Pertanyaan : Apakah keputihan pada wanita dihukum najis atau tidak?
Keputihan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah penyakit
kelamin pada wanita yang ditandai dengan keluarnya lendir putih yang
menyebabkan rasa gatal. Sedangkan keputihan (fluor albus) menurut
istilah kedokteran merupakan sekresi vaginal abnormal pada wanita yang
disebabkan oleh infeksi dan biasanya disertai dengan rasa gatal di dalam vagina
dan di sekitar bibir vagina bagian luar.
Dalam terminologi Ilmu Fikih keputihan disebut juga dengan rathubah
al-farj yang mengandung pengertian cairan putih yang mempunyai bentuk
antara madzi (lendir putih yang bersifat lengket dan keluar dari
kemaluan seseorang karena syahwat) dan keringat, sehingga keputihan tidak dapat
dikategorikan sebagai madzi secara pasti dan tidak pula keringat.
Pengertian ini akhirnya mengundang perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam
hal menentukan apakah ia dihukumi najis atau tidak.
Adapun madzi, maka jelas bahwa hukumnya najis karena
termasuk sesuatu yang keluar dari dua jalan (kubul dan dubur) sebagaimana yang
dijelaskan oleh Imam Abu Ishak al-Syairadzi dalam kitabnya al-Muhadzdzab yang
kemudian disyarah oleh Imam Muhyiddin al-Nawawi dengan nama al-Majmu’
Syarh al-Muhadzdzab, halaman 434-435 dan Imam Taqiyuddin Abi Bakr ibn
Muhammad al-Husaini al-Hushni al-Dimasyq dalam karyanya Kifayah al-Akhyar fi
Halli Ghayah al-Ikhtishar, halaman 83-84. Berikut kutipannya:
"وحجة نجاسته حديث علي رضي الله عنه في قوله كنت رجلا مذاء فاستحييت
أن أسأل رسول الله صلى الله عليه وسلم فأمرت المقداد فسأله فقال يغسل ذكره ويتوضأ"
Dan dalil
najisnya madzi tersebut adalah hadis Ali ibn Abi Thalib r.a lewat perkataannya “aku
adalah seorang laki-laki yang sering keluar madzi, namun aku malu untuk
menanyakannya kepada Rasulullah Saw. Kemudian aku meminta Miqdad untuk
menanyakannya kepada beliau, lalu beliau berpesan “hendaklah dia membasuh
kemaluannya dan berwudhu”. (H.R. Bukhari, Muslim, Malik, Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasa’i).
Sementara itu
keringat menurut mayoritas ulama tidak tergolong sebagai najis, sebagaimana
yang dijelaskan oleh Imam Ibn Hajr al-Haitami dalam kitabnya Fath al-Jawwad
bi Syarh al-Irsyad sebagaimana dikutip oleh Muhammad Ridwan Qayyum Sa’id
dalam bukunya Fikih Najasah, halaman 70-71, sehingga ia tidak
akan mempengaruhi sah atau tidaknya salat seseorang. Bahkan dalam sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa Ummu Sulaim pernah mengusap
dan memeras keringat Nabi Muhammad Saw pada saat beliau sedang tertidur di rumahnya,
kemudian menjadikan keringat tersebut sebagai wangi-wangian, berikut kutipan
hadisnya:
عن أنس بن مالك قال دخل علينا النبى
صلى الله عليه وسلم فقال عندنا فعرق وجاءت أمى بقارورة فجعلت تسلت العرق فيها فاستيقظ
النبى صلى الله عليه وسلم فقال "يا أم سليم ما هذا الذى تصنعين؟"، قالت هذا
عرقك نجعله فى طيبنا وهو من أطيب الطيب.
Dari Anas ibn
Malik dia berkata “Nabi Saw pernah berkunjung ke rumah kami. Kemudian beliau
tidur sebentar (Qailulah) di rumah kami hingga berkeringat. Lalu Ibu saya
mengambil sebuah botol dan berupaya memasukkan keringat Rasulullah Saw itu ke
dalam botol tersebut. Tiba-tiba Rasulullah terjaga sambil berkata kepada ibu
saya 'Hai Ummu Sulaim, apa yang kamu lakukan terhadap diriku? Ibu saya
menjawab: Kami hanya mengambil keringat engkau untuk kami jadikan wewangian
kami”. Keringat beliau merupakan salah satu wewangian yang paling harum
wanginya. (H.R. Muslim).
Lantas bagaimana
dengan cairan keputihan pada wanita? Apakah ia dihukumi najis atau tidak? Imam
Nawawi dalam kitabnya al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab menjelaskan bahwa
telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal tersebut. Di
antaranya sebagai berikut :
- Imam Abu Ishak al-Syairadzi dalam kitabnya al-Muhadzdzab dan al-Tanbih menegaskan bahwa cairan tersebut dihukumi najis karena ia keluar pada tempat keluar najis (kubul). Dan al-Syairazi juga mengklaim bahwa pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Syafi’i. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Bindaniji dan Ibn Suraij. Adapun dalil pendapat ini adalah sebagai berikut :
a. Hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam Shahih-nya yang
bersumber dari Zaid ibn Khalid al-Juhani bahwa dia bertanya kepada
Utsman ibn Affan, dia berkata, "Saya berkata: Apa pendapatmu jika
seorang laki-laki menggauli istrinya, namun dia tidak sampai mengeluarkan mani?
'Utsman menjawab: 'Hendaklah dia berwudhu sebagaimana dia berwudhu untuk
mendirikan salat dan membasuh kemaluannya'. Utsman berkata lagi, 'Aku
pernah mendengar hal ini dari Rasulullah Saw dan aku juga pernah bertanya
kepada ‘Ali ibn Abi Thalib, al-Zubair ibn al-Awwam, Thalhah ibn 'Ubaidullah dan
Ubay ibn Ka'ab r.a, mereka semua memerintahkan seperti itu." (H.R. Bukhari
dan Muslim).
b.
Hadis
riwayat Bukhari dan Muslim yang berasal dari Ubay ibn Ka’ab bahwa ia berkata, "Wahai
Rasulullah, bagaimana jika seseorang berhubungan dengan isterinya namun tidak
keluar (mani)?" beliau menjawab: "Hendaklah ia cuci apa yang mengenai
isterinya (kemaluan), lalu wudu dan salat." (H.R. Bukhari dan Muslim).
Dua hadis tersebut menunjukkan bahwa cairan yang terdapat pada
kemaluan perempuan yang mengenai penis laki-laki tersebut dihukumi najis dan
wajib dibasuh sebelum melakukan salat (walaupun sebagian ulama ada yang
menghukuminya sebagai sebuah kesunnahan).
- Imam al-Baghawi dan al-Rafi’i mengatakan bahwa menurut pendapat yang ashah cairan tersebut dihukumi suci karena dianalogikan kepada cairan-cairan badan lainnya seperti keringat dan lain-lain. Lalu Imam al-Mawardi dalam al-Hawi al-Kabir-nya mengutip bahwa Imam Syafi’i pada sebagian kitabnya menyatakan bahwa cairan tersebut dihukumi suci dan ini merupakan pendapat yang lebih ashah menurut Imam Nawawi.
- Kemudian Imam Ibn Hajr al-Haitami dalam kitabnya Fath al-Jawwad bi Syarh al-Irsyad menambahkan pendapat yang ketiga, yaitu diperinci terlebih dahulu, apabila cairan tersebut keluar dari bagian yang wajib dibasuh ketika istinjak maka ia dihukumi suci dengan tanpa ada perselisihan. Apabila keluar dari bagian yang tidak wajib dibasuh maka ia dihukumi najis tanpa ada perselisihan. Dan apabila keluar dari tempat antara bagian dalam vagina dan bagian yang wajib dibasuh maka dihukumi suci menurut pendapat yang ashah.
Pertanyaan : Apabila keluarnya di waktu salat apakah membatalkan salat
atau bagaimana.?
Imam
Abu Suja’ dalam kitabnya al-Taqrib yang kemudian disyarah oleh
Imam Taqiyuddin Abi Bakr ibn Muhammad al-Husaini al-Hushni al-Dimasyq lewat
karyanya Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar mengemukakan ada
sebelas hal yang membatalkan salat, di antaranya berkata-kata dengan sengaja, bergerak
secara berlebihan (lebih dari tiga kali secara berurutan), kedatangan hadas, terkena
najis, terbuka aurat, berubah niat, membelakangi kiblat, makan, minum, tertawa
terbahak-bahak, dan murtad.
Berdasarkan
sebelas perkara di atas maka seseorang perempuan yang keputihan sewaktu
melaksanakan salat maka salatnya dianggap batal karena ia terkategori sebagai
seorang yang berhadas yang wudunya batal dengan sebab keluarnya sesuatu dari
salah satu dua jalan (kubul dan dubur). Apabila wudu batal maka secara otomatis
salat juga batal karena wudu merupakan salah satu syarat sah salat. Berikut lima
perkara yang dapat membatalkan wudu’ sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam
Nawawi dalam Majmu’-nya, Syekh Abu Suja’ dalam Matan al-Taqrib-nya,
serta mayoritas ulama Syafi’iyyah lainnya :
- Keluar sesuatu dari dua jalan (kubul dan dubur), baik itu berupa benda atau angin, baik yang biasa atau yang tidak, serta baik benda suci apalagi najis. Dalilnya adalah Q.S. al-Maidah ayat 6 dan hadis Ali ibn Abi Thalib yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim terkait permasalah madzi di atas.
- Tidur dalam posisi duduk yang tidak tetap (berubah-ubah).
- Hilang akal dengan sebab mabuk atau sakit.
- Menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram secara langsung tanpa memakai pembatas.
- Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan. Baik kemaluan sendiri atau orang lain, baik laki-laki atau perempuan, baik anak-anak atau dewasa, baik yang hidup atau yang telah mati, serta baik dubur atau pun kubul.
Kemudian,
apabila cairan keputihan itu keluar secara terus-menerus sehingga menyulitkan
seseorang dalam melaksanakan ibadah maka ia dianggap sebagai seorang yang beser
sehingga mendapat keringanan untuk tetap melanjutkan ibadahnya. Hal ini
sebagaimana yang disebutkan oleh sebagian sahabat-sahabat Imam Syafi’i dari
Malik dengan argumen bahwa hal tersebut termasuk hal yang jarang terjadi serta
dianggap sebagai dharurah (situasi darurat/hajat).
Namun ia
diharuskan membersihkan dan menutup kemaluannya serta menggantinya setiap akan
melaksanakan salat, kemudian dia juga tidak diperkenankan untuk mengumpulkan
dua salat fardu dengan satu kali wudu, serta tidak boleh berwudu kecuali
setelah masuk waktu sebagaimana halnya seseorang yang beser dalam buang kecil (salis
al-baul), madzi (salis
al-madzi), dan perempuan yang membawa darah penyakit (dam al-istihadhoh).
Lihat al-Majmu’ halaman 450-452.
Pertanyaan : Ketiduran dalam salat apakah membatalkan salat atau
tidak.?
Imam al-Mawardi dalam kitabnya al-Hawi al-Kabir menjelaskan
ada dua pandangan yang berbeda dari Imam Syafi’i mengenai hal ini. Berikut
rincian hukumnya :
- Jika yang bersangkutan tidur pada posisi duduk (duduk iftirasy atau pun tawaruk), maka salat dan wudunya tidak batal, dalam artian tidur yang seperti ini tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap salat dan wudu seseorang.
- Kemudian jika yang bersangkutan tidur pada posisi selain duduk seperti dalam kondisi berdiri, atau pada saat ruku’, atau pun sujud, maka dalam menghukumi status salat dan wudunya ada dua pandangan dari Imam Syafi’i, yaitu :
a. Menurut
qaul qadim (fatwa Imam Syafi’i ketika berada di Baghdad) beliau, wudu
seseorang yang seperti itu tidak batal. Pendapat ini juga didukung oleh
kesaksian delapan orang tabi’in dengan berpedoman kepada Surah al-Furqan ayat
64: “Dan orang-orang yang menghabiskan waktu malam untuk beribadah kepada
Tuhan mereka dengan bersujud dan berdiri”. Ayat ini dipahami sebagai pujian
dan sanjungan terhadap mereka yang mendirikan salat semalaman yang mungkin saja
disertai dengan rasa ngantuk di sela-sela salatnya, akan tetapi sesuatu
yang dipuji tidak mungkin mengandung kemungkinan pembatalan terhadap ibadah tersebut.
Selain ayat tersebut, juga terdapat dalil lain yang memperkuat pendapat ini,
yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abu Syaibah lewat jalur Hasan Basri, berikut
kutipannya :
"حدثنا يزيد بن هارون قال أخبرنا
سلام بن مسكين قال سمعت الحسن يقول إذا نام العبد في سجوده باهى الله به الملائكة يقول
انظروا عبدي يعبدني وروحه عندي"
Telah
menceritakan kepada kami Yazid ibn Harun, ia berkata: telah memberitahukan
kepada kami Sallam ibn Miskin, ia berkata: aku telah mendengar Hasan Bashri
berkata: “apabila seseorang tidur di dalam sujudnya, niscaya Allah Swt
memberitahukan perihalnya kepada para malaikat sembari berkata ”lihatlah
hambaku!, dia menyembahku sementara ruhnya berada di sisiku. (H.R. Ibn Abi Syaibah, lihat Mushannaf ibn Abi Syaibah, jilid
28, halaman 28).
Hadis ini jelas menegasikan
berhadasnya seseorang yang mendirikan salat semalaman dengan kondisi ngantuk
pada sebagiannya.
b. Sementara
itu menurut qaul jadid (fatwa Imam Syafi’i ketika berada di Mesir)
beliau, wudu dan salat orang yang bersangkutan batal berdasarkan hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Aisyah r.a.
Ketika seseorang berkata kepada Nabi Saw sesungguhnya engkau tidur di dalam
salatmu wahai Rasulullah, kemudian beliau menjawab: “yang tidur hanya kedua
mataku, tapi tidak dengan hatiku”.
“تنام عيني ولا ينام قلبي”
Hadis ini menunjukkan bahwa
seseorang yang tidur mata dan hatinya maka salat dan wudunya dianggap batal,
namun berbeda halnya dengan Nabi Saw yang walaupun mata beliau terpejam namun
hati beliau tidak pernah tidur, sehingga wudu beliau tidak pernah batal karena
hatinya tidak pernah tertidur.
Kemudian hal-hal yang di luar salat dianggap bisa membatalkan salat
seperti tidur dan lain-lain, maka di dalam salat juga membatalkan. Begitu juga
halnya dengan seseorang yang berwudu dan yakin bahwa ia tertidur, namun ragu
apakah ia tertidur pada saat berdiri atau berbaring, maka wudunya juga dianggap
batal.
Berdasarkan rincian di atas maka dapat disimpulkan bahwa tidur di
dalam salat mempunyai beberapa klasifikasi hukum. Apabila tidur dalam kondisi
duduk maka menurut Imam Syafi’i salat dan wudunya tidak batal, sedangkan
apabila tidur pada posisi selain duduk seperti pada saat berdiri, ruku’, atau
pun sujud maka menurut qaul jadid (pendapat yang dipakai) Imam Syafi’i salat
dan wudunya batal dan orang yang bersangkutan harus mengulangi salatnya.
Wallahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon kritik dan sarannya.!