membacanya.
Setelah itu, kami diperintah umtuk membaca zikir tersebut secara bersama-sama
dan diakhiri dengan doa.
Materi Kedelapan; Pengantar Kaidah Tafsir oleh Prof. Ahmad Thib Raya, MA.
Dalam materi ini disajikan beberapa kaedah penafsiran yang umum
digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an. Setidaknya ada 6 kaedah umum yang
digunakan, yaitu :
1.
Penafsiran
al-Qur’an dengan al-Qur’an.
2.
Penafsiran
al-Qur’an dengan Sunnah.
3.
Penafsiran
al-Qur’an dengan perkataan sahabat.
4.
Penafsiran
al-Qur’an dengan perkataan tabi’in.
5.
Penafsiran
al-Qur’an dengan bahasa (teori-teori linguistik).
6.
Penafsiran
al-Qur’an dengan ra’yi (nalar).
Semua kaedah itu dijelaskan secara gamblang dalam sebuah kitab yang
ditulis oleh Khalid bin Utsman al-Sabt (salah seorang ulama tafsir kontemporer)
dalam bukunya yang berjudul Qawa’id al-Tafsir Jam’an wa Dirasatan.
Materi Kesembilan; Penelusuran Referensi Islam Berbasis
Internet oleh Achmad Zayadi, M. Pd.
Pada materi ini kami didorong untuk lebih kreatif dalam mencari
informasi di internet, khususnya hal-hal yang berkenaan dengan wacana-wacana
terbaru terkait penafsiran al-Qur’an. Selanjutnya masing-masing peserta diminta
menyebutkan situs ataupun website yang sering diaksesnya kepada peserta yang
lain, tujuannya adalah untuk berbagi pengetahuan tentang situs-situs penting
yang bisa dimanfaatkan demi pengembangan daya intelektual peserta. Namun
pemateri berpesan supaya kami semua berhati-hati dalam membaca situs-situs yang
ada serta selektif dalam mengutipnya, hal itu dikarenakan tidak semua tulisan
yang diposting di sana ditulis oleh orang-orang yang benar dalam keyakinan dan
pemahamannya terhadap Islam.
Materi Kesepuluh; Pengenalan Alifmagz.com oleh Agus heri Prasetyo Aca Tadesa.
Materi ini sebenarnya hanya salah satu bentuk promosi website yang
dimiliki oleh Pusat Studi al-Qur’an (PSQ) yang berisi tentang program-program
PSQ, tanya jawab seputar masalah keislaman, dan lain sebagainya. Website ini
diprioritasnya untuk mereka yang memiliki kesibukan di luar yang menyita waktunya
untuk mendalami agama Islam, sehingga diharapkan syiar Islam dapat disebarkan
kepada orang-orang yang seperti itu. Pada akhir pertemuan para peserta
diajarkan bagaimana cara mengaplikasikan beberapa situs jejaring sosial dan
mengambil manfaat darinya.
Materi Kesebelas; Kajian
Tafsir Al-Mishbah
oleh Dr. A. Wahib Mu`thi, MA.
Materi ini tidak sempat disampaikan, karena pada jadwal yang sudah
ditentukan diadakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dan diganti dengan
peringatan Maulid dengan pemateri Dr. Ali Nurdin, M.A
Materi Kedua Belas; Balaghah
Al-Quran
1 & 2 oleh Muhamamd Arifin, MA.
Dalam materi ini pemateri menyuguhkan beberapa hal yang berkaitan
dengan pengaruh perbedaan makna kata dalam penafsiran ayat al-Qur’an. Selain
itu pemateri juga lebih setuju kepada pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada
persamaan kata (muradif) dalam al-Qur’an, karena tidak mungkin Allah SWT
menciptakan keberagaman lafadz/makna kata dalam al-Qur’an itu sia-sia tanpa
rahasia sedikitpun. Di antara bukti kongkritnya adalah adanya perbedaan antara
kata sabil, shirath, dan thariq, begitu juga kata ilah dengan kata
rabb, kata khasyyah dengan khauf, kata imraah dengan
zauj, dan masih banyak yang lain.
Dalam sesi tanya jawab salah seorang peserta menanyakan persoalan
makna “al-rijal” yang terdapat dalam surah al-Nisa’ ayat 36 yang diartikan
sebagai sifat kemaskulinan oleh sebagian penafsir kontemporer, apakah
penafsiran seperti itu dapat dibenarkan atau tidak?. Pemateri menjawab
bahwa dalam sudut pandang kebahasaan mungkin saja bisa dibenarkan, karena
memang terkadang kata-kata al-rijal itu diartikan sebagai sifat
kelelakian, namun dalam menafsirkan sebuah ayat kita tidak bisa hanya
berpedoman kepada tinjauan kebahasaan saja, namun juga harus dikaitkan dengan
konteks yang mengitarinya serta sabab al-nuzul yang melatarbelakangi
turunnya ayat tersebut.
Materi Ketiga Belas; Pengenalan
Mushaf Standar Indonesia oleh Lembaga Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran Kementrian Agama RI.
Sesi ini
diadakan di ruang sidang Lembaga Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran Kementrian
Agama RI gedung Bayt Alqur’an TMII. Pemateri, Zainal Arifin, MA
memaparkan mengapa harus ada standar Indonesia dan faktor-faktor yang
melatarbelakanginya. Disampaikan juga tentang apa yang dimaksud standar
Indonesia serta bedanya dengan standar Arab Saudi atau standar lainnya.
Menurutnya, standar Indonesia dibuat untuk memudahkan masyarakat Indonesia
dalam membaca kitab suci. Standar itu meliputi tanda baca, tanda waqaf dan
sebagainya.
Materi
Keempat Belas; Problematika Terjemah Al-Quran di Indonesia
oleh Dr. Muchlis M. Hanafi, MA.
Terjemahan al-Qur’an rupanya menjadi polemik yang cukup ramai.
Terlebih saat sebuah ormas menerbitkan “terjemahan tandingan” dan sebagian
penerbit yang mencoba melakukan terjemahan perkata. Terjemahan manapun
mempunyai aspek problematik. Sehingga tidak mungkin ada terjemahan yang
sempurna. Sekian.!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon kritik dan sarannya.!