Judul di atas sebenarnya ciplakan terhadap sebuah buku karya Yusuf
al-Qaradhawi yang berjudul al-Imam al-Ghazali bain Madihihi wa Naqidih. Hanya
saja buku tersebut menjadikan Imam al-Ghazali sebagai objek kajian, sementara
dalam tulisan ini yang menjadi objek adalah seorang tokoh kontroversial yang
bernama Gus Dur. Sebagai santri yang hanya bisa membaca Gus Dur dari jauh
(karena saya bukanlah dari kalangan NU tulen), saya melihat adanya beragam
pendapat tentang beliau. Mulai dari orang yang memujinya habis-habisan, bahkan
tidak tanggung-tanggung ada yang menganggapnya sebagai wali yang pantas
diikuti petuah-petuahnya.
Sementara itu di sisi lain tidak sedikit pula orang-orang yang
mengkritisinya dan bahkan menghujatnya dengan kata-kata yang sebenarnya tidak
layak dikatakan, walau oleh seorang yang sinting sekalipun. Itu adalah
wajar, karena hidup di dunia ini tidak akan terlepas dari dua hal tersebut, mendapat
pujian ataupun menuai kritikan. Mungkin tulisan ini terlihat sangat normatif,
karena temanya cukup umum dan sudah banyak dikaji oleh para Gusdurian, tapi di
sini saya hanya ingin mengungkapkan dua kisah unik yang menurut saya patut
untuk diketahui bersama, yaitu tentang ke”mutakamilan” Gus Dur dalam
mendidik “anak-anak asuh”nya.
Gus Dur, “al-Kamil” dan “al-Mutakamil”.?
Kiai saya di Pesantren Darus-Sunnah Jakarta, K.H Ali Mustafa Yakub
pernah bercerita, dulu sewaktu boyong dari tanah Arab pasca menuntut
ilmu di sana, beliau berkeinginan untuk mengaplikasikan ilmunya di tanah Papua,
beliau berencana untuk mendirikan pesantren dan mengajar di sana. Sebelum
keinginan itu djrealisasikan, Kiai Ali sowan terlebih dahulu kepada guru
yang pernah mengajar beliau selama beberapa tahun di Ponpes Tebuireng, Jombang
dahulu, yaitu Gus Dur. Sesaat setelah menceritakan keinginannya, tiba-tiba saja
Gus Dur melarangnya dan menyuruh agar Kiai Ali tetap tinggal di Jakarta.
Kiai Ali terheran-heran, apa gerangan yang membuat Gus Dur tidak
mengizinkannya untuk melangsungkan niatnya tersebut. Namun sebagai santri yang manut
kepada guru, maka Kiai Ali mematuhi perintah gurunya tersebut dan tetap tinggal
di Jakarta, walau masih tidak mudeng dengan rahasia dibalik larangan
tersebut. Setelah beberapa tahun di Jakarta, karir Kiai Ali semakin menanjak,
mulai dari kolumnis di berbagai surat kabar dan majalah lokal maupun nasional,
sampai menjadi guru dan dosen di beberapa perguruan tinggi di Jakarta. Puncaknya
beliau bisa mendirikan sebuah Pesantren Hadis (Darus-Sunnah) yang tetap eksis
sampai sekarang, bahkan semakin maju.
Cerita kedua berasal dari hasil diskusi saya dengan seorang teman,
yaitu tentang Kiai Said Aqil Siraj (ketua umum PBNU sekarang). Konon dahulu
beliau berteman akrab dengan Kiai Husein Muhammad, seorang tokoh NU yang juga
merupakan direktur pengembangan wacana di LSM “Rahima”. Setelah keduanya lulus
dari Ponpes Lirboyo pada tahun 1973, masing-masing memilih jalan yang berbeda.
Kiai Said meneruskan pendidikannya di Jogjakarta dan Kiai Husein memutuskan
untuk lanjut di Jakarta. Beberapa saat setelah itu mereka mengikuti tes ke luar
negeri dan walhasil keduanya sama-sama lulus.
Kiai Said berangkat ke Madinah dan Kiai Husein berangkat ke Mesir.
Namun dalam perjalanan karir keduanya ada sedikit perbedaan. Setelah pulang ke
Indonesia Kiai Said direkrut oleh Gus Dur dan disuruh tinggal di Jakarta,
sementara itu Kiai Husein tidak terlalu diperhatikan Gus Dur. Sejurus kemudian setelah mengikuti
arahan-arahan Gus Dur untuk menetap di Jakarta, Kiai Said pun lama-kelamaan
menjadi “anak kesayangan” Gus Dur. Gus Dur mengkadernya dengan sangat baik dan
sampai akhirnya beliau menjadi orang nomor wahid di tubuh keorganisasian
NU saat ini.
Kedua kisah tersebut, walau tidak bisa dikatakan banyak, namun
sudah cukup dijadikan sebagai bukti bahwa Gus Dur bukanlah orang biasa. Dia
merupakan seorang yang “al-kamil” dan juga ”al-mutakamil” walaupun
banyak orang yang mengkritiknya dan tidak percaya dengan “kewaliannya”.
Gus Dur, dalam Pandangan Saya
Menurut saya Gus Dur adalah seorang tokoh yang patut diteladani dan
dijadikan pioner perubahan masa depan. Begitu banyak percikan pemikirannya yang
belum sepenuhnya saya serap dan aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga
dengan terus membaca dan membaca karya-karyanya saya dan kita semua bisa
menjadi pewaris pemikirannya yang sangat luar biasa itu. Adapun mengenai
beberapa pendapat beliau yang kontroversial itu, saya lebih memilih untuk
bersikap seperti apa yang pernah dicontohkan oleh Kiai Ali Mustafa Yakub.
Sebagai seorang yang pernah berguru kepada Gus Dur, beliau selalu hormat kepada
Gus Dur meskipun “kami tidak selamanya sependapat dengan beliau”, kata Kiai
Ali.
Dalam sebuah bukunya, Kiai Ali juga pernah bercerita. Ketika Gus
Dur menjadi presiden pada tahun 1999, beliau pernah diundang untuk mengisi
ceramah nasional di Mesjid Istiqlal Jakarta. Dalam acara tersebut beliau sempat
mencium tangan Gus Dur sebanyak dua kali, yaitu ketika bertemu dan pada saat
hendak pulang dari majlis tersebut. Keesokan harinya Kiai Ali ditanya kenapa
kok beliau begitu hormat kepada Gus Dur padahal dalam sebuah statement-nya
Kiai Ali pernah mengatakan “di antara adab para ulama dan pengajar al-Qur’an
adalah tidak boleh menghinakan diri dan ilmunya di hadapan pemimpin”. Namun
kenyataannya beliau bukan saja bersalaman dengan Gus Dur namun juga mencium
tangannya.
Dengan santainya Kiai Ali menjawab “Khusus untuk Gus Dur, beliau
itu ulama sebelum menjadi presiden. Apalagi khusus untuk kami, Gus Dur itu guru
kami, kami menjadi murid beliau sejak tahun 1971. Kami belajar Bahasa Arab dan
mengaji Qatr al-Nada dari beliau”. Sebuah jawaban dari seorang santri
sejati. Pasca kejadian itu Kiai Ali berseloroh “bagi kawan-kawan yang
mengetahui posisi kami terhadap Gus Dur, mereka justru memuji kami, mereka
berkata “Cak Mus sampeyan ini benar-benar santri sejati, sampeyan sudah menjadi
profesor tetapi sampeyan tetap menghormati guru sampeyan”. ^_^
Itulah sepenggal cerita yang penulis goreskan dalam rangka
memperingati haul Gus Dur yang keempat tahun ini. Semoga bermanfaat.!
Tulisan ini sudah dipublikasikan di situs NU ONLINE edisi 2 Januari 2014. Silahkan klik http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,50-id,49151-lang,id-c,esai-t,Pemuji+dan+Pengkritik+Gus+Dur-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon kritik dan sarannya.!